Selasa, 03 April 2018

Khotbah PAK Kamis 15 Mart 2018 Hakim 11: 29-40


 Setia Pada Janji

Pada zaman perjanjian lama, sejak kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, keselamatan hanya dapat diperoleh dengan mengandalkan janji-janji akan karya keselamatan yang dilakukan secara ajaib oleh Allah. Tampak bahwa umat Israel berpegang teguh akan kepercayaan akan janji penyelamatan itu seperti dalam kisah keluarnya umat Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Melalui Musa hambaNya, Allah memberikan kesepuluh hukum untuk mengatur hubungan mereka dengan Allan dan juga dengan sesama manusia. Hukum itu diberikan Allah agar bangsa Israel, dengan memegang teguh hukum tersebut, mereka dapat senantiasa membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan Allah. Salah satu komunikasi yang terjalin antara bangsa Israel dengan Allah adalah berkaitan dengan kepercayaan bangsa Israel akan karya keselamatan Allah, yang terungkap dalam sebuah nazar.
Pada zaman para Hakim, setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri ketika tidak ada raja yang memerintah (bdk. Hak. 17:6).  Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat budaya bangsa setempat (Kanaan), akan kepercayaan terhadap dewa-dewa, salah satunya adalah dewa kesuburan. Sebelum bangsa Israel menempati Kanaan, mereka adalah bangsa pengembara yang hidup secara nomaden, dan sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai gembala. Ketika mereka masuk dan menempati Kanaan, mereka menemukan situasi yang berbeda, dan mau tidak mau mereka juga harus mengusahakan ‘tanah’ yang telah mereka rebut itu menjadi milik mereka. Dalam mengusahakan tanah yang sekarang telah mereka miliki, tampaknya mereka belajar dari cara mengusahakan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Kanaan, sebab mereka tidak memusnahkan atau mengusir keluar orang-orang Kanaan. Situasi tersebut dapat dengan mudah digunakan oleh orang-orang Kanaan untuk mempengaruhi moralitas dan kepercayaan bangsa Israel, dengan memperkenalkan pengaruh kuat kesuburan serta keberhasilan bercocok tanam adalah berkat dari dewa kesuburan. Sehingga ketika di Israel tidak ada hakim, mereka dapat dengan mudah tergoda untuk mengikuti apa yang dilakukan orang-orang Kanaan dan juga pandangan mereka sendiri, bukan apa yang baik di hadapan Allah.
C. Struktur
Perikop ini dibagi dalam beberapa bagian, antara lain;
a. 11:29-31: Mengisahkan tentang Roh Tuhan yang turun atas Yefta dan kemudian dia bernazar; apabila dia memenangkan pertempuran melawan orang-orang Amon, maka apa yang keluar dari rumahnya untuk menyambutnya pertama kali, ia akan mengurbankannya sebagai kurban persembahan kepada Allah.
b. 11:32-33 : Dalam bagian ini dikisahkan Yefta yang kemudian berjalan terus untuk berperang melawan bani Amon, dan Tuhan menyerahkan mereka ke dalam tangannya. Ia menimbulkan kekalahan yang amat besar di antara mereka, mulai dari Aroër sampai dekat Minit -- dua puluh kota banyaknya -- dan sampai ke Abel-Keramim, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan orang Israel. Tuhan menyerahkan orang-orang Amon ke tangan Yefta, sebagai kepenuhan nazar yang dilakukannya pada Tuhan.
c. 11:34-40 : Dalam bagian ini Pengarang menampilkan kembali seperti pada setting awal  yang secara khusus pada kisah awal nazar Yefta pada awal ayat 34; “Ketika Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya…”   yang keluar dari rumahnya dan menyambutnya atas kemenangan itu adalah puterinya sendiri. Ia harus berbuat seperti apa yang telah dinazarkannya. Puteri Yefta sepertinya telah mengetahui apa yang dinazarkannya, dan dia pun bersedia dipersembahkan kepada Tuhan, ayat 36; “Maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu…”. 
D. Yefta dan Bangsa Israel
 Dia adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa, tetapi ia anak seorang perempuan sundal; ayah Yefta ialah Gilead. Juga isteri Gilead melahirkan anak-anak lelaki baginya. Setelah besar anak-anak isterinya ini, maka mereka mengusir Yefta, katanya kepadanya: "Engkau tidak mendapat milik pusaka dalam keluarga kami, sebab engkau anak dari perempuan lain." (bdk. Hak. 11:1-2). Sebagai putera seorang pelacur kafir dengan Gilead yang pada waktu itu belum mempunyai anak, Yefta merasa hak warisnya diputuskan secara melawan hukum oleh adik-adiknya, yaitu para putera Gilead yang sah, dan kemudian ia lari ke negeri Tob. Pada saat bangsa Israel terdesak, mereka memanggil Yefta untuk memimpin mereka memerangi bani Amon. Saat hendak berperang, Yefta bernazar kepada Tuhan dengan mengatakan; "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." (bdk.Hak. 11: 30-31)
Nazar dalam Perjanjian Lama
Istilah nazar dalam pemikiran bangsa Semitik, mungkin berasal dari nama suatu dewa. Jika memang benar demikian, hal tersebut mengilustrasikan nama Allah yang selalu disebut dalam Alkitab, serta memberikan tafsiran baru seperti pada Yeremia 32:35. Dalam kitab Yeremia, indikasi nazar adalah persembahan sebagai penggenapan atas suatu nazar. Nazar dapat berupa kehendak melaksanakan suatu tindakan (bdk. Kej. 28:20) atau menjaukan diri dari tindakan (Mzm. 132:2), untuk memperoleh belaskasihan Allah (Bil. 21:1-3). Suatu Nazar, ikatan kekudusnnya sama dengan sutu sumpah (Ul. 23:21-23). Apa yang sudah menjadi milik Allah, misalnya anak sulung, buah bungaran, persepuluhan (bdk. Im. 27:26) adalah suatu kekejian bagi Allah (Ul. 33:18) dan tidak boleh dinazarkan atau dikuduskan bagi Allah. Namun karena Anak sulung dapat ditebus (bdk. Im. 27; Bil. 3:44) maka wajar apabila Hana memberikan Samuel kepada Yahweh sebagai pemenuhan nazar, namun bukan sebagai kurban bakaran bagi Allah. 
Nazar ditujukan sebagai hasrat manusia untuk memberikan yang terbaik kepada Allah sebagai ekspresi dan ungkapan syukur atas kebaikan yang telah diterima dari Allah atau sesuatu yang berharga untuk membuktikan kesetiaan kepada Allah dengan cara berpantang atau menahan hasrat yang berorientasi pada diri sendiri dan menyesuaikannya dengan kehendak Allah.  
Nazar bukanlah janji biasa, sebab nazar dicapkan di hadapan Tuhan. Seseorang yang mengucapkan nazar tidak pernah dipaksa oleh 0rang lain untuk mengucapkannnya karena suatu hal. Nazar diucapkan oleh seseorang atas kemauannya sendiri, dan nazar itu mengikat dirinya sebab ia tak dapat menarik kembali nazar yang telah ia ucapkan di hadapan Allah. Apapun resiko yang harus diambil, nazar haruslah diepati. Setiap orang haruslah membayar nazarnya kepada Tuhan. Namun apabila ia tidak sanggup membayarnya karena terlalu miskin, maka ia harus dihadapkan kepada Imam untuk dinilai, sesuai dengan kemampuan orang yang melakukan nazar tersebut (bdk. Imamat 27:8).
Nazar Yefta dan Kematian Puterinya
Berkat Roh Tuhan, yang hinggap pada yefta, ia berhasil mengalahkan dua puluh kota, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan bangsa Israel (bdk. 11:33). Sunguh pencapaian yang sangat luar biasa, dua puluh kota dapat ditundukkannya. Namun kisah Yefta bukanlah sekedar kisah bangsa Israel yang dipimpin Yefta untuk maju berperang.  Sebab kisah penaklukkan orang-orang Amori, pengarang tidak mencatat secara terperinci kisah penaklukkan yang dipimpin oleh Yefta. Sudut pandang yang tampak menonjol adalah penyertaan Allah dalam rohNya yang turun atas Yefta dan sebelum berperang, Yefta sempat mengucapkan nazar kepada Tuhan. Israel kalah dalam peperangan melawan bani Amon. Ia juga
Yefta telah mengetahui bahwa bangsa tahu bahwa peperangan yang menyebabkan kekalahan bangsa Israel tentunya akan melenyapkan garis keturunan bangsa Israel di muka bumi ini. Sehingga dia disiapkan untuk ‘membeli’ kemenangan dengan harga yang sangat tinggi yang harus dia bayar. Secara diam-diam, (pada ayat 35) dia harus mewujudkan kemungkinan terbesar,  yakni puterinya sendiri yang akan menyambutnya pada saat dia pulang dari peperangan. 
H. Iman dalam Totalitas Persembahan
Oleh sebab itu Yefta beranggapan bahwa Tuhan menginginkan puterinya sebagai kurban persembahan. Meskipun kurban manusia bukanlah suatu hal yang biasa dilakukan orang-orang Israel pada masa itu. Peristiwa ini pun merupakan peristiwa yang sangat tidak biasa, bahkan peristiwa satu-satunya yang terdapat dalam Perjanjian Lama.  Yefta melakukan pengurbanan manusia. Namun dalam Ibrani 11:32, Yefta justru dianggap sebagai pahlawan iman. “…yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-
kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang
dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat”. Para pahlawan Kitab Suci memang bukanlah orang-orang yang sempurna dalam berbagai hal, melainkan dalam kelemahannya ia pun dapat melakukan perbuatan amoral, seperti Daud (bdk. 2 Sam 11) dan sekalipun itu membunuh puterinya sendiri sama halnya dengan apa yang dilakukan Yefta.  
Sampai saat ini Allah tetap setia kepada manusia, kendatipun kita berdosa dan ia akan membebaskan kita dari perbudakan dosa. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. (bdk. I Yoh 1:9)Allah tetap dengan setia memperhatikan kita hamba-hambaNya. Pemazmur mengungkapkan kesetiaan Tuhan dengan; Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit(bdk. Mz. 89:3).
Amen.


Tidak ada komentar: