Selasa, 03 April 2018

Saling Melayani dan Merendahkan Hati Yohanes 13: 1-17


Radio Maestro FM
William Barclay mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih dekat dengan sesamanya, daripada orang yang hidup dekat dengan Allah.” Orang yang dekat dengan Allah pasti dekat dengan sesamanya.
Pasti kita semua ingin menjadi seperti Kristus? Benarkah!
Tetapi seringkali banyak orang kristen ingin menjadi seperti Kristus dalam hal-hal yang menyenangkan saja atau cocok dengan pandangannya sendiri.  Tetapi untuk hal-hal yang berbeda dengan kemauan kita sangat sulit kita melakukannya. Bahkan kalau perlu kita abaikan. Kita anggap tidak ada.
Apa yang paling sulit kita lakukan dalam mengikut Yesus? Merendahkan diri.
Apalagi jika sampai orang lain tidak lagi menghargai kita. Sejujurnya, kita membutuhkan pengakuan dan penghargaan. Oleh karena itu dalam teori psikologi dikatakan bahwa setiap orang butuh yang namanya aktualisasi diri. Aktualisasi diri berkaitan dengan harga diri!
Tetapi di balik keinginan itu tersimpan sebuah ketakutan yaitu: apa jadinya jika aku tidak dihargai? Apa jadinya jika orang lain tidak mengakui keberadanku?  Oleh sebab itu, tidak heran apabila banyak orang akan berjuang memperoleh pangakuan itu dengan berbagai cara seperti kekayaan, jabatan, pendidikan, prestasi, pengaruh atas orang lain, dan sebagainya.
Yesus memutarbalikkan konsep para murid (dan juga diri kita semua) tentang harga diri dan kebesaran. Melalui pembasuhan kaki Yesus ingin meneguhkan perkataanNya dalam Matius 20:26-28, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu…Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk  melayani dn untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang”.

             Peristiwa Yesus membasuh kaki murid-muridNya sering kita pahami sebagai kerendahan hati Kristus. Dan itu memang benar, tetapi jarang sekali kita sadari ada sesuatu dalam diri Yesus yang mendorongNya untuk rendah hati, mencuci kaki muridNya.
Makna kerendahan hati
            Rendah hati artinya tidak mengganggap diri lebih hebat atau lebih sempurna daripada orang lain. atau artinya sekalipun memiliki talenta dan karunia yang lebih, tetapi tidak mempertahankannya sebagai yang unggul daripada orang lain. orang yang rendah hati tidak akan memandang remeh orang lain, melainkan  memandang orang lain lebih penting daripada dirinya sendiri. Rendah hati adalah sikap yang tidak menganggap dirinya hebat, sekalipun kenyataannya memang hebat.
            Dalam Filipi 2:6-8 menceritakan bahwa Yesus walaupun adalah Allah, tetapi tidak mempertahankan diriNya sebagai Allah melainkan mengosongkan diriNya, mengambila rupa seorang hamba, dan menjadi sama seperti manusia, bahkan merendahkan diriNya mati di kayu salib.
Rahasia memiliki jiwa yang rendah hati (13:1-5):kasih
 Peristiwa pembasuhan kaki murid Yesus terjadi sebelum paskah. Alkitab dengan jelas mencatat bahwa Yesus telah mengetahui apa yang akan terjadi pada diriNya setelah perjamuan makan bersama murid-muridNya, paskah. bagi muridNya ini merupakan perjamuan biasa, bagi Yesus, ini perjamuan terakhir. Karena itu, Kristus untuk menyatakan betapa Dia sangat mencintai murid-muridNya, maka Dia melayani murid-muridNya dengan membasuh kaki mereka, memberi suatu teladan.
Di dunia ini ada seberapa orang yang memilki jiwa seperti Kristus! Melayani sampai akhir hidup.  dunia ini memang banyak orang yang melayani Tuhan, tetapi ketika orang mulai tua maka dalam hati mungkin berkata: sudah sekian tahun saya melayani, sekarang saya sudah tua, maka cukuplah sudah, biarlah orang lain yang melayani saya. Mari kita renungkan, sekalipun Tuhan Yesus mengetahui Dia akan disalibkan, tetapi itu tidak menjadi pokok pemikirianNya. Yang menjadi pokok pemikiranNya: bagaimana menyatakan kasih kepada murid-muridNya dan menjadi teladan bagi pelayanan murid-muridNya. Dalam saat-saat terakhir Yesus tetap mementingkan pelayanan dan masa depan pelayanan murid-muridNya.
Jadi rahasia seorang pelayan yang rendah hati adalah kasih. Tanpa kasih tidak akan ada kerendahan hati. Kasih yang mendorong Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridNya. Kasih itu yang menjadikan Yesus rendah hati.
Reaksi Petrus yang merasa jengah atau tidak pantas dibasuh kakinya oleh sang Guru memerlihatkan pekerjaan itu adalah sebuah pekerjaan yang rendah. Pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh seorang budak. Tidak pernah ada dalam tradisi manapun seorang guru membasuh kaki para muridnya. Yang ada adalah murid membasuh kaki sang guru. Jadi, apa yang Yesus lakukan adalah sebuah peristiwa yang mengejutkan, mencengangkan, dan dramatis karena belum pernah ada yang melakukan sebelumnya.
Di Yoh. 13:12 Tuhan Yesus berkata: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?”.  Gelar yang diberikan para murid bahwa Dia adalah Guru dan Tuhan dimaknai secara baru oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini gelar diri  Yesus sebagai Guru dan Tuhan bukanlah suatu gelar untuk menunjukkan suatu kekuasaan duniawi yang dipakai untuk memerintah dan merasa berhak memperoleh perhatian atau pujian dari orang lain.  Tetapi gelar diri Yesus sebagai Guru dan Tuhan dimaknai sebagai suatu gelar untuk mengungkapkan tindakan perendahkan diri yang bersedia untuk melayani orang lain, walaupun yang dilayani ternyata tidak memberi penghargaan sebagaimana yang diharapkan bahkan mereka kemudian justru mengkhianati gurunya.
Bagi Yesus, harga diri dan kebesaran seseorang lebih terkait erat pada kemampuannya bersikap rendah hati dihadapan Tuhan dan sesamanya. Aktualisasi diri terjadi ketika kita mampu melayani dengan sungguh-sungguh tanpa diembel-embeli ambisi untuk mengejar prestise atau harga diri. Sebab jika itu yang menjadi orientasi kehidupan dan pelayanan kita maka kita akan kehilangan makna pelayanan itu sendiri yang adalah untuk melayani Tuhan yang bukti konkretnya kita lakukan pada sesama kita. Kemuliaan bukan hak kita tetapi itu adalah hak Tuhan. Bukankah kita ini hanya hamba yang patut menerima kemuliaan dalam sang Tuan kehidupan itu sendiri yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Di Yoh. 13:13-15 Tuhan Yesus berkata: “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”. Yesus mewajibkan kita untuk melakukan apa yang telah diteladankanNya. Ini wajib. Tidak bisa ditawar-tawar. Harus!
Mengapa kita sering gagal menjadi teladan bagi orang lain untuk bersikap rendah hati, ketulusan melayani, dan saling mengasihi atau melayani? Karena kita lebih banyak berbicara dari pada berbuat. Kita lebih pandai bermain kata dari pada mewujudnyatakan kata-kata kita. Kita lebih pandai berargumentasi dari pada bermeditasi apakah kita semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Umumnya kita merasa cukup berhasil dalam memberikan nasehat dan pengajaran tetapi sering gagal dalam menjadi teladan yang sebenarnya.
Kebesaran kita dan aktualisasi diri kita terjadi apabila kita dapat merendahkan diri di hadapan Allah dan sesama serta setia dalam melaksanakan tugas panggilan kita untuk saling mengasihi dan melayani. Oleh sebab itu, maukah kita semakin diubah dan dibarui oleh Tuhan menjadi pribadi yang peduli, mengasihi, dan melayani sesama dengan kerendahan hati?
Alkitab mencatat:  "yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.  Dan dalam keadaan seperti manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."  (Filipi 2:6-8).  Dia adalah Yesus Kristus,  "...nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,"  (Filipi 2:9-10).  Pribadi Yesus tidak dapat dibandingkan dengan siapa pun di dunia ini.  Seberapa pun terhormatnya seseorang dengan titel yang berlapis-lapis atau seberapa hebat dia, sungguh tidak sebanding dengan kebesaran dan keagungan Yesus Kristus, karena Dia adalah Raja di atas segala raja, Tuhan segala tuhan.  Namun Yesus tetap rendah hati dan rela melayani manusia.  Bahkan Ia memberikan satu teladan yang luar biasa:  rela membasuh kaki para muridNya, padahal Dia adalah Tuhan dan Guru Agung.
     Lalu, siapakah kita ini?  Kita hanyalah orang yang tak berarti.  Dapatkah kita belajar dari teladan Yesus, mau melayani keluarga, kerabat, teman atau orang lain dengan kerendahan hati dan tanpa pamrih sepertinya?  Ketika melihat ada saudara kita yang lapar, sudikah kita mengulurkan tangan dan memberinya makan?  Sewaktu melihat saudara kita tertimpa musibah, relakah kita menolongnya?  Itulah yang dinamakan kasih, yaitu melihat kebutuhan orang lain sebagai kewajiban diri sendiri.  Sesungguhnya pelayanan itu sangatlah sederhana!  Tetapi dalam prakteknya, pelayanan juga tidak semudah diucapkan.  Banyak orang melayani tapi enggan menanggalkan keakuannya;  mau melayani tapi sulit melepaskan kehormatan atau kedudukannya.  Melayani berarti rela menjadi hamba!  Itulah pelayanan yang dilakukan Yesus!  Tertulis:  "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;"  (Matius 20:26a-27).  Maukah kita?  Bukankah banyak orang mau melayani dengan harapan makin dikenal orang dan dihormati?
Mari kita memiliki hati seperti Yesus, rela melayani jiwa-jiwa dengan motivasi tulus dan benar!
Keselamatan hanya oleh anugerah Allah, bukan karena pekerjaan baik kita. Dari pihak Allah, Allah telah menganuriakan (memberikan) Anak-Nya yang Tunggal (Allah menjadi manusia di dalam Kristus Yesus), mati di kayu salib untuk menebus manusia dari dosa sekali untuk selamanya (Yohanes 3:16; Roma 5:8; Filipi 2:1-10, Ibrani 10:10). Sedangkan dari pihak manusia, apakah mau percaya atau tidak, apakah mau menerima anugerah itu atau tidak? (Yohanes 1:12; Yohanes 3:16; 1 Yohanes 1:11-12). Menerima anugerah itu berarti selamat, menolaknya berarti binasa.
Amen, Pdt. RHL. Tobing, S.Th.  MA



Tidak ada komentar: