Rabu, 31 Juli 2013

"APA YANG KITA PERBUAT UNTUK HIDUP BENAR"

Kita kini hidup di era yang menganut nilai relativisme, suatu masa di mana berlaku ungkapan, “Tidak ada kemutlakan!” Dalam banyak hal, garis pemisah antara kebenaran dan kekeliruan telah menjadi kabur, jika tidak ingin dikatakan terhapus sama sekali. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati, kebanyakan dari kita masih tetap dapat membedakan mana yang benar dan yang salah - paling tidak dalam beberapa aspek kehidupan. Misalnya, tidak ada satu pun di antara kita yang rela seseorang mengambil sesuatu yang menjadi milik kita. Kita tidak suka dibohongi, dan ketidakjujuran cenderung menghancurkan hubungan di tempat kerja, di rumah, dalam jalinan persahabatan, dan dalam organisasi kemasyarakatan. namun tampaknya kita semua mempunyai perasaan naluriah mengenai cara yang benar menjalani hidup - apa yang oleh Alkitab disebut sebagai, “kebenaran”. Namun, dalam banyak aspek kehidupan masalah benar dan salah tidak selalu dapat dengan mudah dibedakan. Lalu bagaimana kita merumuskan apa yang diperlukan untuk membangun suatu “hidup yang benar” manakala hal yang awalnya terpisah secara jelas dalam pola hitam-putih bergeser menjadi daerah “abu-abu” yang meragukan? Kitab Amsal memang tidak secara eksplisit memberikan panduan rinci menghadapi setiap kondisi, namun Kitab ini menyediakan prinsip dan panduan yang sangat membantu, yaitu: Hidup dengan benar ditandai oleh pemilihan jalan yang benar. Tidak jarang kita berusaha mencontoh perilaku terpuji para tokoh panutan karena bagi kita mereka telah meletakkan standar menjalani kehidupan dengan benar. Seperti diungkapkan dalam Amsal 4:18-19, “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari. Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.” Hidup dengan benar berarti setia berada pada jalan yang benar. Mereka yang sudah memutuskan untuk melakukan apa yang benar tidak terusik oleh hal-hal sepele atau menyimpang karena memilih jalan alternatif yang tampaknya lebih menggiurkan. Komitmen untuk hidup dengan benar menyebabkan mereka tetap berjalan di jalan yang sempit, dan tidak memilih jalan yang lebih menarik atau menguntungkan. Sebagaimana dicatat dalam Amsal 4:26-27, “Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu. Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, jauhkanlah kakimu dari kejahatan.” dalam Amsal 21:21, “Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan”. Hidup dengan benar tidak dibangun di atas dasar perasaan. Ungkapan masa kini berbunyi, “Jika Anda rasa baik, lakukan saja.” Emosi, tidak selalu dapat diandalkan. Emosi tak jarang memberi arahan yang keliru. Amarah dapat menyebabkan kita menyerang seseorang, dan itu bukan hal yang benar. Mungkin perasaan bahwa besar gaji yang kita terima tidak memadai itu benar, tetapi tidak berarti kita diperkenankan mencuri uang perusahaan. Amsal 16:25 mengingatkan: “Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” Amin

Khotbah Minggu 25 Agustus 2013 Yesaya 58: 9-14. Thema:" Kesalehan yang palsu dan yang sejati"

Pendalaman Nas: Kalau kita memperhatikan pembagian kitab Yesaya, nas kita dikelompokkan pada bagian Trito Yesaya (Psl.55-66), yang menceritakan kehidupan bangsa Israel setelah pulang dari pembuangan Babel. Nas kita (Yesaya 58:4-14) merupakan kritikan terhadap ibadah umat Israel, dalam hal ini sehubungan dengan cara mereka berpuasa. Satu hal yang positif bahwa umat Israel sekembali mereka dari pembuangan Babil, mereka masih melakukan ibadah dengan rajin, rajin mengkaji kebenaran di dalam hukum Allah (ayat 2-3) dan juga rajin berpuasa tentunya dengan harapan besar agar Tuhan mengabulkan atau memberikan apa yang menjadi harapan mereka sebagai bangsa yang baru “merdeka” yakni untuk hidup sejahtera. Tidak disebutkan apakah puasa dilakukan secara bersama-sama (keseluruhan umat), secara kelompok atau pribadi-pribadi, juga jenis puasa yang dilakaukan dan lamanya berpuasa. Hal ini dikemukakan karena dalam Perjanjian Lama hanya ada satu praktek puasa yang ditentukan yaitu pada saat hari Pendamaian (hari pengampunan dosa – Im 16; 23:26-32). Saat itu, seluruh bangsa Israel merayakan hari itu dengan berpuasa dan beristirahat. Namun sebagaimana telah disebutkan bahwa praktek puasa sudah biasa dilakukan dalam kehidupan umat Israel sejak nabi Musa, baik secara perorangan (mis, 2 Samuel 12:22) mapun kadang-kadang secara bersama-sama (mis, Hakim 20:26; Yoel 1:14). Selain kewajiban hukum agama, biasanya ada dua alasan seseorang atau sekelompok orang berpuasa, yaitu: bukti lahiriah dukacita dan pernyataan pertobatan. Berpuasa juga kerap kali dilakukan dengan tujuan memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah atau meminta kuasa dalam memerangi setan. Ada juga orang yang berpuasa demi orang lain. Apapun tujuannya, praktek puasa harus diikuti penyerahan diri kepada Tuhan yang tampak dalam kelakuan hidup yang baik. Sebab praktek puasa tanpa diikuti sikap hidup yang benar adalah sia-sia. Artinya doa mereka, harapan mereka tidak akan dikabulkan Tuhan (ayat 4b). Hal inilah yang dikeritik nabi Yesaya dalam perikop kita sebab nampak kecendrungan praktek puasa yang dilakukan umat telah merosot menjadi kebiasaan leglistik - sekedar upacara ritual tanpa penyerahan diri kepada Tuhan (bd. Zakaria 7:5), dan menjadi perilaku yang munafik (Matius 16:6) demi untuk membenarkan diri sendiri (Lukas 18:12). Puasa telah kehilangan maknanya. Itulah sebabnya dalam ayat 6-7 nabi Yesaya dengan keras menekankan arti puasa yang benar. Memang puasa dilakuakan dalam relasi antara manusia dengan Tuhannya, namun relasi dengan Tuhan itu seharusnya juga berdampak positif dalam relasi dengan sesama. Bila puasa demikian yang dilakukan, lebih dari yang diharapkan akan diberikan Allah kepada umatNya, juga diberikan kepada kita. Itulah janji yang terkandung dalam ayat 8-12: (a) Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu (kesehatan jasmani dan rohani). (b) Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! (hubungan yang mesra dengan Tuhan, diumpamakan hubungan bapa dan anak) (c) TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan. (d) Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan "yang memperbaiki tembok yang tembus", "yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni". Renungan: "Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah,apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan" (Yes 58:9-58). Yesaya mengingatkan kita semua untuk tidak dengan mudah menyalahkan atau mencari kesalahan dan kekurangan orang lain, melainkan 'memuaskan hati orang yang tertindas'. Menyalahkan atau mencari kesalahan dan kekurangan orang lain merupakan bentuk penindasan yang halus. "Duduk di kursi tinggi sambil menggoyangkan kaki memang enak dan nikmat, namun kasihan mereka yang kena sepakan goyangan kaki', demikian kata sebuah pepatah. Para petinggi atau atasan sering berusaha menunjukkan kewibawaannya dengan menunjukkan kesalahan dan kekurangan bawahan atau anggotanya. Semakin menunjuk kesalahan dan kekurangan orang lain, maka pada giliran berikutnya pada umumnya semakin hebat menunjuk kesalahan dan kekurangan orang lain. Orang yang bersikap mental demikian pasti akan mengalami kekeringan atau frustrasi, serba tidak puas. Kita semua mendambakan kepuasan hati dalam cara hidup dan cara bertindak kita, maka baiklah kami ajak memuaskan hati orang tertindas. Maka baiklah dengan rendah hati kita dekati dan sapa saudara-saudari kita yang tertindas untuk memperoleh apa yang mereka dambakan, dan kemudian dengan jiwa besar dan hati rela berkorban kita tanggapi dambaan hati mereka. Semoga pepatah "jatuh tertimpa tangga" tidak menjadi kenyataan dalam diri saudara-saudari kita yang tertindas: hidup miskin, berkekurangan serta tertindas selalu dilecehkan dan diolok-olok atau bahkan digusur dari tempat mereka berteduh dengan kekerasan. "Sendengkanlah telinga-Mu, ya TUHAN, jawablah aku, sebab sengsara dan miskin aku. Peliharalah nyawaku, sebab aku orang yang Kaukasihi, selamatkanlah hamba-Mu yang percaya kepada-Mu. Engkau adalah Allahku, kasihanilah aku, ya Tuhan, sebab kepada-Mulah aku berseru sepanjang hari. Buatlah jiwa hamba-Mu bersukacita, sebab kepada-Mulah, ya Tuhan, kuangkat jiwaku." (Mzm 86:1-4). Amen

Senin, 29 Juli 2013

Khotbah Minggu 18 Agustus 2013 "Yohanes 8:30-36" Thema : ”Kemerdekaan yang sesungguhnya”

Pengantar. “Jikalau kamu tetap dalam Firman Ku, kamu benar – benar adalah murid Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekaan kamu” Apa itu kebenaran? Dimerdekakan oleh siapa? Kebenaran itu adalah dasar Firman (Maz 119:160). 1. Kebenaran itu adalah Injil (Kol 1:5) 2. Kebenaran itu adalah Yesus (yoh 14:6) Jadi kebenaran itu adalah Firman dan Yesus itu sendiri (Yoh 1:1). Sejak adam dan hawa jatuh kedalam dosa, semua manusia telah berdosa (Rm 5:12), namun demikian Tuhan masih mengasihi manusia itu, dengan memberikan anak-Nya untuk menyelamatkan kita (1 yoh 4: 9-14). Jadi yang memerdekakan manusia itu adalah Yesus Kristus itulah Kemerdekaan yang sesungguhnya. “Tetapi orang yang memancarkan kemuliaan Allah, senantiasa makin mengaku dirinya berdosa dan tidak layak”, disamping mereka (orang jahudi) diperhamba manusia mereka juga di perhamba dosa. Pada umumnya manusia tidak mau mengaku dirinya diperhamba, mereka berfikir bahwa berdosa atau tidak berdosa menurut kemauan mereka sendiri, seolah – olah mereka berkuasa atas dosa ini. Sangat jarang manusia menyadari perbuatan berdosanya karena setiap melakukan dosa, berarti meyerah kepada dosa, artinya semakin menambah ikatan dosa atas dirinya, dan akhirnya semakin taat / tunduk kepada dosa itu, dan akan menikmatinya nanti. Firman mengatakan setiap orang yang melakukan dosa adalah hamba dosa (yoh 8:34; 1 yoh 3:8,10) dan setiap hamba tidak tinggal dalam rumah, hanya anaklah yang tinggal dalam rumah (yoh 8:35). Kelepasan dari dosa harus datang dari orang lain, harus ada yang melepaskannya, bukan lepas sendiri. Niat baik, doa – doa, penyesalan, tangisan, tidak dapat melepaskan dari dosa, hamba, budak itu harus ada yang melepaskan. Untuk itulah Yesus anak ALLAh itu datang kedunia untuk melepaskan kita dari belenggu dosa, dia juruslamat kita dan hanya Yesus yang bisa melepaskan kita, dan selain dia tidak ada yang bisa mengampuni dosa kita. Setelah dibebaskan dari dosa, kita merdeka artinya bukan merdeka melakukan dosa, bisa sesuka hati, tapi justru jangan berbuat dosa lagi. kemaren pada tanggal 17 Agustus 2013, kita telah memperingati kemerdekaan Negara kita Republik Indonesia yang ke 68. Kita bersyukur buat kemerdekaan yang telah dianugrahkan Tuhan bagi kita. Tapi oleh karena situasi politik yang tidak sepenuhnya menghadirkan damai sejahtera kepada masyarakat dan beragam persoalan yang ada di tengah-tengah bangsa ini, kadang terdengar keluhan yang mempertanyakan “Sudahkah kita merdeka??!!!” Kemiskinan, kemelaratan, ketidak adilan di mana-mana. Model kejahatan kian menakutkan, sulit mendapatkan pekerjaan, biaya pendidikan dan harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi dll. Benarkah yang di maksud kemerdekaan berarti tidak ada lagi penderitaan, tidak ada lagi kejahatan, sekolah gratis, harga murah, kesehatan masyarakat dijamini sepenuhnya oleh pemerintah dll. Mungkinkah semuanya itu akan terjadi di Indonesia? Diatas semua persoalan itu orang percaya harus tegas dan tanpa ragu tetap mengatakan “Kita sudah merdeka. Tumbuh kembangkanlah jiwa merdeka, baik dalam cara pandang dan sikap hidup. Kalau kadang ada perasaan kita ini belum merdeka sebab masih di perlakukan tidak adil, masih di gilas kemelaratan dll, semua itu terjadi hanyalah karena di sekeliling kita masih banyak orang yang jahat dan orang yang tidak bertanggung jawab berkeliaran. Jadi waspadalah dan jaga diri jangan menjadi penjajah di dalam Negara yang merdeka ini. Sebagai warga Kerajaan Allah orang percaya adalah umat yang merdeka sepenuhnya, yang di merdekakan dari perhambaan dosa dan tradisi, tetapi orang percaya masih di dalam dunia (lingkungan penuh dosa). Kehidupan Kristen yang merdeka harus bebas dari kuasa dan perbuatan dosa; ibarat ikan di lautan, mereka hidup di air asin tetapi dagingnya tidak menjadi asin. Hendaknya demikian juga yang terjadi kepada orang percaya; orang percaya hidup di dunia dengan lingkungan yang penuh dosa, tetapi hidup orang percaya jangan di warnai atau di kuasai dosa. Pokok Permasalahan. Teks bahasan Firman Tuhan hari ini tentang bagaimana Yesus menerangkan dan meyakinkan orang Yahudi bahwa kemerdekaan orang percaya dinyatakan di dalam diri Yesus. Teks firman Tuhan ini di latar belakangi ketika orang-orang Farisi membawa kepada Yesus seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah dan mereka hendak menguji sikap Yesus, mencari kesalahan Yesus, apakah Yesus akan taat kepada pengajaran hukum Taurat yang disampaikan Musa, yang memerintahkan melempari perempuan-perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Tentang hal itu Yesus berkata “Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Mendengar jawaban Yesus seorang demi seorang orang Farsi itu pergi meninggalkan Yesus dan wanita itu (8:1-11). Pada mulanya orang-orang Farisi menganggap dirinya benar dan lebih layak, tetapi ketika Yesus mengajarkan kebenaran baru, mereka tidak dapat mengelak bahwa mereka juga orang berdosa, yang membangga-banggakan kebenaran palsu, hidup dalam kebohongan dan keinginan kuat untuk membunuh Yesus. Di dalam ayat 44, lebih keras Yesus mengatakan kepada orang Yahudi “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.” Iblis adalah bapa dari segala dusta (seperti pencobaan kepada Hawa di taman Eden (Kejadian 2:1-6)), dan membunuh (seperti ia mendorong Kain membunuh adiknya Abil (1 Yohanes 3:12)). Pengajaran Yesus membuat orang orang Farisi menyadari pemahamannya yang salah, tetapi bukan berarti mereka menerima Yesus. Situasinya semakin memanas, Yesus menegor mereka, bahwa keselamatan terjadi bukan seperti keyakinan mereka menganggap bahwa hanya merekalah umat pilihan Allah yang layak untuk Kerajaan Sorga, sebab mereka adalah orang-orang yang di sunatkan sebagai keturunan Abraham yang tidak pernah menjadi hamba siapapun. Orang-orang Yahudi merasa sudah merdeka (bebas) dan tidak butuh Yesus. Karena itu Yesus menentang pemahaman Yahudi, bahwa keselamatan bukan pada tanda sunat (tradisi), sunat tidak punya kekuatan mendatangkan keselamatan (kebebasan) demikian juga keberadaan sebagai keturunan Abraham. Tentang pengakuan orang Yahudi sebagai keturunan Abraham, Yesus menegor mereka: “Kalau kamu keturunan Abraham maka kamu akan mengerjakan pekerjaan yang di kerjakan Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku seorang yang mengerjakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak di kerjakan Abraham. Yang kamu kerjakan pekerjaan bapamu sendiri (nenek moyangmu yang bebal atau yang dimksud Yesus Iblis bapa segala dusta dan pembunuh).” (8:39b-41a). Yesus menegor mereka mengajarkan penolakan kepada Firman yang disampaikan Yesus adalah penolakan terhadap kebenaran Allah, berarti juga menolak kemerdekaan. Firman itu adalah Allah (Yohanes 1:1), Firman menjadi daging di dalam Yesus dan Ia-lah yang memerdekakan. Karena itu orang yang menolak Firman sama dengan menolak Allah, menolak Yesus, menolak kemerdekaan, menolak keselamatan. Renungan: Sering kita mendengar atau bahkan kita juga mengatakan bahwa ketika kita menjadi Kristen; dengan di babtis atau di sidikan maka kita telah di merdekakan. Tapi benarkah kita telah merdeka? Jika orang masih menyimpan dan memelihara amarah, maka mereka adalah orang yang terjajah oleh amarahnya. Jika orang masih memelihara dendam maka mereka adalah orang yang terjajah oleh dendamnya. Jika orang masih memelihara kebiasaan dosa maka mereka terjajah oleh kebiasaan dosa tersebut. Jika orang masih cinta uang maka hati mereka terikat oleh keinginan mengumpulkan leibih banyak lagi. Jika orang yang masih suka menyalahkan masa lalunya (“nasibnya”) maka mereka terjajah ketidak mauannya menerima kenyataan dan lebih baik dll. Mari kita renungkan lebih dalam lagi, supaya kita tidak sama seperti orang-orang Yahudi yang di hadapi Yesus, yang merasa dirinya benar sehingga menutup diri terhadap kebenaran yang sesungguhnya. Mengakui kebenaran pengajaran dan hikmat Yesus tetapi menolak Yesus sehingga tidak mengubah sikap hidupnya. Kemerdekaan hanya akan terjadi jika manusia mau menerima Yesus (Firman Tuhan), yaitu menerima hidup Yesus dan “menghidupkannya” di dalam hidup dan perbuatannya. Apa yang di ajarkan dan dilakukan Yesus; yaitu mengasihi sesama dan senantiasa membagi syalom melayani setiap orang dengan penuh kasih. Hendaknya kehidupan warga Kerajaan Allah yang merdeka nyata dalam ketaatan, bukan kepatuhan kepada tradisi. Umpamanya Paulus mengajarkan, yang di butuhkan dalam keselamatan bukan sunat jasmani tetapi besunat hati, dan pendengaran (bdg Kis 7:51). Mengalami kemerdekaan di dalam Kristus berarti tidak bebal atau keras hati. Mau menjaga supaya keinginan dan penilaian hati tetap bersih. Mau menjaga telinga mendengar dan menerima segala pengajaran dari Fiman Tuhan. Orang percaya janganlah berprilaku seperti orang Yahudi dalam latarbelakang teks khotbah hari ini, ketika orang-orang Farisi membawa perempuan yang kedapatan berbuat zinah kepada Yesus dengan maksud menjebak Yesus, namun Yesus menyampaikan hikmat dari Firman Tuhan dan orang-orang Farisi pergi satu persatu meninggalkan Yesus dan wanita tersebut, adalah bukti mereka mengakui kebenaran Yesus dan pengakuan dirinya belum benar, masih dikuasai dosa namun mereka tidak mau dibebaskan dari perbudakan dosa. Pada akhirnya orang-orang Yahudi menyalibkan Yesus walau tanpa bukti kesalahan. Penutup: Kemerdekaan Kristen itu bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan. Kemerdekaan Kristen itu kira-kira seperti gerbong kereta api yang berjalan di relnya dan jika kereta api keluar dari relnya akan tergelincir. Atau seperti ikan yang tetap berada di dalam air, sebab jika ikan keluar dari dalam air akan kekurangan oksigen, kekeringan, lemas tidak berdaya dan mati. Kemerdekaan Kristen adalah kebebasan berekspresi melakukan kasih dengan landasan kasih Kristus. Orang percaya hendaknya selalu mengingat dan menghargai proklamasi kemerdekaannya yang sudah di kumandangkan Yesus dalam peristiwa salib dan kebangkitannya. Karena itu hendaklah senantiasa berdiri teguh sebagai pemenang dan menolak segala kuk perhambaan. Ia bukan hamba siap-siapa tetapi ia menjadikan dirinya menjadi hamba kepada semua orang supaya dapat melayaninya dan memenangkannya untuk Tuhan. Pembebasan di dalam Kristus telah mengangkat orang percaya menjadi anak-anak Tuhan, yang berhak tinggal di rumah Bapa dan sebagai ahli waris Kerajaan Allah. Amen Dari berbagai sumber

Khotbah Minggu 11 Agustus 2013 "Amos 8: 4-7"

Pengantar: Standard etis-moral iman Kristen mengacu kepada Sepuluh Firman Allah. Standard etis-moral tersebut sangat tepat. Karena melalui Sepuluh Firman tersebut kita dapat bercermin bagaimanakah kita harus mengasihi Allah dan sesama. Itulah hukum kasih yang utama. Namun ternyata melaksanakan Sepuluh Firman Allah tidak menjamin kita untuk melaksanakan kasih secara utuh. Sebab Sepuluh Firman merupakan hukum-hukum Allah yang hanya melarang kita untuk melakukan dosa-dosa yang kelihatan. Namun dosa-dosa yang tidak kelihatan namun potensial untuk kita lakukan tidak terakomodasikan kecuali hukum ke sepuluh, yaitu: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu" (Kel. 20:17). Jenis dosa-dosa yang tidak kelihatan namun potensial untuk kita lakukan merupakan 7 dosa maut (“Seven deadly sin”), yaitu: kesombongan, iri-hati, amarah, serakah, nafsu-birahi, rakus, dan malas. Karena itu bisa terjadi umat tidak pernah melanggar Sepuluh Firman Allah secara formal dan ritual, tetapi mereka justru secara intensif melakukan 7 dosa maut tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Keterangan/Khotbah: Allah Pemilik Kehidupan Kitab Amos bukan sekedar suatu berita tentang gerakan sosial yang membela keadilan bagi orang-orang yang tertindas. Walaupun berita kitab Amos menyampaikan perlawanan kepada ketidakadilan dan penindasan kepada sesama yang lemah. Namun kitab Amos tetap menempatkan Allah sebagai pemilik kehidupan dan pencipta seluruh umat manusia. Karena itu kitab Amos menyebut nama Allah sebagai Allah semesta alam (Am. 5:27). Prinsip keadilan dan kebenaran yang seharusnya terjadi dalam kehidupan ini ditempatkan dalam kerangka Allah semesta alam, sehingga seluruh umat manusia tanpa terkecuali adalah milik Allah. Apabila Allah adalah pemilik kehidupan, maka Allah menentang setiap umat yang menindas sesamanya. Di Am. 8:4 diawali dengan perkataan “Dengarlah ini”. Pernyataan ini mengingatkan kita ketika Allah berfirman di Ul. 6:4-5, yaitu: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Dengan ungkapan “dengarlah” (syema) di Ul. 6:4-5 menegaskan 2 prinsip utama, yaitu: prinsip pertama tentang pengakuan iman (kredo) bahwa Tuhan itu esa. Allah itu satu-satunya, dan tidak ada yang lain. Dan juga prinsip kedua adalah implementasi dari pengakuan iman, yaitu panggilan dan kewajiban etis-moral setiap umat untuk mengasihi Allah dengan segenap kedirian mereka. Sedang di Am. 8:4, kata “dengarlah” ditempatkan sebagai suatu teguran Allah kepada umat yang mengaku percaya dan beriman kepada Allah yang esa, namun mereka menginjak-injak orang miskin dan membinasakan orang sengsara. Jelas sikap ambigu atau mendua bukanlah sikap yang berkenan kepada Allah. Kita tidak mungin mempermuliakan Allah dengan menyengsarakan orang lain baik secara batin maupun secara fisik. Sikap umat Israel khususnya para pedagang dan orang-orang kaya yang berbisnis pada zaman Amos sedemikian loba untuk memperoleh keuntungan, sehingga mereka kurang mendukung umat Tuhan secara keseluruhan melaksanakan ibadah di bulan baru dan hari Sabat. Mereka berharap ibadah di bulan baru dan Sabat dapat cepat berlalu agar mereka dapat segera menjual gandum dan terigu. Mereka merasa waktu yang tersedia selama 6 hari tidaklah cukup untuk memperoleh keuntungan. Karena itumereka berharap dapat memperoleh keuntungan juga pada hari ketujuh, yakni hari Sabat. Selain itu mereka berharap dapat menggunakan bulan baru yang mengawali setiap bulan sebagai kesempatan untuk memperoleh “keuntungan tambahan”. Karena setiap bulan baru umat Israel ke Bait Allah untuk mempersembahkan kurban ucapan syukur atau perayaan ibadah. Selama ibadah hari Sabat atau perayaan bulan baru mereka manfaatkan untuk mengkorup hari-hari yang dikuduskan bagi Tuhan. Dengan demikian para pedagang atau orang-orang yang kaya yang berbisnis itu telah bersikap serakah, loba atau tamak terhadap kekayaan. Walaupun mereka telah memperoleh kekayaan yang berlimpah, mereka masih menganggap belum mampu memenuhi keinginan yang diharapkan. Mereka kemudian memperlakukan orang-orang miskin dengan cara menindas, menginjak-injak dan membinasakan mereka. Hawa-nafsu serakah telah menutup hati-nurani, sehingga mereka berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesamanya. Tepatnya sikap serakah akan membuat seseorang melihat sesama yang lebih lemah sebagai pihak yang dapat dijadikan korban sebagai pemuas hawa-nafsunya. Penutup: Menegaskan kepada kita, bahwa Tuhan semesta alam adalah satu-satunya pemilik kehidupan ini, maka Tuhan menentang setiap ketidakadilan. Perilaku umat Israel yang tidak adil terhadap sesamanya yang dinyatakan dalam bentuk keserakahan, kelicikan, kecurangan, pemerasan dan kekejaman mengeksploitasi sesama yang miskin dan lemah itu mendatangkan murka Tuhan. Tuhan menentang dan murka kepada setiap umat yang berperilaku tidak adil dan tidak jujur terhadap sesamanya. "Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini dan berpikir: "Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?" TUHAN telah bersumpah demi kebanggaan Yakub: "Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!" (Amos 8: 4-7). Para pedagang demikian materialistis sehingga mereka menginginkan hari Sabat cepat berlalu supaya mereka dapat melanjutkan perdagangan mereka. Kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah saya demikian terlibat dalam mencari uang sehingga hampir tidak memperhatikan firman Allah dan kemajuan kerajaan-Nya? Menurut Tuhan Yesus sendiri, kita tidak dapat melayani Allah dan Mamon sekaligus. Amen. RHL

Minggu, 21 Juli 2013

"Bekerja untuk Tuhan Membangun Persekutuan" 1 Korintus 15 : 57-58

Salah satu hakikat dan eksistensi gereja adalah panggilan untuk membangun persekutuan (koinonia). Namun implementasi koinonia sering dipahami secara keliru, diartikan sempit, karena dibatasi ruang dan waktu. Artinya, persekutuan dengan Tuhan hanya ada jika ada kegiatan bersama memuji Tuhan, doa dan baca firman. Sebaliknya jika tidak, meski sedang berkumpul bersama, tidaklah menunjukkan adanya persekutuan dengan Tuhan. Benarkah demikian? Paulus menunjukkan suatu dimensi baru dalam memandang persekutuan dengan Tuhan, yakni dimensi kekekalan. Paulus mendorong orang Kristen untuk memegang kebenaran akan kebangkitan dan hidup benar dalam hubungannya dengan aspek persekutuan kekal dengan Tuhan. Usaha Paulus ini tentu saja dibarengi dengan alasan-alasan logis. Pertama, orang mati dalam Tuhan akan dibangkitkan pada waktu bunyi nafiri terakhir dalam keadaan tidak binasa dan telah diubahkan ( 1Kor 15:51-53). Nabi-nabi Perjanjian Lama seringkali memiliki bayangan tentang terompet, yang digunakan untuk mengumpulkan umat untuk perang; di sini merujuk kepada kumpulan umat Allah pada zaman akhir (Yes 27:13). Paulus mengambil bayangan dari khotbah Yesus tentang akhir zaman (Mat 24:31). Kedua, peristiwa itu merupakan penggenapan firman Tuhan: (Hos 13:14;Yes 25:8) bahwa maut telah dilenyapkan oleh kebangkitan Yesus Kristus (1Kor 15:54-56). Ulasan Paulus mengenai persekutuan kekal, memberikan kepada kita, orang-orang Kristen pada masa kini hendaknya megimplementasikan dua hal pelajaran penting: Pertama, bahwa umat yang gigih mempertahankan persekutuan dengan Tuhan tidak akan sia-sia; kedua, bahwa selain dipertahankan dengan kegigihan, persekutuan dengan Tuhan harus dipelihara agar tidak goyah dan tetap berdiri teguh (1Kor 15:57-58). Jika kita mengkaji pernyataan Paulus dalam teks ini, ada 4 (empat) hal sikap untuk membangun persekutuan yang hidup dalam Tuhan yakni: 1.Memiliki komitment dalam persekutuan: berdirilah TEGUH ..."Kata asli bahasa Yunani yang digunakan untuk "teguh" adalah ἑδραῖοι (hedraios, hed-rah'-yos). pendirian yang kokoh, komitmen pribadi yang tidak goyah, tidak mudah berubah-rubah, tidak mudah putus asa. Arti harafiah dari kata hedraios adalah, tetap berada dalam satu posisi terus menerus, tetap berada dalam satu posisi yang tenang, tetap berada dalam satu posisi yang setia, tetap berada dalam satu posisi yang tabah 2.Selalu Konsisten dalam persekutuan: JANGAN GOYAH ... "Kata asli bahasa Yunani yang digunakan untuk "jangan goyah" adalah ἀμετακίνητοι (ametakinetos, am-et-ak-in'-ay-tos). Arti harafiah dari kata ametakinetos adalah, tidak dapat digerakkan, teguh, tidak bergeser 3.Memiliki Spirit dan semangat yang kuat dalam persekutuan: GIATLAH selalu ..." Kata asli bahasa Yunani yang digunakan untuk "giatlah" adalah περισσεύοντες (perisseuo, per-is-syoo'-o). Arti harafiah dari kata perisseuo adalah, sangat berlimpah dalam kualitas dan kuantitas (mungkin artinya mengarah pada ajakan untuk tetap bersemangat) 4.Memiliki etos kerja dalam pelayanan Tuhan: JERIH PAYAH ..." Kata asli bahasa Yunani yang digunakan untuk "jerih payah" adalah κόπος ( kopos, kop'-os). Arti harafiah dari kata kopos adalah,bekerja keras membanting tulang, bekerja sampai kelelahan dan keletihan, bekerja sampai susah payah Dari empat hal sikap tersebut pada hakikatnya akan membuahkan hasil yang signifikan dan berkualitas dalam membangun dimensi koinonia dalam hidup bermasyarakat dan berjemaat yakni membawa hidup dalam Pembaharuan, Perdamaian dan Pemberdayaan (3P). Tuhan menjanjikan bahwa orang-orang yang hidup dalam panggilan pelayanan Tuhan tidak akan “sia-sia”. Panggilan hidup dalam persekutuan pada dasarnya memiliki dimensi eskatologis, yakni berkat Tuhan yang tidak berkesudahan (abadi). Buah dari persekutuan itu tentunya akan membawa transformasi social, moral dan spititual dalam kehidupan manusia yang lebih baik di dunia ini baik dalam aspek ekonomi, social politik, hukum, dan sebagainya. Jika persekutuan umat telah terbangun dalam relasi social yang harmoni maka akan terbangun pulalah kehidupan umat yang hidup dalam damai sejahtera. Kesimpulan: , "Kristus telah memberi dasar yang sangat mahal yang telah dibangun oleh Yesus Kristus melalui Kematian dan Kebangkitan-Nya, sekarang apa yang kita bangun di atasnya ?" Jangan membangun hidup kita hanya dengan nonton tv, ke mall, baca surat kabar, kerja rutinitas, sia-siakan waktu ("Kenos", B. Yunani : kosong, hampa, bodoh tidak berakal budi), baca Alkitab jarang, tidak membangun apa-apa untuk Tuhan. Bagaimana mau hidup berkenan di mata Tuhan? Untuk dipromosikan dan mengalami multiplikasi? Karena itu mari kita bangun hidup kita dengan Antusiasme yang tinggi, bagus, sesuatu yang berbeda, karena Tuhan sudah membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Masihkah ada Roh yang menyala-nyala? Apakah ke Gereja hanya kewajiban/rutinitas? Atau ke Gereja karena ingin melakukan sesuatu kepada Tuhan? Ada 4 (empat) Tanda orang yang bernyala-nyala dan tidak membangun hidupnya dengan sia-sia, yaitu: 1.Mulut dan Hatinya setiap hari diisi dengan Ucapan Syukur, karena ia mengingat apa yang Yesus Kristus telah lakukan di Kayu Salib, Tuhan telah memberikan tubuh, darah, tangan, kaki, kehormatan-Nya semua untuk kita. Sudah berapa lama kita tidak mengucap syukur? 2.Berdiri teguh, tidak goyah Teguh, dalam B. Yunani "Hedrayos" : pendirian yang kokoh, komitmen pribadi yang tidak goyah, tidak mudah berubah-rubah, tidak mudah putus asa. Komitmen yang teguh yang bisa membuat bertahan. Orang Kristen kalau punya Komitmen yang teguh, akan tetap bernyala-nyala dalam Tuhan. Komitmen Pribadi, Komitmen untuk membaca Alkitab dan Berdoa setiap hari. Yang membuat orang Kristen berhasil adalah Komitmennya untuk membaca Alkitab dan Berdoa, bangun tiap pagi dan berlutut di hadapan Tuhan. Daud itu Raja, tidak ada yang berani menyuruhnya, maka ia menyuruh kepada dirinya sendiri : "Pujilah TUHAN, Hai Jiwaku." Orang diukur Rohnya menyala-nyala atau tidak dari berapa banyak jam Doanya. 3.Giatlah dalam Pekerjaan Tuhan Giat, B. Yunani "Perisos" : Melakukan sesuatu lebih dari biasanya, berlimpah-limpah, melakukan segala sesuatu dengan istimewa, memberi lebih dari yang diminta, lebih dari standard, lebih dari tuntutan. Standard - Basic (sesuai tata aturan) - Good - Best - Excellent (Perisos) 4.Jerih payah nya tidak sia-sia Orang Kristen yang Rohnya menyala-nyala ditandai dengan jerih payahnya tidak sia-sia. "Kopos", B. Yunani : penderitaan, kesusahan pelayanannya tidak sia-sia Turut menderita bersama Tuhan dalam sebuah pelayanan, siap menderita bagi Tuhan. Melayani Tuhan berarti siap menderita bagi Tuhan (Kopos), bukan untuk harta, kedudukan, kehormatan. Matius 25 banyak orang yang dienyahkan karena tidak melakukan kehendak Tuhan, apa Kehendak Tuhan? "Kita dipanggil bukan hanya untuk percaya dan diselamatkan, tapi untuk menderita bersama-sama dengan Tuhan (Kopos, penderitaan pelayanan)" Jadilah Orang Kristen yang Menyala-Nyala, dalam bekerja untuk-Nya. Amen. RHL. Tobing.

Sabtu, 13 Juli 2013

"HIKMAT YANG BENAR" 1 Raja2 3: 4-15

Apa itu Hikmat, sehingga Alkitab berkata ia begitu penting? Ada Tiga pengertian hikmat dalam Alkitab, yaitu pengertian secara Teknis, pengertian secara Intelektual dan pengertian secara Rohani. Secara Teknis, hikmat adalah keahlian yang dikaruniakan Allah untuk mengerjakan sesuatu dengan sempurna (Kel 31:3) Talenta, keunggulan, dan keahlian sdr terhadap sesuatu, adalah Hikmat yang dikaruniakan Allah kepada sdr, dan dengan mengembangkannya, sdr akan terkejut bahwa ternyata sdr bisa berhasil. Coba tanyakan Michael Jackson, mengapa ia benar-benar berhasil menjadi “The King Of Pop?” Ia menjawab pertanyaan ini dalam ruang wawancara, bahwa ia berhasil karena ia menyadari, menghargai, mengembangkan, dan mengunakan talenta dan keahliannya. Coba tukarkan peran Michael Jackson dengan Pdt. Jhon Simarangkir, M.Th. Mintalah Jackson untuk berkhotbah, dan biarkan Jhon bernyanyi serta menari di panggung. Bisakah keduanya benar-benar berhasil??? belum tentu! Mengapa? Jawabanya adalah: Karena itu bukan keahliannya. Hikmat adalah keahlian yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang. Dan semua orang memiliki jenis hikmat ini. Itulah sebabnya entah orang berdosa atau orang kudus bisa berhasil jika ia menggunakan talenta dan keahliannya. Tuhan telah memberikan talenta dan keahlian kepada tiap-tiap orang, sesuai kemampuan kita masing-masing. Persoalannya adalah apakah kita menyadarinya, mengharagainya, mengembangkannya dan menggunakannya? Tanyakan diri Anda sendiri! Secara Intelektual, hikmat adalah kemampuan menyusun rencana yang benar dan cara yang tepat untuk memperoleh hasil yang dikehendaki (Kej 41:39). Jenis kemampuan ini disebut kebijaksanaan. Suatu hari, Ayah meminta saya untuk memasukan tempat tidur yang besar ke kamar tamu. Lalu saya mengajak teman untuk membantu memindahkan benda tersebut. Kami mengangkat tempat tidur itu dengan santai karena ringan. Namun saat kami ingin memasukannya ke dalam kamar, ternyata kami kesulitan. Pintu kamar terlalu sempit sehingga benda itu tidak bisa masuk. Kami tegang memegang tempat tidur itu, hingga kami lelah dan kami melepaskannya di bawah. Melihat tempat tidur itu belum dipindahkan, Ayah berkata: “Mengapa belum juga dipindahkan?” saya menjelaskan bahwa: “Pintu kamar itu terlalu kecil, sehingga tempat tidur besar ini tidak bisa masuk” Lalu Ayah saya berkata: “Oke, sekarang coba lagi”. Sekali lagi kami menggotong benda itu dan kami mendekatkannya ke pintu kamar. Setelah itu Ayah berkata, caranya miringkan tempat tidur itu dan masukan terlebih dahulu kaki tempat tidur itu, kami mengikuti petunjuknya, dan tempat tidur itu berhasil dimasukan ke dalam kamar melalui pintu yang sempit. Mengapa benda yang besar itu bisa masuk melalui pintu yang sempit? Jawabannya adalah: Karena kami menggunakan cara. Hikmat adalah kemampuan menyusun cara untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Persoalan seringkali kita menunda untuk melakukan sesuatu yang membaikkan hidup kita ialah, karena kita kekurangan hikmat. Kita tidak tahu bagaimana caranya. Namun dengan kebijaksanaan, kita bisa berhasil. Secara Rohani: Hikmat adalah pengetahuan yang dikaruniakan Allah (1 Kor 12: 8) untuk mengenal Allah dan menyelami karya Allah di dalam diri kita (1 Kor 1:20,21, Ef 1:17); untuk memecahkan persoalan yang rumit, yang supranatural dan yang tidak dapat terselami oleh akal manusia (Kej 40-41; 1 Raja 3; Dan 2,) Suatu hal yang seringkali membuat kita kalah, gagal, rugi, kecewa, ialah bahwa kita tidak tahu apa yang Allah mau kita lakukan di antara setumpuk hal yang kita anggap baik. Hikmat adalah pengetahuan tentang apa yang Allah mau untuk kita lakukan. Hal ini termasuk suatu karunia, yang boleh dimiliki oleh semua orang, tetapi tidak semua orang telah memilikinya. Manusia memerlukan hikmat untuk dapat mengenal Penciptanya dengan benar (Ef 1:17), untuk dapat mengerjakan sesuatu seperti yang Tuhan mau (Kel 31: 3) dan untuk mengambil keputusan-keputusan yang tepat dalam situasi yang sulit (I Raj” 3:9, 24). Firman Tuhan memberitahu kita bahwa hikmat bukan hanya bagian yangbaik bagi kehidupan, melainkan Hikmat adalah bagian yang terpenting dalam kehidupan. “Memperoleh hikmat, sungguh jauh melebihi memperoleh emas dan memperoleh pengertian, jauh lebih berharga dari pada mendapatkan perak.”(Ams 16:16) “Untuk gantinya tidak dapat diberikan emas murni dan harganya tidak dapat ditimbang dengan perak. Ia tidak dapat dinilai dengan emas Ofir, ataupun dengan permata krisopras yang mahal atau dengan permata lazurit, tidak dapat diimbangi oleh emas atau kaca, ataupun ditukar dengan permata dari emas tua. Baik gewang, baik hablur, tidak terhitung lagi. Memiliki hikmat adalah lebih baik dari pada mutiara.” (Ayub 28:15-18) Dengan hikmat seorang budak bisa menjadi orang berhasil,(Yusuf) dengan hikmat seorang pemuda bisa menjadi pemimpin,(Daniel) dengan hikmat seorang kanak-kanak bisa mengajar para ahli (Yesus), dan dengan hikmat satu orang bisa mengatur jutaan orang (Salomo), sebab itu “Yang terpenting untuk berhasil ialah Hikmat” Pertanyaan yang penting sekarang adalah: Bagaimana Sayamemperoleh Hikmat? Ada 4 cara agar kita memperoleh Hikmat Allah: Pertama, Yak 1:5 “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah…” Jadi cara pertama untuk memperoleh hikmat ialah, dengan meminta kepada Allah. “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian”(Ams 2:6). Rasul Paulus berdoa kepada Allah dan meminta, agar Allah memberikan hikmat kepada jemaat di Efesus (Ef 1:16-17), Salomo berdoa dan meminta Hikmat dari Allah, dan Allah memberikan hikmat kepada Salomo (I Raj” 3:9). Kita perlu memintanya dari Allah, karena Dialah sumber segala hikmat. (Khusus untuk Jhon) Kita boleh, untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, tetapi untuk memperoleh hikmat, kita perlu merendahkan hati, dan memintanya dari Allah. Berdoalah dan minta hikmat dari Tuhan. Karena dengan hikmat kita tahu cara,untuk menggunakan ilmu pengetahuan kita. Kedua, Ayub 28:28 “Tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya takut akan Tuhan ialah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi” Cara kedua untuk memperoleh hikmat ialah takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan ialah menghormati Tuhan, dan menjauhi kejahatan. Orang saleh dalam Alkitab, seperti Henokh, Nuh, Ayub, mereka dapat menjauhi kejahatan, bukan karena mereka hebat, melainkan karena mereka punya hubungan yang dekat dengan Allah. Itulah sebabnya mereka punya rasa hormat yang besar kepada Allah, sehingga walaupun semua orang berbuat jahat, mereka tetap berkata “Tidak” terhadap kejahatan. Inilah yang disebut takut akan Tuhan. Maz 25:12 berkata: “Siapa orang yang takut akan Tuhan, kepadanya Tuhan menunjukkan jalan yang harus dipilihnya” dan Maz 25:14 berkata: “Tuhan bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka” Ketiga, Dan 6: 11 “Demi didengarnya Daniel, bahwa surat perintah itu telah di buat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya, ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa dan memuji Allahnya, Seperti yang biasa dilakukannya” Cara ketiga untuk memperoleh hikmat ialah, dengan terbiasa sujud menyembah Allah dalam doa dan penyembahan. Daniel biasa berlutut, berdoa, dan memuji menyembah Allah tiga kali sehari, dan Allah memberikan hikmat kepada Daniel, sehingga ia sepuluh kali lebih cerdas dari semua orang berilmu (Dan 1:20). Semakin sering kita sujud menyembah di hadapan Tuhan, dalam doa dan pujian penyembahan, wawasan kita tentang Allah akan semakin diperluas. Allah akan membuka rahasia-rahasia-Nya kepada kita, sehingga kita akan menjadi orang yang cerdas dan berhikmat. Orang-orang yang bersekutu dengan Allah dalam doa dan penyembahan, biasanya tahu apa yang tidak dapat diajarkan oleh ilmu pengetahuan. Mereka bisa tahu kita sedang bermasalah, mereka bisa tahu kita sedang susah, bahkan mereka bisa tahu kalau kita sedang berdosa. Mengapa? Karena Allah yang memberitahukannya kepada mereka. Selain Yesus, hamba-hamba-Nya Allah, seperti Musa, Yeremia, Yesaya, mereka bisa memberitahu apa yang akan terjadi di masa depan, karena mereka suka bersekutu dengan Allah. Melalui Doa dan Pujian penyembahan kepada Allah, suara kita semakin terdengar di Sorga, sehingga Allah menjadi karib dengan kita, dan pengetahuan-pengetahuan-Nya, diberikan-Nya kepada kita. Sisihkanlah menit-menit Anda untuk sujud menyembah Tuhan dalam doa dan pujian, maka engkau akan terkejut mendapati dirimu lebih cerdas dari orang lain. Keempat, “Aku lebih berakal budi dari semua pengajarku, sebab peringatan-peringatanmu kurenungkan. Aku lebih mengerti dari orang-orang tua sebab aku memegang titah-titah-Mu” (Maz 119: 99-100) Cara Keempat untuk memperoleh Hikmat ialah dengan membaca danmerenungkan Firman Allah. Daud berkata: “Aku lebih berakal budi dan aku lebih mengerti, sebab aku merenungkan peringatan-peringatan-Mu dan memegang titah-titah-Mu” Daud mempelajari Firman Allah, dan menjadikannya sebagai isi pikirannya, serta gaya hidupnya. Allah telah mengilhami orang-orang-Nya yang Ia pilih melalui Roh Kudus, untuk menuliskan kepada kita Apa yang Allah mau di dalam Alkitab. Alkitab adalah Firman Allah, yang memberitahu kita mengapa kita hidup,bagaimana kehidupan berjalan, apa yang harus dihindari dan apa yang akan terjadi pada masa depan. Dengan membaca dan merenungkan Firman Allah, kita akan tahu Peta perjalanan hidup kita, sehingga kita tidak tersesat. Daud memuji Firman Allah dengan berkata: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Maz 119:105) Ketika Yosua menerima tanggung jawab untuk memimpin bangsa Israel memasuki tanah Kanaan, perintah penting yang tidak boleh ia abaikan ialah: “Janganlah engkau lupa memperkatakan Taurat itu siang dan malam, tetapi renungkanlah itu siang dan malam” Allah mengerti bahwa dengan membaca dan merenungkan Firman-Nya, manusia akan tahu apa yang harus ia perbuat. Selanjutnya dari ayat ini berkata: “ Supaya engkau bertindak hati-hati.” Bertindak hati-hati, dalam bahasa asli yaitu Ibrani, juga mengandung arti supaya engkau bertindak dengan bijaksana. Jadi dengan mempelajari dan merenungkan Firman Tuhan, seseorang dapat bertindak dengan hikmat dan kebijaksanaan. Kalimat selanjutnya dari ayat ini berkata: “Dengan demikian, perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung” Hikmat akan menjadikan seseorang berhasil. Itulah sebabnya Pengkhotbah 10:10 berkata:“Yang terpenting untuk berhasil ialah Himat” Buatlah suatu komitmen untuk mempelajari dan merenungkan Firman Tuhan. Belajarlah untuk mengucapkannya atau menjelaskannya kepada orang lain karena itu akan menolong Anda supaya Anda tidak lupa. Semakin banyak Anda mempelajari Firman Tuhan, wawasan Anda akan bertambah tentang carakerja Allah, prinsip-prinsip Allah, dan agenda-agenda-Nya, sehingga Anda dapat bertindak sesuai apa yang tertulis dengan penuh kebijaksanaan.Amin

Minggu, 07 Juli 2013

Khotbah Minggu 14 Juli 2013 I Raja raja 3 : 4 - 14 Thema : Hati yang penuh Hikmat

Pengantar: Nats ini berbicara tentang penampakan diri Allah kepada Salomo yang terjadi di Gibeon. Di situ addalah tempat yang paling besar, berupa bukit pengorbanan yang sering dipergunakan untuk mempersembahkan kurban bagi Allah. Bahkan tempat itu sanggup menampung seribu korban bakaran yang dipersembahkan Salomo kepada allah. Allah menampakkan diri kepada Salomo melalui mimpi ketika dia sedang tertidur. Allah menampakkan diri kepada Salomo dan memberitahukan bahwa Allah akan mengabulkan permintaannya. Sebuah kesempatan yang sebenarnya bisa disalahgunakan oleh Salomo. Dia bisa saja meminta kekayaan kepada Allah, tetapi dia tidak memintanya, yang dia minta hanyalah hati yang bisa menimbang perkara untuk menghakimi umatNya dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. Apa yang diminta salomo adalah hal yang kelihatannya sangat sederhana tetapi memiliki kesan yang amat dalam. Didalam Amsal 1 : 7,dikatakan: Takut akan Tuhan adalah permulaan dari pengetahuan,tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. Didalam perjanjian lama kata hikmat adalah Khokhma yang artinya : Bijaksana, pintar yang datangnya dari pada Allah. Orang yang menerima hikmat yang datangnya dari pada Allah, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak dikehendaki oleh Allah. Dan orang yang menerima hikmat itu sanggup melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah, dan menolak apa yang tidak dikehendaki oleh Allah. Berbeda dengan kepintaran yang datang nya dari dunia, hal itu tidak mimikirkan atau tidak memandang apa itu kehendak Allah atau tidak, yang penting cita cita mereka tercapai. Hikmat/kepintaran yang datangnya dari pada Tuhan menuntun orang kejalan yang benar yang diukehendaki oleh Tuhan, menyatakan keadilan dan kebenaran. Raja Salomo dikatakan sebagai Raja yang penuh hikmat pada waktu mengambil keputusan terhadap dua orang prempuan yang sedang melahirkan dalam satu kamar. Dimana Ibu yang satu pada waktu tidur menimpa bayinya sehingga meninggal,setelah itu dia menggantikannya dengan bayi Ibu yang satu lagi dimana bayinya itu hidup. Ibu yang bayinya hidup tidak menyaksikan hal itu karena dia tidur nyenyak. Setelah bangun pagi mereka bertengkar karena Ibu yang bayinya hidup melihat bayinya sudah ditukar oleh ibu yang didekatnya yaitu bayi yang sudah meninggal. Raja salomo mengambil keputusan yang tepat, penuh dengan kebijaksanaan siapa sebenarnya ibu bayi yang hidup dan siapa ibu bayi yang telah meninggal. Keterangan: Setelah Salomo menggantikan ayahnya Daud menjadi Raja,Tuhan menampakkan diri kepada Salomo dalam bentuk mimpi pada malam hari, berfirman Tuhan kepada Salomo mintalah apa yang kamu akan perlukan supaya kuberikan kepadamu ( ayat 5). Salomo boleh memilih apa saja, karena Tuhan tidak membatasi pilihan itu,Salomo boleh saja meminta untuk mengalahkan musuh musuhnya, atau meminta kekayaan, meminta umur panjang, meminta supaya dia dihormati bangsanya, dll, bisa saja diminta oleh Salomo. Tapi Salomo yang penuh hikmat kebijaksanaan sudah dapat membedakan apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan apa yang tidak dikehendaki oleh Tuhan.Bagi orang orang yang tidak meminta hikmat kepada Tuhan, maka mereka pasti memilih apa yang dia perlukan seperti umur panjang, kekayaan, kehormatan ,dll. Salomo sudah tahu apa yang terbaik yang harus dilakukannya, sehingga ia memohon kepada Tuhan Hikmat kebijaksanaan supaya dia dapat memimpin bangsa Israel dengan baik sesuai dengan kehendak Tuhan, supaya Tuhan memberikan hati yang faham menimbang perkara perkara yang ada dengan dapat membedakan mana yang jahat dan mana yang baik. Pada zamansekarang ini sulit mencari orang yang ingin menjalankan kebenaran didalam hidupnya seperti Salomo terbukti didalam doa doa orang percaya yang selalu meminta kepada Tuhan umur panjang, kesehatan, rejeki, penyertaan Tuhan, tetapi tidak ada yang meminta “berikan aku hati supaya bisa membedakan mana yang dikehendaki oleh Tuhan dan yang tidak dikehendaki oleh Tuhan yang harus kujalankan didalam kehidupan ini. Jarang sekali orang meminta kepada Tuhan (dalam doa syafat ) meminta supaya aku jujur dan selalu adil sesuai dengan kehendak Tuhan. Salomo walaupun dia masih muda dan belum ber pengalaman, dia bukan meminta kebutuhan dunia tapi bagaimana dia bisa memimpin bangsa Israel dengan adil dan bijaksana . Ternyata permohonan salomo itu dikabulkan oleh Tuhan, Karena Tuhan sangat menyenangi permohonan Salomo,Tuhan mengatakan : Oleh karena Salomo telah memohon hikmat kepada Tuhan, bukan umur panjang atau kekayaan, melainkan pengertian untuk membuat suatu keputusan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, maka kuberikan kepadamu yang engkau minta yaitu hati yang penuh hikmat, dan juga apa yang tidak engkau minta yaitu : yaitu kekayaan, kemuliaan, umur panjang Kusediakan bagimu.Jadi yang paling penting adalah bagaimana supaya kita menerima hikmat dan kebijaksanaan dari Tuhan. Karena hikmat dunia ini sia sia, tidak bersedia membawa keselamatan kepada manusia. Filsafat mencari kebenaran tapi tidak akan pernah dapat. Kata “dewasa” banyak orang sudah lanjut usia tapi tidak menjamin dewasa didalam iman, yang menentukan dewasa dalam iman adalah orang orang yang bertumbuh dalam ajaran Kristus. Artinya kita sudah mengerti akan rahasia hikmat Allah, bukan dipahami akal manusia tapi menurut Yes 64 : 4 ; Hanya Tuhanlah yang dapat melakukan yang ajaib itu, bahkan Paulus mengatakan : O,alangkah dalamnya kekayaan,khikmat danpengetahuan Allah,Rom 11 : 33, 0leh Roh Kudus mengetahui semuanya itu,juga orang percaya yang sudah menerimaRoh Kudus. Rohlah yang bias mengerti dan memahami rencana pemikiran Allah sendiri bagiumatmanusia, sehingga roh orang percaya dapatmemperoleh dan menyelami hikmat pengertian,pengetahuan,dan pemikiran Allah karena sudah dituntun oleh roh Allah. Roh Allah dapat memenangkan orang percaya melawan kuasa dosa ,Roh Allah menuntun orang percaya kepada kepada hikmat Allah. Penutup: Seekor kucing keasyikan mengejar ekornya sendiri. Berputar-putar, dan berputar-putar lagi, berharap segera mendapati ekornya tertangkap. Ia pikir, ketika ia sudah mendapatkan ekornya, ia akan bahagia. Ia tidak akan khawatir kehilangan ekor, karena ia telah memegang ekornya. Padahal itu salah sama sekali! Berputar sampai pingsan pun ia takkan dapat menangkap ekornya. Ia hanya akan kelelahan. Dan sesungguhnya, bukankah tanpa dikejar pun, ekor itu selalu setia mengikutinya? Sadar atau tidak, kerap kali orang memakai waktu hidupnya untuk banyak mengejar kesuksesan, kekayaan, pengakuan, dan sebagainya, agar hidupnya bahagia. Segala upaya, waktu, dan energi, dicurahkannya untuk mengejar hal-hal itu. Padahal, itu sebenarnya adalah target hidup yang salah! Segala target yang tidak bernilai kekal, tidak layak kita kejar sedemikian rupa. Kita malah kehilangan target yang utama, yang Tuhan ingin agar kita raih dan miliki, supaya hidup kita berarti. Mari simak lagi, bagaimana Tuhan berkenan pada permintaan Salomo (ayat 10). Yakni, ketika Salomo meminta hikmat sebagai hal terpenting yang ia rindukan, bukan yang lain-lain (ayat 9). Dan, ketika target utama itu telah ia sasar, Tuhan ternyata menambahkan hal-hal lain yang Salomo perlukan, meski Salomo tidak memintanya (ayat 13). Tanpa perlu dikejar, Tuhan memberinya kekayaan, kemuliaan, umur panjang. Itu semua bonus! Sebab itu, kita diajar untuk tidak mengejar bonus, tetapi target utama: hikmat. Yakni, hati yang berpadanan dengan hati Tuhan. Mata yang melihat seperti mata Tuhan. Hidup yang berjalan sebagaimana Tuhan berjalan. Mari kenali pribadi Tuhan lebih intim. Dan, milikilah hikmat dari-Nya’. Amin Dari berbagai sumber

Khotbah Minggu 21 Juli 2013 Yohannes 15: 9-17

Pengantar: Bagian ini adalah perintah yang sangat sentral dalam kehidupan orang Kristen yaitu saling mengasihi. Sebelum Yesus naik ke atas kayu salib Ia berpesan pada murid-murid-Nya. Pesan ini kemudian menjadi identitas orang Kristen, yaitu orang-orang yang saling mengasihi. Kita diperintahkan untuk menjadi kudus karena berkaitan dengan Allah kita yang Kudus. Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal dan Roh Kudus untuk menguduskan kita. Kudus berarti kita menjadi murni, setia kepada Tuhan, sejati di hadapan Tuhan. Kudus berarti tidak mendua hati. Perintah untuk saling mengasihi dalam Injil dikaitkan dengan Sepuluh Perintah Allah. Ada seorang yang bertanya apa inti dari Torah, hukum Allah? Yesus menjawab, “Hendaklah engkau mengasihi Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap kekuatanmu, dengan segenap tubuhmu, hatimu, jiwamu dan kasihilah orang lain seperti dirimu sendiri.” Ini adalah dua perintah yang di dalamnya tergantung seluruh perintah Allah. Penjelasan: Di FirmanNya, Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi sesama kita. Sebatas mana kita harus mengasihi sesama kita? Ternyata Tuhan memberi target kepada kita bahwa kita harus mengasihi sesama kita sebagaimana Tuhan telah mengasihi kita semua. Untuk dapat mencapai target ini harus lahir dari benih Ilahi (1 Yohanes 5:3-4). Empat berkat yang di janjikan Tuhan kalau kita dapat mengasihi sesama seperti perintah Tuhan: 1. Kamu akan bersukacita (ayat 11). Setelah mengasihi sesama maka sukacita kita penuh. Sukacita yang bahasa Inggrisnya joy adalah berbeda dengan bahagia (yang bahasa Inggrisnya happiness). Happiness dapat kita buat, berasal dari luar, dan bersifat sementara, contohnya orang-orang yang mencari kebahagian dari dunia di club, bioskop, dll. Tetapi sukacita berasal dari dalam, merupakan buah Roh, dan berasal dari Tuhan. 2. Kamu akan menjadi sahabatNya (ayat 14). Setelah kita dapat mengasihi sesama maka kita bukan hanya hamba Tuhan lagi, tetapi kita juga menjadi sahabatNya. Sebagai sahabat Tuhan, kita menjadi makin sensitive mendengar suara Tuhan. Karena seperti pada umumnya seseorang memberitahukan isi hati dan rencananya pada sahabatnya, demikian juga dengan menjadi sahabat Tuhan, kita menjadi sensitive mengetahui hal-hal yang tidak di ketahui orang lain. 3. Kamu akan di panggil melayani Dia (ayat 16). Amanat agung Tuhan adalah agar kita pergi bertemu banyak orang dan mengabarkan Injil, untuk ini perlu terlebih dahulu kita mengasihi sesama. Tuhan tiga kali bertanya kepada Simon Petrus “Apakah kamu mengasihi Aku” sebelum Tuhan memerintahkan Petrus untuk mengembalakan domba-dombaNya. Ada tertulis bahwa apa yang kita perbuat untuk sesama yang paling hina, kita telah melakukannya untuk Tuhan, jadi mengasihi Tuhan berarti mengasihi sesama dan sebaliknya. Andai kata Petrus tidak mengiyakan bahwa dia mengasihi Tuhan maka Tuhan juga tidak akan memerintahkan Petrus untuk mengembalakan domba-dombahNya. Kalau kita belum mengasihi Tuhan atau sesama janganlah kita pelayanan karena itu hanya akan merusak domba-domba Tuhan. 4. Kamu akan di berkati untuk memberkati (ayat 16) Buah dinikmati oleh orang lain bukan yang menghasilkannya, contohnya buah mangga dinikmati oleh orang lain bukan oleh pohon mangga itu sendiri. Setelah mengasihi sesama kita akan mengasilkan buah yang dapat dinikmati orang lain. Orang hidup adalah untuk orang lain, Agustinus dengan radikal dan sangat berani mengatakan, “Jika engkau terus bertanya kehendak Tuhan apa, apakah ini boleh atau tidak, maka kasihilah dan lakukan yang engkau mau. Allah pasti berkenan.” Karena itu marilah kita semua saling mengasihi sesama kita dan menerima ke-empat berkat Tuhan. Tuhan Yesus memberkati. Amen. Dari berbagai sumber

Khotbah Minggu 28 Juli 2013 (2) Lukas 10: 25-37,

Pengantar: IBU TERESA DARI KALKUTA: SEBUAH TELADAN PEMBAWA DAN CERMIN KASIH ALLAH Dalam kehidupan yang konkrit dapat kita lihat dalam diri Ibu Teresa dari Kalkuta. Ia menerima panggilan Allah untuk melayani Dia dalam diri orang-orang yang termiskin dari para miskin pada tahun 1946 dengan cara yang sederhana, yaitu merawat orang yang sakit dan yang hampir mati yang ditemuinya di sepanjang jalan di Kalkuta. Walaupun sejak tahun 1944 (saat ia menjadi kepala sekolah) ia mengidap penyakit TBC, tetapi semangatnya tetap menyala untuk melayani Allah di atas segala sesuatu melalui orang-orang miskin. Ia melayani Yesus dalam diri kaum miskin, merawatnya, memberi makan dan pakaian, dan mengunjunginya. Ibu Teresa berkata, ”Yesus ingin menolong dengan berbagai hidup kita, kesepian kita, perjuangan kita, susah payah kita, kematian kita. Hanya dengan menjadi satu dengan kita, Dia telah menebus kita. Kita diperkenankan untuk berbuat yang sama: semua kesepian orang miskin, kemiskinan material dan spiritual mereka, semuanya harus ditebus, dan kita harus mengambil bagian, karena hanya dengan menjadi satu dengan mereka kita dapat menebus mereka, yakni dengan membawa Allah ke dalam kehidupan mereka dan membawa mereka kepada Allah.” Kita melihat dalam diri Ibu Teresia bahwa ia tumbuh dalam cinta kepada Yesus. Ia berkata, ”untuk melakukan hal ini kita harus terus mencintai dan mencintai, memberi dan memberi, hingga cinta itu melukai diri kita. Itulah jalan yang dilakukan Tuhan Yesus.” Renungan: Adalah Gabriel Marcell, filsuf berkebangsaan Perancis (1889-1997), yang meng-gambarkan berbagai tingkatan relasi antarmanusia. Pertama, kita menganggap orang itu sebagai “seseorang”. Entah siapa dia, kita tidak tahu. Dia asing bagi kita. Demikian juga sebaliknya, kita asing bagi dia, sehingga ada semacam perasaan untuk saling menjaga jarak. Kita melihatnya tetapi tidak berkomunikasi. Bertemu selintas, tidak meninggalkan kesan apa pun bagi masing-masing. Yang kedua, Marcell mencoba menggambarkan apa yang disebut sebagai “mereka”. Mereka adalah orang-orang yang saya butuhkan karena sesuatu. Mereka merupakan pusat infor-masi bagi saya, menjadi obyek untuk bertanya, untuk menda-patkan hal-hal yang saya butuhkan. Mereka menjadi obyek dan saya menjadi subjek. Saya berkomunikasi dengan mereka tetapi tidak memberikan kesan. Saya kontak dengan mereka dalam bahasa tetapi tetap merasa asing karena tidak punya kesan yang panjang, tidak punya relasi yang jelas. Ada kontak dalam bahasa, tetapi tidak dalam rasa. Mereka lebih dari sekadar apa yang kita sebut “seseorang” tadi. Namun kelebihan itu hanya dalam bidang komunikasi bahasa, bukan dalam kesan dan rasa. Mereka hanya objek, dan saya subjek. Yang ketiga: engkau. Ini lebih tinggi, ada keterbukaan antara aku dan dia. Artinya, saya siap untuk dikenal oleh dia, dan saya siap mengenal dia dengan segala risiko apa pun. Keterbukaan itu mem-buat kami bisa saling memahami. Dalam tingkatan ini ada komunikasi dua arah. Dia menjadikan hubungan saya dan dia menjadi hubungan yang disebut “kita”. Engkau dan aku sama-sama menikmati, sama-sama merasakan, sama-sama masuk di dalam pembicaraan di mana kita berdua terlibat dan di sanalah tercipta relasi sebagai sesama subjek. Jadi, saya subjek engkau subjek. Oleh karena itu, engkau akan menjadi pribadi yang dapat menjadi bagian hidupku. Dalam hidup kita menemukan relasi-relasi seperti ini. Kita berpapasan setiap hari dengan orang, tapi tidak mengenal dan tidak tahu aktivitasnya. Duduk sama-sama, tetapi asing, bahkan mungkin saling mencurigai. Itu relasi tahap pertama yang paling dasar dari relasi hidup manusia. Hanya basa-basi, tidak perduli apa yang dialami dan dirasakan dia. Betapa tragisnya suasana seperti ini. Patut kita renungkan, seperti apa kita berelasi. Jangan-jangan itu yang terjadi dalam kehidupan kita berjemaat. Orang di sekitar kita adalah orang yang tidak kita pedulikan. Hanya karena pola yang diciptakan dalam gereja maka orang bersalaman, say hello, sehingga pecahlah memang kekakuan. Gereja jadi kaku karena orang-orang yang berbakti asing satu sama lain. Waktu gereja memecah suasana kaku dan menciptakan suasana untuk ada satu relasi, maka ada jabat tangan. Orang-orang itu saya butuhkan untuk mengung-kapkan rasa kasih saya: selamat siang, selamat pagi. Saya puas waktu bisa mengucapkan selamat siang, karena saya bisa mengekspre-sikan kasih saya. Bodoh amat dia bisa menikmati itu apa tidak. Saya puas karena saya orang kaya, punya jabatan, mau mengucapkan selamat pagi kepada orang miskin untuk mengekspresikan kasih saya. Bodoh amat orang itu merasakan-nya apa tidak. Di sana terjadi komunikasi dalam bahasa tetapi tidak dalam rasa. Batin tidak ada kontak. Mudah mengatakan Oleh karena itu pertanyaan, si ahli Taurat tentang siapakah sesamaku (Lukas 10: 25-37), sangat penting kita pikirkan, jangan-jangan kita tidak mengerti siapa sesama kita. Kita berpikir dia sudah menjadi sesama kita, padahal belum. Siapakah sesamaku? Sesamaku adalah orang yang bisa terbuka dengan aku, mau mengenalku dan aku mau mengenalnya. Sesamaku adalah orang yang bisa berkomunikasi dengan aku di dalam dua arah, sehingga kami menjadi kita, menjadi satu. Sesamaku adalah mereka yang kuperlakukan sebagai subjek dan memperlakukan aku sebagai subjek sehingga tidak ada yang memperalat dan diperalat. Tidak mudah untuk bisa menempatkan orang di sekitar kita menjadi sesama. Perlu suatu kematangan, kejujuran, supaya kita bisa menghargai orang di sekitar kita. Ketika Tuhan mengatakan: “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”, maknanya amat dalam, mengagumkan, terlebih jika kita lihat dari apa yang kita pahami tentang relasi tadi. Gereja bisa dengan mudah mengatakannya. Pendeta mudah mengkhotbahkannya, tetapi sulit melakukannya. Kita sering memperlakukan orang lain sebagai orang yang kita tidak kenal. Kita sering menjadikan mereka sebagi objek untuk mencari informasi memuaskan perasan kita. Tetapi mampukah kita menghargai orang-orang di sekitar kita, yang kita berikan derajat yang sama dengan diri kita: subjek dan subjek, sehingga kita bisa menghargai dia sebagai orang yang sama dengan kita? Siapakah sesama kita? Ijinkan saya memberikan tiga hal: Pertama, sesamaku adalah dia yang sama-sama denganku sebagai subjek. Posisi saya dan dia sama. Meski dia kaya dan saya miskin tidak jadi masalah. Pendeta dan jemaat, sama. Tidak berarti karena perbedaan jabatan atau posisi membuat relasi menjadi atas-bawah. Kedua, sesamaku adalah dia yang kuyakini sesuai dengan gambar dan rupa Allah (imagodei). Allah menciptakan saya menurut gambar dan rupa-Nya, maka orang di sekitarku pasti juga diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Kalau memang kita menganggap seluruh manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka kita harus memperlakukan mereka sebagai sesama subjek. Yang ketiga, sesamaku itu adalah dia yang kukasihi, seperti aku mengasihi diriku sendiri. Karena saya sudah memperlakukan diri saya sebagai subjek dan dia subjek, maka saya akan coba merasakan di dalam hidup saya kalau saya melakukan sesuatu bagi dia. Berapa banyak orang merugikan orang lain, menindas orang lain untuk posisi-nya. Berapa orang berkompetisi dengan cara yang tidak etis. Kita menjadi egois, tidak lagi sempat memikirkan orang lain apalagi menyamakan dirinya seperti diri kita sendiri. Dunia ini akan tenteram aman nyaman lepas dari segala pergolakan dan pertikaian yang menghancurkan persatuan manusia kalau manusia bisa menghargai manusia yang lain sebagai sesamanya, dan kekristenan telah memberikan sumbangsih. Kiranya setiap orang Kristen yang punya anugerah, berkat, warisan firman Allah yang menyatakan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, bisa mewujud nyatakannya di dunia ini, khususnya kita di Indonesia ini. Di tengah kerusuhan dan kekacauan kita bisa menunjukkan hal itu. Amen. Dari berbagai sumber

Khotbah Minggu 04 Agustus 2013 1Petrus 3:8-12

Pendahuluan: Kata persekutuan dari bahasa Yunani “KOINONIA” yang menekankan pada keeratan hubungan yang dilandasi kasih, serta kesepakatan dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Jadi persekutuan yang sehat dan benar bukanlah mencari-cari perbedaan yang dapat menciptakan perselisihan atau pertengkaran, melainkan menerima perbedaan sebagai pintu terciptanya keberhasilan. Ciri-ciri persekutuan yang sehat dijelaskan berdasarkan 3M dibawah ini. 1. “Mengasihi” (I Petrus 3:8) - Karena kita telah disucikan dari dosa (I Petrus 1:22). - Membuat kita tidak berbuat dosa ( I Petrus 4:8). 2. “Memberkati” (I Petrus 3:9) - Itu adalah kasih karunia dari Allah (I Petrus 2:20). - Bukti ketaatan terhadap Allah (I Petrus 2:21). - Panggilan untuk menjadi berkat (I Petrus 3:9; Amsal 11:24). 3. “Mencari perdamaian” (I Petrus 3:11) - Menjaga lidah terhadap yang jahat (I Petrus 3:10). - Menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik (I Petrus 3:11). - Allah murka dengan kejahatan (I Petrus 3:12). Khotbah: "Persekutuan dan persaudaraan yang rukun adalah dambaan setiap orang di dunia ini. Bagaimanakah agar impian ini menjadi kenyataan? Persektuan dan persaudaraan ini terwujud jika kita memiliki nilai-nilai hidup seperti: Pertama, Seia sekata. Harus kita akui bahwa kita memiliki banyak latar belakang yang berbeda-beda menurut suku, bahasa dan adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, cara berpikir dan sebagainya, namun kita harus benar-benar sehati, seia-sekata, supaya dapat hidup sebagai persekutuan yang mau mengerti satu dengan yang lain. Situasi yang demikian menggambarkan bahwa jemaat merupakan organ atau badan yang hidup, di mana terdapat berbagai-bagai anggota atau suatu badan yang sangat berlainan bentuknya dan sangat beraneka ragam fungsinya. Di dalam keberanekaragaman itu anggota-anggota dapat saling membantu dan saling mengisi satu sama lain. Tidak ada yang menganggap dirinya lebih berharga dan lebih tinggi. Baik Tuhan Yesus maupun rasul-rasul, sering menekankan kesatuan di dalam persekutuan. Tuhan Yesus dalam doaNya supaya "murid dan pengikutNya, menjadi satu“ (ut omnes unum sint). Rasul Paulus menggarisbawahi dalam surat kirimannya kepada jemaat di Roma, Korintus, dan Efesus, “meskipun anggota-anggota itu berlainan dan mempunyai talenta-talenta yang sangat berlainan, namun mereka tetap satu badan, satu organ yang hidup“. Kedua, seperasaan (sympathein=sama merasai sakit). Dalam satu organ yang hidup, bila tangan terluka, sesungguhnya tidak hanya tangan saja yang menderita, melainkan seluruh tubuh menderita kesakitan. Begitulah sifat organ yang hidup, di mana semua anggota ikut menderita apabila salah satu anggota mengalami kesakitan dan sama-sama bersukacita apabila salah satu anggota bersukaria (1Kor.12:26). Ketiga, mengasihi. Pusat atau azas hidup orang Kristen adalah kasih karena hakikat atau kesempurnaan Allah adalah mengasihi dunia. Kasih adalah sumber dari segala kebajikan. Kasih itu panjang sabar, kasih menjauhkan dengki, kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan sebagainya. Artinya kita diharapkan memiliki persekutuan dan persaudaraan yang rukun (bd.Mzm.133). Jika pada kita tidak ada kasih sudah barang tentu persaudaraan itu tidak dapat dinikmati. Keempat, penyayang. Sifat penyayang ini harus didasari atas kepenyayangan Tuhan kepada kita yang rela berkorban menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia. Kita juga harus mampu menyayangi suami-istri dan anak-anak, serta orang lain tanpa memandang suku, ras dan budaya. Kelima, rendah hati. Dengan rendah hati kita mampu mengalahkan kesombongan dan kecongkakan kita. Karena sifat kesobongan dan kecongkakan inilah yang sering merusak persekutuan dan persaudaraan di antara kita. Sifat rendah hati akan menjadikan persekutuan kita akan semakin indah dan bahagia. Kesimpulan: Dalam membangun persekutuan yang sehat, jika kita mengandalkan kekuatan atau kekayaan itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa, tetapi jika kekuatan kuasa-Nya yang diandalkan, pasti berhasil. Sebagaimana dikatakan dalam Amsal 16:3, “Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu”. Amen.

Senin, 01 Juli 2013

Khotbah Kebaktian R. Tangga 04 Juli 2013. I RAJA-RAJA 19:19-21 "Elisa Mendapat Panggilan Sebagai Nabi" Pemimpin Melahirkan Pemimpin

Seseorang yang dipanggil untuk menjadi nabi selain Allah yang mengurapi dan menyertainya juga harus membayar mahal harga panggilannya kepada Allah, seperti harus hidup kudus dihadapan Allah, hanya menyampaikan suara kebenaran Allah walaupun resikonya adalah ancaman terhadap nyawanya, penolakan dari orang lain (umat Allah sendiri), tekanan secara fisik, batin, penganiayaan dan lain sebagainya. I. Elisa sebelum / pada saat dipanggil. 1. Elisa sedang sibuk bekerja (ay 19). Elisa dipanggil untuk melayani Tuhan pada waktu ia sedang sibuk bekerja, bukan pada waktu ia sedang menganggur / bermalas-malasan. Hal yang sama terjadi dengan Petrus, Andreas, Yohanes, dan Yakobus (Mat 4:18-22), dan juga dengan Matius (Mat 9:9 - ‘duduk’ di sini bukan bermalas-malasan, tetapi sedang bekerja, karena pemungut cukai ini sedang ‘duduk di rumah cukai’ Pada waktu melakukan pekerjaannya ia dipanggil oleh Allah. Bisnis tidaklah baik jika itu menghalangi kita untuk mendengar suara Allah Penerapan: Setiap saudara dipanggil untuk melayani Tuhan. Jangan ber-kata "Saya tidak ada waktu", atau "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan saya". Saudara harus memilih antara mengutamakan Tuhan / pelayanan atau mengutamakan pekerjaan / kesibukan dan menjadikannya sebagai ‘allah lain’ (bdk. Kel 20:3 - "Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu"). 2. Elisa adalah orang yang kaya. Dikatakan dalam ay 19 bahwa ia sedang membajak dengan ‘12 pasang lembu’, dan ini menunjukkan bahwa Elisa adalah orang yang kaya. Ini menunjukkan: kerajinannya. Sekalipun ia kaya tetapi ia sendiri ikut bekerja. pada waktu ia memenuhi panggilan Tuhan, ia kehilangan banyak harta duniawi. Luk 14:33 - "Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu". II. Panggilan terhadap Elisa. 1. Panggilan ini datang dari Tuhan, bukan dari Elia (ay 16). 2. Cara Elia memberikan panggilan adalah dengan melemparkan jubahnya. Ay 19b: "Ketika Elia lalu dari dekatnya, ia melemparkan jubahnya kepadanya". Jubah yang dimaksud adalah jubah nabi (bdk. Zakh 13:4 yang mengatakan bahwa nabi mempunyai ‘jubah berbulu’). = ‘Jubah nabi adalah tanda dari pekerjaan nabi’ (Keil). Karena itu, melemparkan jubah itu kepada atau ke atas Elisa merupakan suatu cara yang tepat / cocok dan berarti untuk menunjuknya pada jabatan nabi. ‘Pada waktu Elia naik ke surga, Elisa mendapatkan seluruh jubah itu’ 2Raja-raja 2:13 = Pelemparan jubah Elia kepada Elisa merupakan tanda bahwa ia harus ‘mengikutinya’, mula-mula sebagai pelayannya, dan akhirnya menjadi penggantinya. Karena itu, jubah itu menjadi milik Elisa sepenuhnya pada waktu ‘tuan’nya ‘diambil dari kepalanya’ (2Raja-raja 2:3,13)] - III. Tanggapan Elisa. 1. Elisa mengikuti Elia (ay 20a). Tidak diragukan lagi iapun telah lama mengeluh dan berdoa mengenai penurunan moral dari negaranya dan aib yang dilakukan terhadap Allahnya) - Karena itu pada waktu dipanggil, ia langsung mau. Ada banyak orang yang prihatin dengan keadaan kekristenan di Indonesia, tetapi tidak mau melayani. Ini prihatin yang omong kosong! 2. Elisa minta ijin untuk pulang dulu untuk mencium orang tuanya (ay 20b). Elia menjawab: "Baiklah, pulang dahulu, dan ingatlah apa yang telah kuperbuat kepadamu" (ay 20c 3. Elisa menunjukkan bahwa ia mau melepaskan segala sesuatu, yaitu keluarga (ay 21 bdk. Mat 10:37), rumah dan pekerjaannya. a. Satu hal lagi yang diperdebatkan adalah: apakah akhirnya Elisa pamitan / mencium orang tuanya atau tidak? Ay 21 tidak menceritakan hal itu, sehingga ada penafsir yang beranggapan bahwa ia memang tidak jadi melakukan hal itu. Tetapi ada yang berpendapat bahwa ia melakukan hal itu, hanya tidak diceritakan oleh Kitab Suci. b. Reaksi orang tua Elisa. Kalau diasumsikan bahwa Elisa pamitan kepada orang tuanya, maka kelihatannya orang tuanya tidak menghalanginya. (= Celakalah orang tua yang berjuang, demi uang yang kotor, untuk mencegah anak mereka menerima panggilan untuk memberitakan Yesus kepada orang sebangsa mereka yang sedang menuju kepada kebinasaan, atau kepada orang kafir, karena mereka melihat bahwa hidup dari seorang penginjil yang sejati adalah suatu hidup yang relatif miskin, dan mereka lebih menginginkan bahwa ia mencari / menghasilkan uang dari pada menyelamatkan jiwa) c. Elisa menyembelih lembunya dan menggunakan bajaknya sebagai kayu api untuk memasak lembu itu (ay 21). adalah lebih penting untuk melihatnya sebagai suatu tindakan simbolis, pernyataan Elisa untuk membuang sepenuhnya panggilan / pekerjaan duniawinya. Mulai saat ini ia tidak memerlukannya lagi) Mungkin tindakan Elisa ini seperti tindakan John Sung yang membuang semua ijazahnya ke laut waktu ia memutuskan untuk memenuhi panggilan Tuhan untuk melayani Tuhan. Bandingkan dengan Petrus dkk. yang pada waktu dipanggil, hanya meninggalkan tetapi tidak menghancurkan peralatan menangkap ikan (Mat 4:18-22). Karena itu pada waktu Yesus mati, mereka kembali menjala ikan (Yoh 21:1-dst). d. Elisa menggunakan lembu ini untuk pesta perpisahan. Pada waktu Lewi / Matius dipanggil, ia juga mengadakan pesta perpisahan (Luk 5:29). e. Elisa menjadi pelayan Elia. Ay 21 akhir: ‘menjadi pelayannya’. Kesimpulan / penutup. Dalam bukunya 21 Hukum Kepemimpinan Sejati, John Maxwell menuliskan bahwa salah satu karakteristik penting dari seorang pemimpin yang kerap kali dilupakan adalah melahirkan pemimpin untuk masa depan. Banyak pemimpin begitu hebat sewaktu hidupnya. Sayangnya, ketika ia lengser atau meninggal, perjuangannya turut berhenti karena ia tidak memiliki penerus yang akan mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan. Ayat bacaan hari ini berkisah tentang bagaimana Elia, sang nabi besar, menyiapkan Elisa yang akan menjadi penggantinya. Ada dua hal yang Elia lakukan dalam proses ini. Pertama, ia memberikan otoritas dan kepercayaan kepada Elisa (ayat 19). Ia melemparkan jubah kenabiannya yang merupakan simbol otoritas kepada Elisa. Kedua, ia melatih Elisa dari bawah—sebagai pelayannya (ayat 21). Padahal menurut beberapa penafsir Alkitab, Elisa adalah orang kaya sebagaimana ditunjukkan dengan banyaknya ternak yang ia miliki. Namun, Elisa merendahkan diri dan “magang” sebagai pelayan Elia. Tampaknya Elia ingin menumbuhkan sikap melayani dalam diri Elisa sebelum kelak ia diresmikan menjadi seorang nabi. Apakah sdr adalah orangtua dalam keluarga? Apakah sdr seorang pemimpin dalam gereja atau komunitas sdr? Sadarilah bahwa sdr mengemban tanggung jawab untuk menyiapkan pemimpin selanjutnya. Mintalah hikmat dari Tuhan supaya sdr dapat menemukan calon penerus yang terbaik. Lalu, siapkan mereka dengan memberikan otoritas dan kepercayaan. Didiklah mereka melayani lebih dahulu sebelum sdr mewariskan tugas kepemimpinan kepada mereka. Waktu Elisa dipanggil, ia rela mengorbankan segala-galanya, dan ia pergi melayani Tuhan. Bagaimana dengan saudara? Ingat, jangan ‘mengubur talenta’ saudara! Amin. RHLT