Hidup Yang Berpadanan
Dengan Panggilan
Panggilan
yang mulia (ayat 1)
Gereja ada bukan tanpa
tujuan. Ada panggilan ilahi bagi gereja. Hal ini ditegaskan Paulus melalui
pemunculan kata “panggilan”
(klēseōs) maupun “dipanggil”
(eklēthēte) masing-masing sebanyak dua
kali (4:1, 4). Panggilan ini merujuk pada panggilan ilahi yang luar biasa
dan disertai dengan pengharapan yang penuh kemuliaan (1:18; 4:4).
Apakah yang dimaksud dengan
“panggilan” dalam konteks ini? Berdasarkan konteks, kita sebaiknya menafsirkan
ini sebagai panggilan untuk menjadi satu tubuh. Pertama, panggilan di 4:4
dikaitkan dengan “satu tubuh”. Kedua, panggilan di 1:18 maupun
4:1, 4 juga dihubungkan dengan posisi Kristus sebagai Kepala Gereja yang memenuhi
dan mengikat semua bagian (1:22-23;
4:15-16).Ketiga, dalam bagian
yang paralel di Kolose 3:12-15 dikatakan bahwa orang-orang percaya “telah
dipanggil menjadi satu tubuh” (3:15b).
Panggilan ini dimungkinkan
melalui karya penebusan Kristus (2:11-22). Orang-orang Yahudi yang “dekat” dan
orang-orang Yunani yang “jauh” sama-sama didekatkan dan dijadikan satu keluarga
dan bangunan rohani melalui darah Kristus (2:13). Kematian Kristus menjadikan
mereka “satu manusia baru di dalam diri-Nya” (2:15). Salib Kristus “mendamaikan
keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah” (2:16). Betapa mulianya panggilan
kita!
Walaupun Kristus sudah
memungkinkan pemenuhan panggilan itu, orang-orang percaya tetap harus
mengerjakan bagian mereka, yaitu hidup berpadanan dengan panggilan tersebut
(4:1). Kata “berpadanan”, axiōs) secara hurufiah berarti “layak” (semua versi
Inggris, Kol 1:10). Panggilan ilahi bagi kita adalah begitu mulia, sehingga
tidak semua cara hidup layak atau pantas bagi panggilan itu.Orang yang
mempunyai panggilan mulia dituntut untuk mempraktekkan
cara hidup tertentu yang pantas. Mengapa kriminalitas yang dilakukan oleh
seorang polisi, aparat hukum, atau penegak hukum menjadi begitu serius? Karena
mereka secara khusus dipanggil untuk memberantas kriminalitas. Mengapa korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat terlihat begitu jahat? Karena mereka dipanggil
untuk menyejahterakan rakyat, bukan merampas hak mereka. Mengapa perselisihan
dalam gereja selalu menjadi berita yang heboh? Karena gereja dipanggil untuk
menjadi satu tubuh di dalam Kristus. Kekristenan dikenal sebagai agama yang
penuh kasih, sehingga ketidakadaan kasih merupakan persoalan sangat serius bagi
gereja.
Wujud
kehidupan yang layak bagi panggilan (ayat 2-3)
ayat 2-3 merupakan penjelasan
tentang bagaimana wujud dari kehidupan yang layak bagi panggilan ilahi. Wujud ini ditunjukkan melalui dua frase kata depan
dan dua partisip seperti ditunjukkan berikut ini:
dengan segala kerendahhatian
dan kelemahlembutandengan kesabarantunjukkanlah kasihmu dalam hal saling
membantuberusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahteraBagaimana hidup yang layak bagi panggilan
ilahi?1.kehidupan yang diwarnai dengan kerendahhatian dan kelemahlembutan
(4:2a). Dari struktur kalimat yang digunakan di sini terlihat bahwa Paulus
sengaja menegaskan kaitan erat antara kerendahhatian dan kelemahlembutan. Dalam sebuah perselisihan,
kelemahlembutan sangat diperlukan. Sikap ini dikontraskan dengan kekerasan (1
Kor 4:21) atau kecenderungan untuk bertengkar (2 Tim 2:24-25; Tit 3:2). Mengapa kita tidak bisa lemah-lembut? Salah
satu alasannya adalah karena kita memandang diri kita terlalu tinggi. Kita
lebih memilih jalan otoritas daripada persuasi. Kita lebih nyaman mengedepankan
status dan jabatan yang tinggi daripada hati yang mau melayani. Jadi, dengan
menyadari kerendahan kita (tapeinophrosynēs), kita akan memupuk kelemahlembutan
(prautētos) dalam diri kita.
2., kebersamaan yang diwarnai
dengan kesabaran (4:2b). Kata makrothymia secara hurufiah berarti “temperamen yang panjang”. Kesabaran
bukan berarti meniadakan teguran (2 Tim 4:2) atau hukuman (Rom 9:22; 1 Pet
3:20). Orang yang sabar lebih memilih untuk memberi kesempatan dan mengupayakan
orang lain bertobat (Rom 2:4; 1 Tim 1:16; 2 Pet 3:15). Orang yang sabar akan
memilih jalur persuasi terlebih dahulu (Ams 25:15), tidak langsung menempuh
jalur hukuman. Sama seperti Allah dahulu bersabar terhadap kita dan membimbing
kita pada pertobatan, demikianlah kita seharusnya memperlakukan orang lain.
3. kebersamaan yang mau
menanggung satu dengan yang lain di dalam kasih (4:2c). “menunjukkan kasih dalam hal saling membantu” terkesan sangat
bebas. Kata anechomai bisa berarti “bersabar”
(Mat 17:17; Mar 9:19; Luk 9:41; 1
Kor 11:1, 4, 19-20) atau “menanggung”
Kunci untuk melakukan hal ini
adalah “di dalam kasih” (en agapē). Bagi kita yang sudah mengalami dan memahami
kasih Allah yang tanpa batas (3:18-19), menanggung kelemahan orang lain
seharusnya tidaklah sukar. Di dalam kasih, Allah sejak kekekalan sudah memilih
kita untuk diselamatkan di dalam Kristus terlepas dari keberdosaan kita (1:4).
Oleh kasih Allah kita telah dihidupkan bersama-sama
dengan Kristus (2:4). Karena itu, sudah sepantasnya kalau kita meneladani kasih
Allah (5:2). Tanpa kasih, pembangunan tubuh Kristus tidak mungkin tercapai
(4:15-16).
4. kebersamaan yang mau
memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai sejahtera (4:3). Kata “berusahalah”.
Kata ini mengandung makna kesungguhan (Gal 2:10; 1 Tes 2:17; 2 Pet 1:10).
Dasar kehidupan yang layak bagi panggilan (ayat 4-6)
Perbedaan seharusnya menjadi
kekayaan bagi gereja. Dalam realita hal ini sayangnya seringkali tidak
demikian. Perbedaan menjadi sumber perselisihan. Bahkan perbedaan yang sepele
tidak jarang menyebabkan konflik yang parah dalam sebuah gereja. Hal ini jelas
merupakan situasi yang ironis. Dasar dari kesatuan kita jauh lebih agung dan
mendasar daripada perbedaan-perbedaan manusiawi yang ada.
Kesatuan
kita terletak pada kesatuan tubuh (4:4), kesatuan pengharapan (4:4), kesatuan iman (4:5),
dan kesatuan baptisan (4:5). Semua ini bersifat lebih fundamental dan permanen
daripada perbedaan-perbedaan di antara orang-orang percaya. Lebih jauh, Paulus
menelusuri kesatuan kita sampai pada Allah Tritunggal. Sebagaimana Roh Kudus
(4:4), Tuhan Yesus (4:5), dan Bapa (4:6) adalah satu secara hakekat, demikian
pula kehidupan bergereja seharusnya merefleksikan sebagian aspek dari kesatuan
itu.
Masih adakah alasan untuk
tidak mengasihi satu dengan yang lain? Adakah perbedaan yang terlalu besar yang
tidak bisa dikalahkan oleh kesatuan rohani kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar