Setia Pada Janji
Pada zaman perjanjian lama, sejak kejatuhan manusia pertama ke
dalam dosa, keselamatan hanya dapat diperoleh dengan mengandalkan janji-janji akan karya keselamatan yang dilakukan
secara ajaib oleh Allah. Tampak bahwa umat Israel berpegang teguh akan
kepercayaan akan janji penyelamatan itu seperti dalam kisah keluarnya umat
Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Melalui
Musa hambaNya, Allah memberikan kesepuluh hukum untuk mengatur hubungan
mereka dengan Allan dan juga dengan sesama manusia. Hukum itu diberikan Allah
agar bangsa Israel, dengan memegang teguh hukum tersebut, mereka dapat
senantiasa membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan Allah. Salah satu
komunikasi yang terjalin antara bangsa Israel dengan Allah adalah berkaitan
dengan kepercayaan bangsa Israel akan karya keselamatan Allah, yang terungkap
dalam sebuah nazar.
Pada zaman para Hakim, setiap orang berbuat apa yang benar
menurut pandangannya sendiri ketika tidak ada raja yang memerintah (bdk. Hak.
17:6). Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat budaya bangsa setempat
(Kanaan), akan kepercayaan terhadap dewa-dewa, salah satunya adalah dewa
kesuburan. Sebelum bangsa Israel menempati Kanaan, mereka adalah bangsa
pengembara yang hidup secara nomaden, dan sebagian besar mata pencahariannya
adalah sebagai gembala. Ketika mereka masuk dan menempati Kanaan, mereka
menemukan situasi yang berbeda, dan mau tidak mau mereka juga harus
mengusahakan ‘tanah’ yang telah mereka rebut itu menjadi milik mereka. Dalam
mengusahakan tanah yang sekarang telah mereka miliki, tampaknya mereka belajar
dari cara mengusahakan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Kanaan, sebab
mereka tidak memusnahkan atau mengusir keluar orang-orang Kanaan. Situasi
tersebut dapat dengan mudah digunakan oleh orang-orang Kanaan untuk
mempengaruhi moralitas dan kepercayaan bangsa Israel, dengan memperkenalkan
pengaruh kuat kesuburan serta keberhasilan bercocok tanam adalah berkat dari
dewa kesuburan. Sehingga ketika di Israel tidak ada hakim, mereka dapat dengan
mudah tergoda untuk mengikuti apa yang dilakukan orang-orang Kanaan dan juga
pandangan mereka sendiri, bukan apa yang baik di hadapan Allah.
C. Struktur
Perikop ini
dibagi dalam beberapa bagian, antara lain;
a. 11:29-31: Mengisahkan tentang Roh Tuhan
yang turun atas Yefta dan kemudian dia bernazar; apabila dia memenangkan
pertempuran melawan orang-orang Amon, maka apa yang keluar dari rumahnya untuk
menyambutnya pertama kali, ia akan mengurbankannya sebagai kurban persembahan
kepada Allah.
b. 11:32-33 : Dalam bagian ini dikisahkan
Yefta yang kemudian berjalan terus untuk berperang melawan bani Amon, dan Tuhan
menyerahkan mereka ke dalam tangannya. Ia menimbulkan kekalahan yang amat besar
di antara mereka, mulai dari Aroër sampai dekat Minit -- dua puluh kota
banyaknya -- dan sampai ke Abel-Keramim, sehingga bani Amon itu ditundukkan di
depan orang Israel. Tuhan menyerahkan orang-orang Amon ke tangan Yefta, sebagai
kepenuhan nazar yang dilakukannya pada Tuhan.
c. 11:34-40 : Dalam bagian ini Pengarang
menampilkan kembali seperti pada setting awal yang secara khusus pada
kisah awal nazar Yefta pada awal ayat 34; “Ketika Yefta pulang ke Mizpa ke
rumahnya…” yang keluar dari rumahnya dan menyambutnya atas kemenangan
itu adalah puterinya sendiri. Ia harus berbuat seperti apa yang telah
dinazarkannya. Puteri Yefta sepertinya telah mengetahui apa yang dinazarkannya,
dan dia pun bersedia dipersembahkan kepada Tuhan, ayat 36; “Maka perbuatlah
kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu…”.
D. Yefta dan Bangsa Israel
Dia
adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa, tetapi ia anak seorang perempuan
sundal; ayah Yefta ialah Gilead. Juga isteri Gilead melahirkan anak-anak lelaki
baginya. Setelah besar anak-anak isterinya ini, maka mereka mengusir Yefta,
katanya kepadanya: "Engkau tidak mendapat milik pusaka dalam keluarga
kami, sebab engkau anak dari perempuan lain." (bdk. Hak. 11:1-2). Sebagai putera seorang pelacur kafir dengan
Gilead yang pada waktu itu belum mempunyai anak, Yefta merasa hak warisnya
diputuskan secara melawan hukum oleh adik-adiknya, yaitu para putera Gilead
yang sah, dan kemudian ia lari ke negeri Tob. Pada saat bangsa Israel terdesak, mereka memanggil Yefta untuk
memimpin mereka memerangi bani Amon. Saat hendak berperang, Yefta bernazar
kepada Tuhan dengan mengatakan; "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan
bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk
menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan
menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban
bakaran." (bdk.Hak. 11: 30-31)
Nazar dalam
Perjanjian Lama
Istilah nazar
dalam pemikiran bangsa Semitik, mungkin berasal dari nama suatu dewa. Jika
memang benar demikian, hal tersebut mengilustrasikan nama Allah yang selalu
disebut dalam Alkitab, serta memberikan tafsiran baru seperti pada Yeremia 32:35. Dalam kitab Yeremia,
indikasi nazar adalah persembahan sebagai penggenapan atas suatu nazar. Nazar dapat berupa kehendak
melaksanakan suatu tindakan (bdk. Kej. 28:20) atau menjaukan diri dari tindakan
(Mzm. 132:2), untuk memperoleh belaskasihan Allah (Bil. 21:1-3). Suatu Nazar,
ikatan kekudusnnya sama dengan sutu sumpah (Ul. 23:21-23). Apa yang sudah
menjadi milik Allah, misalnya anak sulung, buah bungaran, persepuluhan (bdk.
Im. 27:26) adalah suatu kekejian bagi Allah (Ul. 33:18) dan tidak boleh
dinazarkan atau dikuduskan bagi Allah. Namun karena Anak sulung dapat ditebus
(bdk. Im. 27; Bil. 3:44) maka wajar apabila Hana memberikan Samuel kepada
Yahweh sebagai pemenuhan nazar, namun bukan sebagai kurban bakaran bagi
Allah.
Nazar ditujukan
sebagai hasrat manusia untuk memberikan yang terbaik kepada Allah sebagai
ekspresi dan ungkapan syukur atas kebaikan yang telah diterima dari Allah atau
sesuatu yang berharga untuk membuktikan kesetiaan kepada Allah dengan cara
berpantang atau menahan hasrat yang berorientasi pada diri sendiri dan
menyesuaikannya dengan kehendak Allah.
Nazar bukanlah
janji biasa, sebab nazar dicapkan di hadapan Tuhan. Seseorang yang mengucapkan
nazar tidak pernah dipaksa oleh 0rang lain untuk mengucapkannnya karena suatu hal. Nazar diucapkan oleh
seseorang atas kemauannya sendiri, dan nazar itu mengikat dirinya sebab ia tak
dapat menarik kembali nazar yang telah ia ucapkan di hadapan Allah. Apapun
resiko yang harus diambil, nazar haruslah diepati. Setiap orang haruslah membayar
nazarnya kepada Tuhan. Namun apabila ia tidak sanggup membayarnya karena
terlalu miskin, maka ia harus dihadapkan kepada Imam untuk dinilai, sesuai
dengan kemampuan orang yang melakukan nazar tersebut (bdk. Imamat 27:8).
Nazar Yefta dan Kematian Puterinya
Berkat Roh
Tuhan, yang hinggap pada yefta, ia berhasil mengalahkan dua puluh kota,
sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan bangsa Israel (bdk. 11:33). Sunguh
pencapaian yang sangat luar biasa, dua puluh kota dapat ditundukkannya. Namun
kisah Yefta bukanlah sekedar kisah bangsa Israel yang dipimpin Yefta untuk maju
berperang. Sebab kisah penaklukkan orang-orang Amori, pengarang tidak
mencatat secara terperinci kisah penaklukkan yang dipimpin oleh Yefta. Sudut
pandang yang tampak menonjol adalah penyertaan Allah dalam rohNya yang turun
atas Yefta dan sebelum berperang, Yefta sempat mengucapkan nazar kepada
Tuhan. Israel kalah dalam peperangan melawan bani Amon. Ia juga
Yefta telah
mengetahui bahwa bangsa tahu bahwa peperangan yang menyebabkan kekalahan bangsa
Israel tentunya akan melenyapkan garis keturunan bangsa Israel di muka bumi
ini. Sehingga dia disiapkan untuk ‘membeli’ kemenangan dengan harga yang sangat
tinggi yang harus dia bayar. Secara diam-diam, (pada ayat 35) dia harus
mewujudkan kemungkinan terbesar, yakni puterinya sendiri yang akan
menyambutnya pada saat dia pulang dari peperangan.
H. Iman dalam Totalitas Persembahan
Oleh sebab itu
Yefta beranggapan bahwa Tuhan menginginkan puterinya sebagai kurban
persembahan. Meskipun kurban manusia bukanlah suatu hal yang biasa dilakukan
orang-orang Israel pada masa itu. Peristiwa ini pun merupakan peristiwa
yang sangat tidak biasa, bahkan peristiwa satu-satunya yang terdapat dalam
Perjanjian Lama. Yefta melakukan
pengurbanan manusia. Namun dalam Ibrani 11:32, Yefta justru dianggap sebagai
pahlawan iman. “…yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-
kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa
yang
dijanjikan,
menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat”. Para pahlawan Kitab
Suci memang bukanlah orang-orang yang sempurna dalam berbagai hal, melainkan
dalam kelemahannya ia pun dapat melakukan perbuatan amoral, seperti Daud (bdk.
2 Sam 11) dan sekalipun itu membunuh puterinya sendiri sama halnya dengan apa
yang dilakukan Yefta.
Sampai saat
ini Allah tetap setia kepada manusia, kendatipun kita berdosa dan ia akan
membebaskan kita dari perbudakan dosa. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia
adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan
menyucikan kita dari segala kejahatan. (bdk. I Yoh 1:9)Allah tetap dengan setia
memperhatikan kita hamba-hambaNya. Pemazmur mengungkapkan kesetiaan Tuhan
dengan; Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak
seperti langit(bdk. Mz. 89:3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar