Jumat, 13 Januari 2017

Khotbah .MAZMUR 92:13, 14.



Thema: “Menjadi Tua itu Sudah Pasti, Tapi Bagaimana Menjadi Tua Dengan Bijaksana”
Bertumbuh Subur secara Rohani pada Saat Kepala Sudah Beruban
”Mereka yang ditanam di Bait Tuhan.....5M

“Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah (exo anthropos) kami semakin merosot, namun manusia batiniah (eso anthropos) kami dibaharui dari sehari ke sehari” 2 Korintus 4:16
Siapakah orang bijaksana? Orang bijaksana tidak identik dengan orang yang berpengetahuan tinggi. Karena orang yang berpengetahuan tinggi, belum tentu berbijaksana, orang yang bijaksana belum tentu berpengetahuan tinggi. Bijaksana jauh lebih penting dari pengetahuan, karena bijaksana adalah arah dari pengetahuan
Realita Hidup Manusia
Menurut ilmu pengetahuan alam, yang kita kenal sebagai hukum Termodinamika  II. bahwa segala sesuatu yang ada di dunia bersifat merosot atau berkurang. Contoh, batu baterai tanpa digunakan pun tenaga yang tersimpan di dalamnya akan semakin merosot. Gedung yang megah bila tidak dirawat akan menjadi lapuk dengan sendirinya. Taman bunga yang indah tanpa dirawat akan rusak dan dipenuhi semak belukar. Bahkan rumah tangga yang pada mulanya serasi bila tidak dibina keindahannya akan merosot dengan sendirinya. Demikian halnya dengan manusia.
Pertama, setiap hari, semua orang yang hidup bertambah usianya. Berdasarkan kronologis (urutan waktu), usia biologis manusia menurut pengalaman Pemazmur  pada umumnya adalah 70 tahun dan bisa mencapai 80 tahun. Pemazmur mengatakan “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap”  (Mazmur 90:10). Dengan bertambahnya usia berarti hidup biologis kita berkurang bila dilihat dalam kronologis waktu. Inilah fakta pertama dan terpenting!
Kedua, berdasarkan hukum Termodinamika II, bahwa setiap orang seiring bertambahnya usia akan mengalami kemerosotan biologis (jasmniah). Sebagian orang berusaha menyangkali penuaan ini dan berusaha mempertahankan kemudaannya yang perlahan-lahan mulai hilang. Kosmetik dan krim kecantikan tidak mampu menyembunyikan keriput dan noda ketuaan. Inilah fakta kedua: siapapun tidak mampu menaham proses penuaan!
Ketiga, ciri-ciri penuaan adalah kemerosotan. Dalam gerontologi atau ilmu tentang lanjut usia, ada tiga bentuk kemorosotan yang akan dialami manusia. Secara kronologis, menjadi tua berarti merosotnya usia hidup. Seiring bertambahnya usia, berarti semakin berkurang kesempatan hidup, dengan kata lain, semakin dekat dengan kematian jasmaniah. Secara biologis, menjadi tua berarti merosotnya kondisi fisik dan keadaan kesehatan. Saat kita makin tua kemampuan reflek akan berkurang; lensa mata menjadi kurang elastis, penglihatan kurang tajam dan tidak dapat melihat jauh (istilah medis “presbiopa”); dan pada berbagai tingkat daya pendengaran mulai berkurang (istilah medis “presbikusis”). Secara psikologis, menjadi tua berarti merosotnya kemampuan berpikir dan mengingat (istilah medis “dimensia”) Karena itu jangan Tawar Hati sebab:
Amsal 24:10. Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu.
Dari mana tawar hati itu? Ketika kita menghadapi berbagai macam tantangan, penderitaan, masalah, penyakit, banyak orang mulai tawar hati. Orang percaya anak-anak Tuhan, Saudara dan saya, tidak boleh tawar hati. Sayur saja tidak boleh tawar, tidak enak, apa lagi hidup kita. Jangan sampai tawar hati, karena kecillah kekuatanmu, tidak ada semangat.
 Bertambahnya usia itu sendiri bukan kutukan, karena tahun-tahun harus berlalu agar kita tetap ada. Malah, pertumbuhan dan kematangan adalah ciri-ciri yang diinginkan pada semua makhluk hidup.
 Bagaimana orang Kristen dapat terus ”bertumbuh subur pada saat kepala sudah beruban”?
Firman Allah meyakinkan kita bahwa ”mereka yang ditanam di rumah Allah . masih bertumbuh subur pada saat kepala sudah beruban”. (Mazmur 92:13, 14) Dengan bahasa kiasan, sang pemazmur menuturkan kebenaran yang mendasar bahwa hamba-hamba Allah yang setia dapat terus bertumbuh, makmur, dan sejahtera secara rohani, sekalipun mengalami kemerosotan jasmani. Banyak contoh pada zaman Alkitab dan zaman modern membuktikannya.
”Tidak Pernah Meninggalkan Bait”
Bagaimana nabiah Hana yang lanjut usia memperlihatkan pengabdiannya kepada Allah, dan bagaimana ia diupahi?
 Perhatikan Hana, seorang nabiah. Ia berusia 84 tahun, tetapi ”tidak pernah meninggalkan bait, memberikan dinas suci malam dan siang dengan berpuasa dan membuat permohonan”. Karena ayahnya bukan orang Lewi, melainkan ”dari suku Asyer”, Hana tidak dapat secara harfiah tinggal di bait. Bayangkan upaya yang mesti ia kerahkan untuk hadir di bait setiap hari dari waktu dinas pagi sampai waktu dinas malam! Namun, karena pengabdiannya, Hana diupahi dengan limpah. Ia mendapat hak istimewa berada di bait sewaktu Yusuf dan Maria membawa Yesus kecil ke bait untuk diserahkan kepada Yehuwa sesuai dengan Hukum. Saat melihat Yesus, Hana ”mengucapkan syukur kepada Allah dan berbicara tentang anak itu kepada semua orang yang menantikan pembebasan Yerusalem”.—Lukas 2:22-24, 36-38; Bilangan 18:6, 7.
Bagaimana banyak saudara-saudari lansia dewasa ini memperlihatkan semangat seperti Hana?
Dewasa ini, di antara kita ada banyak saudara-saudari lansia yang, seperti Hana, berhimpun secara teratur, sungguh-sungguh berdoa demi kemajuan ibadat yang sejati, dan memiliki hasrat membara untuk memberitakan kabar baik. Seorang saudara berusia 80-an yang berhimpun secara teratur bersama istrinya mengatakan, ”Berhimpun sudah menjadi kebiasaan kami. Kami tidak mau berada di tempat lain. Di mana umat Allah berada, di sana kami ingin berada. Di sanalah kami merasa nyaman.” Teladan mereka sungguh membesarkan hati kita semua!—Ibrani 10:24, 25.
Terus Mengasah Pikiran
7. Pada usia lanjut, bagaimana Musa mengungkapkan keinginannya memperdalam hubungannya dengan Allah?
7 Pengalaman hidup diperoleh seiring dengan berlalunya waktu. (Ayub 12:12) Namun, kemajuan rohani tidak otomatis diperoleh dengan bertambahnya usia. Musa tidak pernah merasa terlalu tua untuk belajar. Setelah puluhan tahun melayani Allah, menikmati banyak hak istimewa, dan mengemban berbagai tanggung jawab yang serius, Musa memohon
Menjadi Tua, Apa Seharusnya Dilakukan?
1., tetap bertumbuh dan semakin giat dalam hal-hal rohani. (2 Korintus 2:16; 1 Korintus 15:58). Semakin lama seseorang menjadi orang Kristen, kehidupan rohaninya pun harus bertambah kuat. Setiap hari manusia batiniah harus diperbaharui antara lain melalui persekutuan yang berkelanjutan dengan Kristus dan firman Tuhan (Yohanes 15:1-8); melalui doa dan perenungan firman (Yohanes 17:17); oleh iman dikuatkan oleh kuasa Roh Kudus (Efesus 3:16). Hanya dengan cara demikian kehidupan batiniah akan bertumbuh. Walau jasminiah terus-menerus merosot.
2., hidup bijaksana dan menjadi teladan. Pemazmur, setelah mengetahui betapa singkatnya hidup ini, memohon kepada Tuhan, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Satu alasan untuk status penting yang diberikan kepada orang yang lanjut usia adalah kepercayaan bahwa lanjut usia disertai hikmat. Karena orang tua dianggap telah mencapai kebijaksanaan, kedudukan yang berkuasa diberikan kepada mereka.
3. utamakan hal-hal yang menjadi prioritas kita karena waktu yang terbatas (Efesus 5:15-17).  Orang-orang yang ada di sekitar kita, anak, isteri, suami, orang tua, teman-teman, akan mati dan kita pun akan mati. Kasihi dan  hargailah mereka selagi masih bisa. Sebab jika sudah tidak ada, kita tidak bisa berbuat apa-apa.  Ada pepatah yang mengatakan “Yesterday is history, tomorrow is misteri, today is reality” . Artinya, hari kemarin adalah sejarah, hari esok adalah misteri, hari ini adalah kenyataan. Waktu dan kesempatan yang kita punya dalam hidup ini sangat terbatas, karena ini manfaatkan dengan sebaik-baiknya. 4. bergantung dan berserah kepada Tuhan. Yesaya 46:4 mengatakan “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”.  Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi, yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26). Sebagai mahluk berpribadi, kita memiliki kemandirian yang relatif (tidak mutlak), dalam pengertian bahwa kita memiliki kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan membuat pilihan-pilihan sendiri. Tetapi, sebagai mahluk ciptaan, kita bergantung pada Tuhan bagi keberlangsungan hidup kita; Kita tidak bisa berdiri sendiri; hidup kita bergantung pada Tuhan Pencipta dan Penebus kita. Di dalam Tuhanlah kita hidup, bergerak, dan bernafas (Kejadian 1:26; 2:7; Kisah Para Rasul 17:28). Janji Tuhan bahwa Ia akan memelihara kita hingga kita tutup usia dapat kita andalkan.

Khotbah Minggu 15 Januari 2017 Yesaya 49:1-7 Thema: “Menjadi Terang Bagi Bangsa2”



Pendahuluan Yesaya berarti “Tuhan adalah keselamatanku”. Kitab Yesaya ini ditulis dalam tiga kurun waktu yaitu: tahun 740-700 s.M, Masa pembuanga (587-535 s.M). dan masa pasca pembuangan (sekitar 530 s.M). Yesaya memberitakan penghukuman Allah atas kejahatan Israel, kaena bangsa Israel tidak hidup dalam kekudusan Allah. Allah itu adalah Allah yanng Mahakudus maka Israel  mestilah hidup kudus, beribadah yang benar, menegakkan keadilan, kesetiaan, dan hidup dengan kekudusan sesuai hukum Taurat. Yesaya menyerukan pertobatan sebagai satu-satunya jalan untuk dapat diselamatkan. Yesaya juga menekankan tentang pengharapan baru tentang keselamatan Israel yang mengalami pembuangan. Peristiwa pembuangan menimbulkan keputusasaan Israel. Namun Yesaya mengajak umat yang terbuang supaya ber-pengharapan, Tuhan masih mengasihi dan akan menyelamatkan Israel melalui seorang “hamba” yang dipahami sebagai Mesias. Yesaya juga menekankan dan menegaskan kedatangan Mesias dari keturunan daud sesuai janji Allah. Mesias menjadi terang dunia yang menyelamatkan seluruh bangsa-bangsa yang hidup dalam kegelapan. Mesia sebagai Hamba Tuhan yang dimaksud ialah tertuju kepada Tuhan Yesus sebab dalam perikop ini seorang hamba yang dimaksud ialah seorang yang dipersiapkan sejak semula, sebelum ia dilahirkan. Ia seorang hamba yang datang dengan perkataan seperti sebilah pedang tajam yang menembus hati nurani orang yang mendengarkannya, bahkan ia mempunyai anak panah yang melambangkan hukuman Allah bagi setiap orang yang tidak menerima Firman Allah tersebut. Ia adalah seorang hamba yang di dalam diriNya kelak menyatakan keangungan Allah. Seorang hamba yang sanggup memenuhi segala tuntutan Allah dari bangsa Israel bahkan mengembalikan Israel sejati yakni membawa setiap orang menjadi umat percaya dan menjadi umat yang mengenal Tuhan sampai ke ujung dunia. Ia juga adalah seorang hamba yang ditolak, dikecewakan, dimusuhi, dihina, dijijikkan semua orang dan pada akhirnya kepadanya bangkit segala bangsa memberi hormat dan pembesar-pembesar dunia sujud menyembahnya.
Hamba Tuhan yang mempunyai tugas mulia yakni menjadi Terang bagi bangsa-bangsa agar keselamatan dari Allah diterima oleh seluruh dunia. Untuk tujuan ini Tuhan memanggil, hambanya. Pemilihan adalah Otoritas Tuhan, pemilihan adalah Inisitif Tuhan, bukan kemauan atau prestasi seseorang. Tuhan menyertai dan memberi kuasa kepada hambaNya. Tuhan menyertai dan melindunginya seperti anak panah yang disembunyikan dalam tabung panahnya. Karena itulah hamba Tuhan tersebut sanggup melakukan tugasnya dengan baik, memberitakan perkataan Tuhan dengan tajam dan tepat sasaran seperti pedang yang tajam dan anak panah yang runcing. Ia tidak takut terhadap apa pun sebab Tuhan yang telah memilih dan memanggilnya, maka Tuhan pula yang akan menyertainya.
 Menerima Yesus berarti menerima terang hidup. Kesediaan kita hidup dalam terang itulah yang membuat jalan hidup kita tetap  terarah ke depan untuk menjalani tahun yang baru ini. Menerima Yesus sebagai hamba Tuhan berarti menyadari diri juga sebagai hamba Tuhan dalam arti tertentu. Menjadi hamba Tuhan berarti mengakui otoritas Tuhan sebagai sang pemilik hidup ini sehingga mau tidak mau kalau Allah mau kita harus menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Hamba Tuhan memikirkan kepentingan orang lain (persekutuan) dan bukan kepantingan diri sendiri. Ia bukan menganggap diri ‘kurang’ tapi ‘kurang’ memikirkan kepentingan diri, tetapi kepentingan Allah. Seorang hamba Tuhan tidak berusaha ‘memanfaatkan’ Allah demi tujuan-tujuan mereka, tetapi mereka membiarkan Allah memakai mereka demi tujuan-tujuan Allah. Mereka berpikir sebagi hamba yang menyenangkan tuannya di Sorga dan bukan menjadi tuan yang menuntut kesenangan dari orang lain. Hamba Tuhan yang baik mempertanyakan apa yang ia kerjakan dan bukan menyelidiki apa yang orang lain kerjakan. Hamba Tuhan terpanggil membawa terang dan bukan sumber kegelapan. Hamba Tuhan yang baik mendasarkan identitasnya di dalam Hamba Tuhan yang sejati yakni Kristus. Bagaimana dengan kita? 
 Didalam Kitab Yesaya ada empat nyanyian tentang hamba Tuhan. (Fsl. 42:1-4; 49: 1-7 ; 50:4-9; 52:13-53:12) . Fasal 49 ini merupakan nyanyian kedua dari empat nyanyian tersebut yang menceritakan tentang karakter, karya dan pengalaman seorang hamba Tuhan.
Dari nyanyian ini kita melihat ada 3 peranan Tuhan yang digambarkan, yaitu:
 (1) Ia telah memilih dan memanggil orang-orang yang telah ditentukanNya untuk menjadi hambaNya;
Pemilihan adalah Otoritas Tuhan, pemilihan adalah Inisitif Tuhan, bukan kemaauan atau prestasi seseorang.
Yesus berkata didalam Yohanes 15:16; ”bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu…..dst.
  (2) Ia yang akan melindungi, menyertai serta memberi kemampuan kepada hamba-hambaNya untuk melakukan tugas yang sudah Allah tentukan bagiNya; Tuhan tidak pernah membiarkan kita, melepaskan kita ketika kita diutus untuk memberitakan berita kesalamatan. Ada janji, ada jaminan, bukan hanya kemenangan sementara tapi kemenangan yang kekal.
Tuhan menyertai dan melindunginya seperti anak panah yang disembunyikan dalam tabung panahnya. Karena itulah hamba Tuhan tersebut sanggup melakukan tugasnya dengan baik, memberitakan perkataan Tuhan dengan tajam dan tepat sasaran seperti pedang yang tajam dan anak panah yang runcing. Ia tidak takut terhadap apa pun sebab Tuhan yang telah memilih dan memanggilnya, maka Tuhan pula yang akan menyertainya.
Ketika masih anak-anak, dan terjadi perkelahian dan ada ketakukan menghadapi lawan, Jika saat itu Bapa kita mengatakan, jangan takut, hadapilah dia, aku akan membantumu, biasanya kata-kata seperti ini menjadi sugesti yang memberikan kekuatan untuk menghadapi lawan tersebut. Apalagi tugas kita adalah: “Maju tak gentar membela yang benar” hati dengan kalimat ini, jangan sampe salah diucapkan apalagi dijalankan; “Maju tak gentar membela yang bayar”.
 Dengan mengingat bahwa semua kemampuan yang kita miliki dalam melayaniNya adalah karena penyertaan Tuhan, itu juga berarti panggilan harus kita gunakan dengan baik untuk Tuhan, bukan menyombongkan diri.
 (3) Allah juga menentukan tugas hamba yang dipilihNya;
Ada 3 Tugas penting seorang hamba:
Pertama: Menyatakan keagungan Tuhan (ay-3)
Tugas ini menuntut kita untuk menceritakan kebesaran dan keagungan Tuhan yang layak diandalkan.
Kata “memceritakan” = memberikan kesaksian, Rasul di dalam I Korintus 9:16 menuliskan: ”……sebab itu adalah keharusan bagiku.Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan injil” (“keharusan”)
Bandingkan juga Kesaksian Yeremia didalam Yeremia 20:9; ”Tetapi apabila aku berpikir: "Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya", maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup”.
 Kedua: Mengembalikan Yakub kepadaNya(ay-5)
Artinya melalui Yesaya Israel dipanggil untuk mengutamakan Tuhan sehingga restorasi rohani akan berdampak pada tegaknya suku-suku Yakub. Panggilan kita sebagai hamba kini juga untuk menegakkan “suku-suku Yakub”, bangsa yang terpilih, Imamat yang rajani, bansa yang kudus (I Pet 2:9).
 Ketiga:Menjadi terang bagi bangsa-bangsa (ay-6)
Ketika Israel dipulihkan bangsa-banghsa lain akan terheran heran dan turut mengakui kedaulatan Allah yang disembah Israel.
Menjadi terang seperti Yohanes pembaptis yang tampil menunjuk kepada Yesus (Bacaan; Yohanes 1:29-42). Yohanes Pembaptis, yang merendahkan dirinya, ia adalah “seorang Pelopor yang bersedia dilupakan”.
Menjadi terang juga berarti kita bertanggung-jawab atas “kegelapan-kegelapan “ yang ada disekitar kita.
Amen. Dari Berbagai Sumber



Jumat, 06 Januari 2017

HIDUP MENGUCAP SYUKUR Khotbah Efesus 5:20



 Kita telah membicarakan bagaimana implikasi kehidupan Kristen yang dinyatakan da­lam Efesus 5:17-19: “Janganlah kamu bodoh tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehen­dak Tuhan.” Hidup mengerti kehendak Tuhan bukanlah hal yang sederhana melainkan harus di­ubah dan dibangun dengan fondasi yang tepat dari iman yang dimengerti secara tepat yang akan mem­bangun seluruh implikasi kehidupan kita. Dan kita telah melihat bagian pertama dari tiga point, bagaimana prinsip tersebut diturunkan dalam kehidupan kita. Dikatakan dalam ay. 19: “Ber­ka­ta-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.” Sua­tu hal yang mungkin tidak biasa kita lakukan sehari-hari namun itu merupakan prinsip yang di­se­but sebagai the worship life (hidup yang beribadah). Kehidupan kita seringkali mengalami dua­lis­tik sehingga menaikkan mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani kita anggap hanya se­ba­gai urusan vertikal dan tidak pernah kita lakukan dalam hubungan kita dengan sesama. De­ngan demikian kita tidak dapat mengerti dan tidak mampu ketika diminta untuk berkomunikasi se­ca­ra surgawi, sama seperti ketika kita berkomunikasi kepada Allah. Dan itu bukanlah masalah prak­tis biasa tetapi dibelakangnya terdapat satu masalah teologis yang sangat besar, yang sulit ki­ta terima sehingga tidak terimplikasi dalam hidup kita.
Selanjutnya kita masuk dalam bagian kedua: “Ucaplah syukur senantiasa atas segala se­­­suatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” (Yunani: di dalam se­­­gala sesuatu bersyukurlah selalu dalam nama Tuhan Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita). Kata segala sesuatu merupakan kata pertama, bersyukurlah (eukharisteō), dan se­nantiasa (meng­­­gunakan bentuk tenses present active participle = present continous active-Inggris) yaitu sa­­­tu format te­rus-menerus yang dija­lankan dalam hidup kita (habit/kebiasaan). Disini kita tahu bah­­­­wa se­be­nar­nya hidup ini harus pe­nuh dengan ucapan syukur namun secara fak­ta hidup kita ti­­dak demikian. Banyak orang tidak dapat hi­dup seperti apa yang Alkitab katakan, mereka hidup pe­­nuh de­ngan stress akibat tekanan kesulitan dan pen­de­­ritaan yang sangat berat dan semakin ha­­ri semakin bertambah, demikian juga orang Kristen tanpa kecuali.
Tujuh puluh persen orang Kristen dan mayoritas orang non Kristen ber­anggapan bah­wa manusia terdiri dari tiga unsur yaitu tubuh, jiwa dan roh (Trikotomi). Tetapi kalau kita mem­pe­la­­jari secara tepat maka sebenarnya Alkitab tegas menyatakan bahwa manusia hanya ter­diri dari dua unsur saja yaitu tubuh dan roh/ jiwa (Dikotomi). Seringkali aki­­bat kesalahan fatal ini maka kita me­­­lihat stress sebagai pro­­blem psikologis – aspek jiwa, tetapi itu sebenarnya adalah ajaran fil­­sa­fat Yuna­ni. Alkitab ti­­dak pernah mengatakan bahwa jiwa menjadi eksistensi yang lepas, be­da de­ngan roh, tetapi sebenarnya jiwa dan roh itu dipakai secara bergantian di dalam Alkitab. Ketika se­cara seratus persen saudara mampu men­ja­lan­kan “ber­syu­kur di dalam segala sesuatu se­nan­tia­­sa kepada Allah Bapa kita di dalam Tuhan Yesus Kristus,” ma­­ka kita tidak akan mungkin stress. Tetapi secara realita hal itu tidak mungkin dijalankan secara penuh dalam hidup kita ka­re­na kita lebih banyak bersunggut-sung­gut di dalam melewati hidup. Jikalau kita anggap hal diatas se­bagai aspek psikologis maka seolah-olah masalah ter­se­but dapat diselesaikan tanpa Tuhan per­lu ada (humanistik: konseling, therapi, dsb) dan itu hanyalah penyelesaian sejenak, yang nan­ti­­­nya akan menimbulkan efek yang lebih parah. Seperti cara-cara baru di Jepang yang me­nye­dia­kan suatu kamar khusus bagi orang yang stress supaya mereka dapat melampiaskan emosi me­re­­ka dengan berteriak sekuat-kuatnya. Alkitab hanya mengatakan satu hal: “Ucaplah syukur se­nan­­tiasa di dalam segala sesuatu kepada Allah Bapa di sorga di dalam Tuhan Yesus Kristus.” Mengapa kita tidak mampu mengerti apa yang dilakukan Paulus yang walaupun di dalam penjara yang paling dalam, gelap dan ter­be­leng­gu, ia masih dapat memuji Tuhan. Demikian juga Stefanus, ketika dirajam batu, ia justru mene­nga­­dahkan tangannya, menatap kedepan dan ber­syu­­kur kepada Tuhan. Mengapa kita se­ba­gai anak Tuhan sulit mengerti dan melakukan hal ini?
Disini kita akan melihat tiga aspek yang perlu kita evaluasi total dalam diri kita se­hu­bung­­­an dengan kesulitan kita untuk mengucap syukur:
 Pertama, Kita tidak mampu bersyukur ka­re­­na ki­ta gagal mengerti cinta Tuhan yang sesungguhnya baik dalam pikiran maupun prinsip hi­dup kita. Kita sudah terlalu banyak dicemari oleh format cinta dunia, cinta yang egoistik, ma­nipu­la­tif, yang mem­buat kita akhirnya gagal mengerti bahwa Allah kita mencintai dengan sungguh-sung­­guh. Mung­kin kita mampu bersyukur ketika Tuhan memberikan segala sesuatu yang meng­un­­tung­kan kita, tetapi akan sulit melakukannya ketika kita mendapatkan kesulitan dan berbagai per­­gu­mul­an hi­dup. Dan akhirnya seringkali kita mencurigai cinta kasih dalam hidup kita. Sikap men­­cu­ri­gai ka­sih sangat mungkin terjadi di dalam kehidupan manusia berdosa, tetapi jikalau hal se­­perti ini kita im­plikasikan kepada Tuhan dan mulai mencurigai Dia tidak mengasihi dan berbuat ja­hat pada kita, maka itu akan membuat kita kehilangan seluruh sukacita, ucapan syukur dan mem­­­buat kita hi­­dup di dalam kerusakan dan tekanan yang berkepanjangan. Siapa Allah kita dan ba­­gaimana Dia di dalam pengertian kita, akan sangat mempengaruhi sikap kita. Jikalau kita tahu bahwa di da­­­­lam segala hal Tuhan begitu mencintai kita maka tidak ada alasan bagi kita un­tuk tidak ber­syu­kur kepadaNya, sekalipun suatu hal yang sulit kita terima karena kita tahu itu demi kebaikan kita.
Kedua, Karena kita tidak pernah mengerti dengan tepat karya Tuhan Yesus di dalam hidup kita masing-masing. Yesus rela naik ke kayu salib bukan karena kita berjasa tetapi karena kita ber­dosa. Pada saat kita begitu jahat, berontak pada Tuhan, Ia mau menyelamatkan dan mati bagi sau­dara dan saya. Seberapa dalam kita mengerti Tuhan menebus dan menyelamatkan kita dari dosa kita. Ketika kita mengerti anugerah ini maka kita tahu bagaimana dapat bersyukur setiap hari. Tidak ada satu manusiapun yang sempurna dalam dunia ini, setiap hari kita masih berbuat do­sa, mungkin kita tidak pernah membunuh atau mencuri tetapi kita seringkali melawan dan tidak ta­at padaNya. Di dalam budaya, terutama budaya Tionghoa, ini merupakan satu hal yang sangat di­te­kankan. Bagi orang Tionghoa, yang dinamakan “u-hauw” (hormat/ berbakti) itu adalah mentaati se­cara mutlak apa yang dikatakan oleh orang tua. Terkadang ketika ayah-ibu kita salah, mereka te­tap meminta yang salah itupun harus diturut. Disini kita harus sadar bahwa ketika kita se­ba­gai orang tua, taat mutlak pada Allah sehingga anak kita taat kepada kita. Kalau orang tua tidak ta­at kepada Allah maka anak kita berhak melawan kita. Karena anak kita harus taat kepada Allah le­bih daripada kepada siapapun. Kalau kita taat kepada orang tua itu adalah karena kita taat ke­pa­da Allah yang memerintahkan kita untuk hormat kepada orang tua. Itu prinsip yang harus di­te­gas­kan tanpa kompromi di dalam aspek ini. Tetapi seringkali kita berjalan keluar dari jalur yang Tuhan inginkan dan tidak taat mutlak kepada Allah sehingga mengakibatkan hidup kita me­nga­lami tekanan dan berbagai pergumulan hidup yang tidak seharusnya kita alami. Hanya melalui da­rah Tuhan Yesus yang dicurahkan, itulah yang membuat kita kembali kepadaNya. Banyak orang Kristen bertahun-tahun datang ke gereja tetapi begitu kering dan tidak mengerti dalamnya arti penebusan Kristus bagi hidupnya dan itu mengakibatkan ia tidak pernah dapat bersyukur pa­da Tuhan. Sewaktu kita mengerti karya anugerah Tuhan Yesus, itu menjadikan hidup kita penuh de­ngan ucapan syukur dan hidup kita diubah menjadi baru, hidup yang mengerti kebenaran.
Ketiga, Kita tahu bagaimana Allah memelihara kita. Doktrin yang penting dan ditegakkan be­gitu tegas dalam teologi Reformed ialah The Providence of God (pemeliharaan Allah atas umat­Nya). Ini didasarkan pada konsep bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat. Hidup manusia ha­rus taat pada Allah karena Allah adalah Allah yang berdaulat atas sejarah. Karena ia berdaulat atas sejarah maka ia berdaulat juga atas kita yang hidup dalam sejarah kerajaanNya. Kalau kita me­ngerti ini maka kita tahu bahwa langkah hidup kita itu merupakan langkah yang berada dalam anu­gerah dan membuat kita mampu bersyukur, apapun yang terjadi. Kita seringkali tidak sadar ka­lau kita berada di dalam pemeliharaan Allah dan di dalam jalur benang merah keselamatan Tuhan dimana kita sedang berjalan di dalam figur sejarah utama keselamatan Allah.
Di dalam sebuah film, kadangkala providensia sutradara terlalu terlihat berlebihan. Se­orang sutradara sedang berperan seperti “Allah kecil” ketika ia sedang mempermainkan seja­rah­nya (film) dan ia akan menjaga supaya pemeran utamanya tetap bermain di sepanjang sejarah film­nya, dan itu demi mempertahankan benang merah sejarahnya. Tetapi ketika itu kita tidak sa­dar bahwa itu adalah cara sang sutradara mengatur. Namun Allah kita jauh lebih besar daripada se­kedar pengaturan sejarah seorang sutradara karena Ia tidak hanya bermain di dalam kurun waktu yang terbatas. Satu hal yang perlu dipikirkan adalah apakah saudara saat ini berada di da­lam garis benang merah utama sejarah ataukah hanya sebagai figuran saja. Kalau kita tahu bah­wa kita adalah umat Allah yang sedang berada di dalam jalur keselamatan Allah berarti kita ber­ada di dalam garis merah sejarah keselamatan Allah, dan Allah ingin bekerja di dalam diri sau­dara dan saya untuk menuntaskan sejarah keselamatan. Dan Allah akan memelihara hidup kita, apa­pun yang terjadi dalam diri kita tidak akan lepas dari providensia Allah. Allah yang mengatur, me­melihara dan menuntun setiap langkah kita dan sejauh kita taat padaNya maka Ia akan mem­bu­ka jalan bagi kita sebagai jalan yang terbaik dalam hidup kita.
Seberapa jauh kita sadar akan hal ini? Kita sulit menyadari providensia Allah karena kita hanya memikirkan apa yang sedang kita rancang, atur dan mainkan sehingga kita tidak me­li­hat Tuhan memelihara langkah demi langkah kita. Seringkali kita melewatkan anugerah Tuhan yang seharusnya dapat dinikmati di sepanjang sejarah hidup kita. Kita tidak melihat bagaimana Tuhan memperkenankan kita melewati tempat-tempat, kesempatan-kesempatan, pertemuan, dan ber­kat yang indah yang Tuhan berikan pada kita. Dan semuanya itu mengakibatkan kita tidak mam­pu bersyukur pada Tuhan. Kita lebih mudah melihat kejelekan dan keburukan dari setiap hal yang kita alami dan hidup kita dipenuhi segala gerutuan sepanjang hari. Sangat disayangkan jika­lau kita gagal mengerti providensia Allah. Seberapa saudara dapat mengucap syukur di dalam se­gala sesuatu senantiasa, sedemikian juga saudara akan menikmati kebahagiaan yang Tuhan se­diakan bagi kita.
Terdapat beberapa manfaat dari hidup yang penuh dengan ucapan syukur: 1). Syukur  me­matahkan pride (kesombongan); 2). Syukur memberikan kesadaran limitasi dan dependensi; 3). Syukur membawa pengharapan; 4). Syukur membawa sukacita; 5). Syukur memberikan apre­sia­si; 6). Syukur mendorong kesaksian; dan 7). Syukur memberikan semangat dan kelegaan.
Haruskah kita membelenggu diri kita di dalam tekanan-tekanan yang tidak ada pa­ha­la­nya yang kita buat sendiri untuk menghancurkan hidup kita ataukah kita akan bertobat saat ini, kem­bali pada Tuhan, mau belajar mengerti siapa Allah yang kita percayai. Biarlah pengenalan kita akan Allah mengubah seluruh hidup kita sehingga setiap hari kita boleh belajar bersyukur ke­pa­da Dia di dalam segala hal, bahkan dalam hal yang paling kecil, seperti misalnya bersyukur atas makanan yang boleh kita terima setiap harinya. Di tengah dunia yang penuh stress biarlah Tuhan memakai kita untuk menghibur supaya mereka melihat ada secercah harapan yang sung­guh indah dalam hidup kita. Kiranya ini boleh menjadi kekuatan bagi hidup kita untuk kembali ber­syu­kur di hadapan Tuhan, mengubah hidup kita di dalam satu hidup yang penuh ucapan syukur. Amin.?