Hamba Yang Menderita
Ada 6 Jenis
Luka
Ada enam jenis luka yang bisa dialami manusia. Luka tergesek, yakni luka
sampai kulit terkelupas. Bisa disebabkan karena jatuh terjerembab, atau
tergesek oleh permukaan kasar. Luka lebam, yakni luka yang terjadi karena
pukulan keras. Luka tersayat, yakni luka yang disebabkan oleh pisau atau benda
tajam lain. Luka sobek, adalah luka yang membuat bagian daging terkoyak. Luka
tertembus, yakni luka karena daging tertembus suatu benda. Luka tusuk, yakni
akibat ditusuk oleh benda runcing atau berduri.
Mungkin sebagian dari kita pernah mengalami beberapa di antaranya. Namun
percayakah Sdr/i, bahwa Yesus telah
mengalami semua jenis luka ini di tubuh-Nya? Bahkan, bukan itu saja. Bukan
hanya luka fisik yang harus Yesus tanggung, tetapi juga luka-luka secara rohani
karena dosa seluruh umat manusia ditimpakan kepada-Nya (ay. 4, 5). Dengan rela,
Tuhan menggantikan posisi kita sebagai terhukum yang pantas diperlakukan tanpa
kenal ampun-seperti domba yang dibawa ke pembantaian (ay. 7).
Penderitaan tak tertahankan yang telah dinubuatkan oleh Yesaya ini, tergenapi
saat Yesus menjalani sengsara hebat-Nya. Sejak penangkapan hingga wafat-Nya di
kayu salib, segala hukuman maut itu ditanggung-Nya bagi seluruh umat yang Dia
cintai. Sungguh, setiap jenis luka yang Dia tanggung, mendatangkan kebaikan
bagi semua yang menyambut-Nya. Oleh setiap sayatan dan koyakan tubuh Yesus,
pengampunan dianugerahkan. Oleh setiap tusukan dan luka tertembus di tubuh
Yesus, penebusan dilaksanakan
Lukisan penderitaan Kristus dalam nubuatan Yesaya ini sungguh
menyedihkan dan menyakitkan. Tidak ada satu pun bagian dari hidupnya yang luput
dari penderitaan. Penderitaan Kristus menjadi sangat sempurna karena dia
menderita bukan karena Dia bersalah tetapi justru karena dosa manusia.
Penderitaan di atas kayu salib sangat tidak terbayangkan, tidak terpikirkan
oleh manusia. Dan pada puncak penderitaan itu Ia harus menyerukan satu kalimat
yang terdengar seperti orang yang putus asa, ”Eli, Eli, lama sabaktani?
(BapaKu, BapaKu mengapa Engkau meninggalkan Aku?)” Yang tidak mungkin terjadi
itu sudah terjadi. Bapa meninggalkan Anak yang terkasih, Anak berpisah dari
Bapa. Murka Bapa bukan karena dosa dan kesalahanNya tetapi karena dosa dan kesalahan
yang dipikul atau ditanggungNya. Kitalah yang membuat Dia tersalib. Kitalah
yang membuat Dia menderita. Apabila demikian adanya, apakah yang membuat kita
tidak bersedia menderita bagi Dia?
Pelukisan bahwa Kristus tidak tampan,
tidak semarak, tidak mempunyai daya tarik, sehingga orang tidak ingin
melihatnya, adalah merupakan suatu pelukisan yang sangat dekat dan tepat dengan kondisi ketika Yesus tergantung di atas kayu
salib. Siapakah yang ingin melihatNya? Tidak ada sesuatu yang menarik di sana.
Beseles
Ling, seorang penulis banyak buku tentang kata-kata mutiara mengatakan bahwa
pelukisan tentang Yesus yang tersalib itu terlalu indah dan sangat bagus, sebab
wajah di sana tidak penuh dengan memar. Darah yang mengucur membasahi seluruh
tubuhNya, wajahNya yang coreng moreng, bukan karena tinta tetapi karena luka.
Kepala yang tertusuk mahkota duri. Siapa yang ingin memandangNya? Siapa yang
ingin berlama-lama melihatNya? Siapa yang ingin berlama-lama menatap dan berada
di depanNya? Tidak ada. Kengerian, keburukan, kejelekan saja yang ada di sana.
Tuhan menderita? Jawabannya, Ya! Dia dihina, dihindari orang; Dia
seperti sampah, bau busuk menyengat hidung setiap orang yang lalu lalang di
situ, dan mereka merasa terganggu dengan kehadirannya. Padahal di kayu salib
itu tergantung Allah yang dengan rendah hati dan penuh cinta kasih menderita
demi penebusan dosa manusia.
Selanjutnya
dituliskan bahwa Dia penuh dengan kesengsaraan dan menanggung segala kesakitan.
Dia biasa menanggung kesakitan dan penuh kesengsaraan. Sekarang tolong
ceritakan kepada saya, siapa orang yang mampu menanggung segala beban
penderitaan tersebut kecuali Yesus Kristus. Adakah orang seperti Dia? Tidak
ada. Tetapi inilah Yesus Kristus Tuhan kita yang dengan penuh kerendahan hati
menanggung dosa kita. Pada Dia-lah terpusat seluruh penderitaan yang ada. Pada
Dia-lah terpusat seluruh kutuk karena dosa; padaNyalah terpusat seluruh aib
karena dosa manusia. Berkat pengorbananNya, manusia berdosa dan terhukum
yang seharusnya binasa oleh kemurkaan Allah, menjadi terselamatkan. Kristus
telah menggantikan posisi manusia yang berdosa dan terhukum. Sebab dosa telah
mengacaukan sistem tata kehidupan manusia; orang sehat menjadi sakit; orang
yang lurus menjadi bengkok. Orang yang seharusnya hidup dengan penuh cinta
kasih justru menjadi saling menghakimi. Orang yang bersatu
diceraiberaikan. Dosa benar-benar telah mengacaukan seluruh sistem tata
kehidupan manusia. Dan lebih parahnya lagi, kekacauan itu ternyata tidak
berhenti pada dimensi fisik saja tetapi juga merasuk merusak sampai pada
dimensi rohani dan relasi sosial manusia. Relasi yang rusak itu tidak hanya
relasi antara manusia dengan sesamanya tetapi juga relasi antara manusia dengan
Allahnya, Allah tidak lagi menjadi Tuhan bagi manusia. Manusia mau mengangkat
dirinya menjadi Tuhan. Untuk meluruskan sistem ini, Ia harus membayar mahal di
atas kayu salib. Ia menanggung murka Allah sebagai tumbal atas dosa manusia. Ia
ditikam, diremukkan. Lambungnya ditusuk tombak. Seluruh tubuh mengalami luka.
Belum lagi jiwaNya yang remuk redam dan terolok-olok oleh pengkhianatan Yudas
dan penyangkalan Petrus serta para murid yang pergi meninggalkanNya. Kristus
seperti domba, dianiaya, ditindas, dibantai bahkan penderitaannya melebihi seekor
domba yang dibawa ke pembantaian. Ia tidak berkeluh kesah. Ia pasrah. Ia tidak
mengobral cerita. Sekali lagi, Ia pasrah.
Semestinya
kalimat ini membuat kita berpikir ulang. Kita harus melihat bahwa itulah Yesus
Tuhan kita yang menjadi pusat seluruh hidup manusia. Apakah kita layak kembali
menyakiti Dia dengan tingkah laku kita yang tidak mau menderita
sehingga berbuat dosa. Apakah kita layak untuk kembali menyakiti Dia dan
menyakiti hatiNya dengan membuat hal-hal najis dalam hidup kita dengan tidak
mau berjalan lurus dan menanggung serta memikul salib untuk Dia. Apakah kita
akan kembali menghina dan menindas Dia serta akhirnya
menyalibkan Dia dengan berbagai pola tingkah laku dan perpecahan
kita? Demi kepuasan, kedudukan, gengsi dan kebesaran nama kita, haruskah kita
menyalibkan Dia kembali hanya karena kita tidak mau hidup menderita dan berbuat
seperti apa yang dikehendakiNya? Betapa munafiknya kita. Betapa menyedihkan
keadaan kita yang selalu menyebut Kristus Tuhan tetapi sebenarnya kita tidak
mengenalNya secara bersungguh-sungguh. Kita hanya terobsesi dengan berbagai
gaya khotbah yang menarik dan penuh statement sensasional.
Mari kita
perhatikan semangat yang ada. Janganlah kita menyalibkan kembali Tuhan Yesus.
Kristus adalah pusat penderitaan dan penderitaan yang kita alami bukanlah
apa-apa. Kristus-lah pusat penderitaan dan penderitaan yang kita tanggung itu
bukanlah apa-apa. Menderita bagi Kristus
itu berbeda dengan pengertian di dunia ini. Dunia mengerti dan menyamakan
askese sebagai penderitaan seperti anti uang, anti dunia keramaian,
mengasingkan diri dan lalu mengatakan bahwa semua itu untuk mencapai
kesempurnaan diri. Itu salah besar. Kristus sudah melakukan semua itu dan kita
tidak perlu melakukannya lagi. Tetapi karena Tuhan telah menuntun kita
supaya kita hidup sesuai dengan kehendakNya, lalu waktu kita hidup sesuai
dengan kehendakNya, kita mungkin tersisih, tidak memiliki jabatan, dianggap
aneh karena suci lalu disingkirkan, yang berakibat pada kesulitan keuangan dan
kehilangan akses ke pusat kekuasaan. Singkatnya, hidup mengikuti jalan yang
benar membuat kita menderita. Jadi di sini penderitaan berarti menahan seluruh
gejolak dan hawa nafsu duniawi kita. Mengendalikan diri kita menurut kriteria
buah roh. Di situ akan terjadi ketegangan luar biasa antara keinginan daging
dan tuntutan untuk menghasilkan buah roh. Itulah titik awal
penderitaan. Bukankah Yesus juga bergumul di Taman Getsemani. Kita tidak boleh
mengumbar hawa nafsu dan mau mengatur Tuhan. Janganlah apa yang kita nikmati
dan miliki itu karena hasil dari menipu orang lain. Janganlah kita berbahagia
di atas penderitaan orang lain. Itulah yang salah. Marilah kita pikirkan semua
itu secara baik-baik.
Kristus
sebagai pusat penderitaan telah menanggung semuanya untuk kita. Kebahagiaan
sejati dalam hidup manusia bukan berasal dari harta benda, kesuksesan maupun
kehebatan kita, tetapi kebahagiaan sejati berasal dari Kristus. Kita hanya akan
bahagia apabila mampu hidup menurut kehendakNya. Nah, apabila Tuhan menaruh harta
benda dalam hidup kita, bersyukurlah. Tetapi apabila Tuhan tidak menaruh harta
bagi kita, janganlah kita marah dan kecewa kepadaNya. Apa pun yang ada dan
diberikan Tuhan bagi kita, semuanya itu sudah terukur pas dan cocok bagi kita.
Jangan cemburu dan menginginkan harta sesamamu.
Biarlah
kita tetap mengangkat salib Kristus sehingga kesetiaan dan kesediaan untuk menderita
membuat kita tetap tegak dalam kebenaran Allah. Janganlah kita bangga hanya
karena mampu memberi banyak uang bagi gereja padahal uang tersebut hasil dari
menipu orang lain. Tuhan tidak bisa ditipu. Oleh karena itu marilah kita hidup
dengan jujur dan baik.
Menderitalah
bersama Dia yang sudah lebih dahulu menderita bagi kita. Menderitalah karena
kita melawan seluruh hawa nafsu kemanusiaan kita dan menegakkan kebenaranNya.
Penderitaan ini akan memerdekakan kita. Kebahagiaan kita adalah ketika kita
melakukan kehendak Tuhan. Jangan malas, tetaplah rajin. Gigih. Jadilah the
best supaya nama Tuhan semakin dimuliakan. Amen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar