Allah Mengasihi
Segenap Bangsa
Perbedaan antara melayani Tuhan dan melayani diri sendiri sangatlah
tipis. Kita bisa saja memakai alasan melayani Tuhan, tetapi sebenarnya kita
tengah melayani kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Salah satu cara untuk
menguji hal tersebut adalah dengan melihat respons yang kita berikan tatkala
pelayanan kita tidak dihargai oleh orang lain, atau tatkala pendapat dan
keinginan kita dalam pelayanan tidak diterima. Apabila respons kita adalah
marah, bahkan sampai mengundurkan diri dari pelayanan, itu berarti kita tidak
sedang melayani Tuhan tetapi melayani diri sendiri.
Yunus adalah Nabi yang marah tatkala melihat bahwa apa yang Tuhan
lakukan ternyata tidak sesuai dengan keinginan dirinya (ayat 1). Yunus kecewa
ketika Tuhan mau mengampuni Niniwe, musuh besar bangsa Israel ketika itu. Yunus
sedih setelah berhasil menjadi hamba yang melakukan pertobatan besar. Dia
dipenuhi kemarahan yang tidak dapat hilang. Akan tetapi, Tuhan tidak membiarkan
Yunus terus menerus larut dalam kemarahannya. Muatan kisah dalam kitab
Yunus ini memberikan pengajaran tentang bahwa Allah untuk semua bangsa, dia
tidak terikat oleh apapapun dan tidak terbelenggu oleh sebuah pemikiran manusia
yang sempit. Allah berkuasa mutlak atas ciptaanya dan mahapenyayang serta
mahapengampun.
Suasana hati
Yunus digambarkan dengan sebutan “Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus…
“ Kata mengesalkan di sini berarti “melihat sebagai kejahatan”. Yunus
sebenarnya memandang penyelamatan Allah terhadap Niniwe adalah salah! “… lalu
marahlah ia.” Kata marah berarti “membakar”. Allah dengan penuh kasih telah
reda dari murka-Nya, tetapi kemarahan Yunus kepada Allah menjadi tak
terbendung. Mengapa dia marah ? Karena penghakiman telah dihapuskan, dan itu
adalah penghakiman yang Yunus begitu ingin saksikan terjadi! Yunus telah
melakukan apa yang Allah ingin dia lakukan – untuk pergi dan memberitakan –
tetapi Allah tidak melakukan apa yang Yunus inginkan – untuk menghancurkan
Niniwe. Yunus begitu marah pada Allah karena memberikan belas kasihan dan dia
merasa dikhianati karena Dia telah mengampuni Niniwe yang dibenci. Dalam
doanya, Yusnus membela dirinya bahwa dialah yang benar. Pembrontakannya dulu
melarikan diri dari panggila Tuhan adalah satu usaha untuk tidak terlibat pada
tindakan Allah yang tidak konsisten. Yunus menyesali kenyataan bahwa Allah
adalah : pengasih, penyayang, penyabar, berlimpah kasih setia dan yang menyesal
karena malapetaka. Yunus begitu pahit hati dan marah pada Allah sehingga dia
hanya ingin mati, Dia menolak untuk menerima kehendak Allah karena kebencian
dirinya kepada orang Niniwe. Kehendak pribadinya mencengkeram pikirannya begitu
kuat.
Allah
menantang Yunus dengan mengatakan : "Layakkah
engkau marah?" Allah tidak akan membiarkan persoalan ini tidak
terselesaikan, jadi Dia menantang Yunus tentang kemarahannya . Yunus dalam
kemarahnnya hanya peduli pada dirinya sendiri. Dia kemudian membuat sebuah
naungan dimana dia dapat duduk dan melihat kota. Keegoisannya yang menyedihkan
itu telah membuatnya menjadi orang yang tertutup dan pahit hati dan tanpa
perubahan hati. Ia mendririkan sebuah pohon jarak. Pohon ini tumbuhan yang
tumbuh dengan cepat dengan daun yang lebar. Pertumbuhan pohon itu mengakibatkan
untuk pertama kalinya dalam keseluruhan kisah, Yunus “sangat bersukacita”.
Tetapi ini hanya karena dia mendapat keuntungan dari pohon tersebut.
Dalam suasana
hati yang bersuka cita Allah menunjukkan dua karakteristik yang berlawanan dari
sifat Allah – kemampuan-Nya untuk menyelamatkan dan menghancurkan. Tujuan dari
ulat tersebut adalah untuk menghancurkan tumbuhan itu sehingga Yunus sekali
lagi dapat terlihat. Segera sesudah matahari terbit, maka atas penentuan Allah
bertiuplah angin timur yang panas terik (ay. 8a) Allah dengan supernatural
menyingkirkan tempat persembunyian Yunus. Tetapi tragisnya, Yunus masih melihat
kematian sebagai pilihannya dibanding menyerahkan diri pada Allah.Yunus masih belum mengerti. Di situ dia
duduk, dibawah dahan yang kering, tidak bersemangat, pahit, penuh dendam –
sebuah potret tragis dalam mengasihani diri sendiri. Dia masih membela dirinya
sendiri dan tidak menghargai hidup lagi. Dia melihat sangat tidak masuk akal
bagi tindakan Allah terhadap Niniwe atau terhadap tumbuhan tersebut, sehingga
dia memutuskan bahwa jika Allah hendak bertindak dengan cara ini, dia pun lebih
baik mati.
Lalu Allah berfirman: "Engkau sayang kepada pohon
jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak
engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam
pula. Allah menaruh kelakuan Yunus dalam perspektif : Dia mengasihi sebuah
tanaman yang tidak berharga, tetapi membenci kehidupan manusia dan hidup yang
kekal. Dia menunjukkan belas kasihan buat satu elemen kecil dari ciptaan Allah
tetapi tidak mempunyai kasih buat seluruh kota yang sedang berhadapan dengan
penghakiman kekal.
Yunus butuh untuk melihat bahwa belas kasihan buat sebuah tanaman adalah
tidak ada harganya, tetapi belas kasihan buat sebuah kota dengan lebih dari
120,000 anak-anak kecil memiliki nilai yang abadi. Jika Yunus tidak dapat
mengasihani penduduk kota tersebut, pastilah dia dapat mengasihani anak-anak
kecil dan ternaknya – yang minimal dapat terlihat tidak berdosa sama seperti
tumbuhan tersebut! Di tengah pertobatan ini, Yunus masih kehilangan kebesaran
dari kasih dan karunia Allah
Kita
terpanggil untukmempertajam pelayanan kita apakah itu untuk kepentingan jemaat
atau hanya kepentingan diri kita sendiri. Kemampuan merobah sudut pandang yang
hanya mementunkan diri sendiri akan member pelayanan yang terbuka pada
perubahan yang lebih baik. Amin
Perspektif Allah dan perspektif manusia sangat berbeda :
1.
Yunus, seperti juga kita
semua,
seringkali buta terhadap diri sendiri. Yunus lupa bahwa Tuhan telah berbelas
kasihan kepadanya dan bahwa ia dan orang-orang Niniwe adalah manusia yang tidak
taat pada Tuhan. Anehnya, Yunus melihat bahwa hanya dia, bukan Niniwe, yang
layak diselamatkan. Pandangan ini menyebabkan Yunus marah ketika melihat Tuhan
mengampuni orang Niniwe. Bagi Yunus, misi sebenarnya adalah memproklamasikan
peringatan Tuhan dan menyaksikan-Nya menghancurkan bangsa Asyur yang jahat itu.
2.
Yunus tidak bisa menerima
kenyataan
jika karakter Tuhan yang baik juga dinikmati oleh bangsa yang jahat. Tuhan
mengerti kondisi hati Yunus. Karena itu, untuk membuat Yunus mengerti hati-Nya,
Ia membandingkan kasih-Nya kepada Niniwe dengan kasih Yunus kepada pohon jarak
yang menaunginya. Kalau Yunus bisa begitu mengasihi pohon yang tidak ditanamnya
dan hanya dekat dengannya selama satu malam, apalagi Tuhan terhadap 120.000
orang Niniwe.
3.
Kadang-kadang kita sering
membentuk
Allah seperti konsep pikir manusia. Jika manusia berbuat baik hanya kepada
orang yang baik padanya, maka ‘harusnya’ Allah juga hanya peduli dan
memperhatikan orang yang setia dan baik pada Allah. Konsep pikir kita membuat
kita gagal memahami eksistensi Allah. Kita mengenal Allah, kita bekerja untuk
Allah, kita hidup di rumah Allah tapi kita oleh pikiran kita menjadi tidak
mengenal Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih, di mana kasihNya melampaui
dosa manusia, sehingga memberi AnakNya yang tunggal untuk manusia, supaya
manusia berdosa bisa beroleh keselamatan, tidak binasa melainkan beroleh hidup
yang kekal (Yoh 3: 16-21).
4.
Maunya Yunus dapat
menyaksikan
Allah menghukum bangsa yang jahat itu, menunggangbalikkan kota Niniwe. Dia
ingin melihat bagaimana penderitaan akan dialami orang yang tidak patuh pada
Tuhan, sebagaimana yang diberitakannya. Ketika Allah melakukan sebaliknya,
mengampuni bangsa itu, amarahnya bangkit. Dia bahkan ingin mati, tidak mau
melihat kebaikan Allah menyelamatkan bangsa itu. Dia kesal pada Allah karena
dia telah melakukan apa yang diperintahkan Tuhan untuk dia lakukan yaitu untuk
memberitakan hukuman Allah. Pemberitaan itu telah mengubah hati orang Niniwe,
mereka telah bertobat (Yunus 3, 5-6). Sebaliknya, Yunus yang bercokol pada
dendamnya, sehingga terjadi perbantahan antara Allah dan Yunus, karena Yunus
merasa Allah tidak melakukan apa yang diinginkan oleh Yunus.
5.
‘Layakkah
engkau marah’. Itu pertanyaan Allah pada Yunus. Saat Allah menumbuhkan pohon
jarak untuk tempatnya berteduh, tetapi dalam semalam, pohon itu layu karena
digerek ulat, Yunus merasa layak marah, sehingga Tuhan berkata: pohon saja yang
hanya semalam tumbuh dan layu, yang untuknya Yunus tidak berbuat apa-apa bisa
dia kasihi, apalagi manusia, bukankah manusia lebih layak dikasihi? Dalam hidup
materialisme, manusia sering lebih mengasihi hartanya dari nyawanya, lebih
menghargai harta benda dari hidup manusia itu sendiri, sehingga muncullah sikap
yang berbeda dalam memandang sesamanya.
6.
Di sinilah letak perbedaan
cara pandang
manusia dengan Allah. Manusia lebih memberhalakan benda, tapi Allah adalah
Allah yang pro-kehidupan. Harta tidak pernah lebih berharga dari hidup manusia.
Maka Allah akan memilih mengampuni daripada memusnahkan. Meskipun kita melihat
kadang-kadang Allah seperti tidak konsisten pada keputusan-keputusannya, tetapi
Dia selalu konsisten akan Cinta kasihNya pada manusia, sesuai dengan
eksistensiNya sebagai Allah pengasih. Walaupun pada awalnya Yunus diutus ke
Niniwe untuk memberitakan penghukuman, tapi kekonsistenanNya dalam kasih
membuat langkah awal berubah menjadi pengampunan.
7.
Kasih Allah tidak terbatas, tidak berkesudahan dan
tidak pilih kasih. Meskipun kita ingin lebih diutamakan
Tuhan dan membatasi kasihNya kalau boleh menghukum orang yang berbuat jahat
pada kita, tapi Allah kasih tidak dapat dimonopoli. Kalau sebelumnya Israel
melihat Allah, sebagai Allah mereka, dan mereka adalah bangsa Allah, kitab
Yunus membuka tabir keuniversalan Allah, bahwa Allah terbuka secara luas bagi
semua orang, bahkan kepada orang yang tidak tahu membedakan tangan kanan dari
tangan kirinya sekalipun.
8.
Kecemburuan, egoisme dan sombong diri membuat
kita lebih hebat dari Allah, sehingga keputusan Allahpun harus sesuai dengan
keinginan kita. Maunya, Allah menyesuaikan kehendakNya ke dalam kehendak kita,
bukan kita yang menyesuaikan kehendak kita ke dalam kehendak Allah. Ibarat kita
menjahit baju, kita ingin tangan kita yang dipotong dan dibawa ke tukang jahit
untuk mengukur panjang lengan, walau yang benar, meter yang harus dibawa tukang
jahit untuk mengukur panjang lengan kita.
Manusia
membatasi Allah seukuran dengan pikiranya. Sudut pandang yang berbeda inilah
menjadikan kita lebih mencintai pohon jarak dari hidup manusia. Maka sebagai
umat pilihan, mari kita menunjukkan kepedulian kita bagi semua orang (Luk 4,
18-19), menjadi umat yang pro-kehidupan. Amin. Pdt. RH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar