Selasa, 03 April 2018

Khotbah Minggu 25 Februari 2018 Yunus 4: 1-11


 Allah Mengasihi Segenap Bangsa

Perbedaan antara melayani Tuhan dan melayani diri sendiri sangatlah tipis. Kita bisa saja memakai alasan melayani Tuhan, tetapi sebenarnya kita tengah melayani kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Salah satu cara untuk menguji hal tersebut adalah dengan melihat respons yang kita berikan tatkala pelayanan kita tidak dihargai oleh orang lain, atau tatkala pendapat dan keinginan kita dalam pelayanan tidak diterima. Apabila respons kita adalah marah, bahkan sampai mengundurkan diri dari pelayanan, itu berarti kita tidak sedang melayani Tuhan tetapi melayani diri sendiri. 
Yunus adalah Nabi yang marah tatkala melihat bahwa apa yang Tuhan lakukan ternyata tidak sesuai dengan keinginan dirinya (ayat 1). Yunus kecewa ketika Tuhan mau mengampuni Niniwe, musuh besar bangsa Israel ketika itu. Yunus sedih setelah berhasil menjadi hamba yang melakukan pertobatan besar. Dia dipenuhi kemarahan yang tidak dapat hilang. Akan tetapi, Tuhan tidak membiarkan Yunus terus menerus larut dalam kemarahannya. Muatan kisah dalam kitab Yunus ini memberikan pengajaran tentang bahwa Allah untuk semua bangsa, dia tidak terikat oleh apapapun dan tidak terbelenggu oleh sebuah pemikiran manusia yang sempit. Allah berkuasa mutlak atas ciptaanya dan mahapenyayang serta mahapengampun.
Suasana hati Yunus digambarkan dengan sebutan “Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus… “ Kata mengesalkan di sini berarti “melihat sebagai kejahatan”. Yunus sebenarnya memandang penyelamatan Allah terhadap Niniwe adalah salah! “… lalu marahlah ia.” Kata marah berarti “membakar”. Allah dengan penuh kasih telah reda dari murka-Nya, tetapi kemarahan Yunus kepada Allah menjadi tak terbendung. Mengapa dia marah ? Karena penghakiman telah dihapuskan, dan itu adalah penghakiman yang Yunus begitu ingin saksikan terjadi! Yunus telah melakukan apa yang Allah ingin dia lakukan – untuk pergi dan memberitakan – tetapi Allah tidak melakukan apa yang Yunus inginkan – untuk menghancurkan Niniwe. Yunus begitu marah pada Allah karena memberikan belas kasihan dan dia merasa dikhianati karena Dia telah mengampuni Niniwe yang dibenci. Dalam doanya, Yusnus membela dirinya bahwa dialah yang benar. Pembrontakannya dulu melarikan diri dari panggila Tuhan adalah satu usaha untuk tidak terlibat pada tindakan Allah yang tidak konsisten. Yunus menyesali kenyataan bahwa Allah adalah : pengasih, penyayang, penyabar, berlimpah kasih setia dan yang menyesal karena malapetaka. Yunus begitu pahit hati dan marah pada Allah sehingga dia hanya ingin mati, Dia menolak untuk menerima kehendak Allah karena kebencian dirinya kepada orang Niniwe. Kehendak pribadinya mencengkeram pikirannya begitu kuat.
Allah menantang Yunus dengan mengatakan : "Layakkah engkau marah?" Allah tidak akan membiarkan persoalan ini tidak terselesaikan, jadi Dia menantang Yunus tentang kemarahannya . Yunus dalam kemarahnnya hanya peduli pada dirinya sendiri. Dia kemudian membuat sebuah naungan dimana dia dapat duduk dan melihat kota. Keegoisannya yang menyedihkan itu telah membuatnya menjadi orang yang tertutup dan pahit hati dan tanpa perubahan hati. Ia mendririkan sebuah pohon jarak. Pohon ini tumbuhan yang tumbuh dengan cepat dengan daun yang lebar. Pertumbuhan pohon itu mengakibatkan untuk pertama kalinya dalam keseluruhan kisah, Yunus “sangat bersukacita”. Tetapi ini hanya karena dia mendapat keuntungan dari pohon tersebut.
Dalam suasana hati yang bersuka cita Allah menunjukkan dua karakteristik yang berlawanan dari sifat Allah – kemampuan-Nya untuk menyelamatkan dan menghancurkan. Tujuan dari ulat tersebut adalah untuk menghancurkan tumbuhan itu sehingga Yunus sekali lagi dapat terlihat. Segera sesudah matahari terbit, maka atas penentuan Allah bertiuplah angin timur yang panas terik (ay. 8a) Allah dengan supernatural menyingkirkan tempat persembunyian Yunus. Tetapi tragisnya, Yunus masih melihat kematian sebagai pilihannya dibanding menyerahkan diri pada Allah.Yunus masih belum mengerti. Di situ dia duduk, dibawah dahan yang kering, tidak bersemangat, pahit, penuh dendam – sebuah potret tragis dalam mengasihani diri sendiri. Dia masih membela dirinya sendiri dan tidak menghargai hidup lagi. Dia melihat sangat tidak masuk akal bagi tindakan Allah terhadap Niniwe atau terhadap tumbuhan tersebut, sehingga dia memutuskan bahwa jika Allah hendak bertindak dengan cara ini, dia pun lebih baik mati.
Lalu Allah berfirman: "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Allah menaruh kelakuan Yunus dalam perspektif : Dia mengasihi sebuah tanaman yang tidak berharga, tetapi membenci kehidupan manusia dan hidup yang kekal. Dia menunjukkan belas kasihan buat satu elemen kecil dari ciptaan Allah tetapi tidak mempunyai kasih buat seluruh kota yang sedang berhadapan dengan penghakiman kekal.
Yunus butuh untuk melihat bahwa belas kasihan buat sebuah tanaman adalah tidak ada harganya, tetapi belas kasihan buat sebuah kota dengan lebih dari 120,000 anak-anak kecil memiliki nilai yang abadi. Jika Yunus tidak dapat mengasihani penduduk kota tersebut, pastilah dia dapat mengasihani anak-anak kecil dan ternaknya – yang minimal dapat terlihat tidak berdosa sama seperti tumbuhan tersebut! Di tengah pertobatan ini, Yunus masih kehilangan kebesaran dari kasih dan karunia Allah
Kita terpanggil untukmempertajam pelayanan kita apakah itu untuk kepentingan jemaat atau hanya kepentingan diri kita sendiri. Kemampuan merobah sudut pandang yang hanya mementunkan diri sendiri akan member pelayanan yang terbuka pada perubahan yang lebih baik. Amin
Perspektif Allah dan perspektif manusia sangat berbeda :
1.    Yunus, seperti juga kita semua, seringkali buta terhadap diri sendiri. Yunus lupa bahwa Tuhan telah berbelas kasihan kepadanya dan bahwa ia dan orang-orang Niniwe adalah manusia yang tidak taat pada Tuhan. Anehnya, Yunus melihat bahwa hanya dia, bukan Niniwe, yang layak diselamatkan. Pandangan ini menyebabkan Yunus marah ketika melihat Tuhan mengampuni orang Niniwe. Bagi Yunus, misi sebenarnya adalah memproklamasikan peringatan Tuhan dan menyaksikan-Nya menghancurkan bangsa Asyur yang jahat itu.
2.    Yunus tidak bisa menerima kenyataan jika karakter Tuhan yang baik juga dinikmati oleh bangsa yang jahat. Tuhan mengerti kondisi hati Yunus. Karena itu, untuk membuat Yunus mengerti hati-Nya, Ia membandingkan kasih-Nya kepada Niniwe dengan kasih Yunus kepada pohon jarak yang menaunginya. Kalau Yunus bisa begitu mengasihi pohon yang tidak ditanamnya dan hanya dekat dengannya selama satu malam, apalagi Tuhan terhadap 120.000 orang Niniwe.
3.    Kadang-kadang kita sering membentuk Allah seperti konsep pikir manusia. Jika manusia berbuat baik hanya kepada orang yang baik padanya, maka ‘harusnya’ Allah juga hanya peduli dan memperhatikan orang yang setia dan baik pada Allah. Konsep pikir kita membuat kita gagal memahami eksistensi Allah. Kita mengenal Allah, kita bekerja untuk Allah, kita hidup di rumah Allah tapi kita oleh pikiran kita menjadi tidak mengenal Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih, di mana kasihNya melampaui dosa manusia, sehingga memberi AnakNya yang tunggal untuk manusia, supaya manusia berdosa bisa beroleh keselamatan, tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3: 16-21).
4.    Maunya Yunus dapat menyaksikan Allah menghukum bangsa yang jahat itu, menunggangbalikkan kota Niniwe. Dia ingin melihat bagaimana penderitaan akan dialami orang yang tidak patuh pada Tuhan, sebagaimana yang diberitakannya. Ketika Allah melakukan sebaliknya, mengampuni bangsa itu, amarahnya bangkit. Dia bahkan ingin mati, tidak mau melihat kebaikan Allah menyelamatkan bangsa itu. Dia kesal pada Allah karena dia telah melakukan apa yang diperintahkan Tuhan untuk dia lakukan yaitu untuk memberitakan hukuman Allah. Pemberitaan itu telah mengubah hati orang Niniwe, mereka telah bertobat (Yunus 3, 5-6). Sebaliknya, Yunus yang bercokol pada dendamnya, sehingga terjadi perbantahan antara Allah dan Yunus, karena Yunus merasa Allah tidak melakukan apa yang diinginkan oleh Yunus.
5.    ‘Layakkah engkau marah’. Itu pertanyaan Allah pada Yunus. Saat Allah menumbuhkan pohon jarak untuk tempatnya berteduh, tetapi dalam semalam, pohon itu layu karena digerek ulat, Yunus merasa layak marah, sehingga Tuhan berkata: pohon saja yang hanya semalam tumbuh dan layu, yang untuknya Yunus tidak berbuat apa-apa bisa dia kasihi, apalagi manusia, bukankah manusia lebih layak dikasihi? Dalam hidup materialisme, manusia sering lebih mengasihi hartanya dari nyawanya, lebih menghargai harta benda dari hidup manusia itu sendiri, sehingga muncullah sikap yang berbeda dalam memandang sesamanya.
6.    Di sinilah letak perbedaan cara pandang manusia dengan Allah. Manusia lebih memberhalakan benda, tapi Allah adalah Allah yang pro-kehidupan. Harta tidak pernah lebih berharga dari hidup manusia. Maka Allah akan memilih mengampuni daripada memusnahkan. Meskipun kita melihat kadang-kadang Allah seperti tidak konsisten pada keputusan-keputusannya, tetapi Dia selalu konsisten akan Cinta kasihNya pada manusia, sesuai dengan eksistensiNya sebagai Allah pengasih. Walaupun pada awalnya Yunus diutus ke Niniwe untuk memberitakan penghukuman, tapi kekonsistenanNya dalam kasih membuat langkah awal berubah menjadi pengampunan.
7.    Kasih Allah tidak terbatas, tidak berkesudahan dan tidak pilih kasih. Meskipun kita ingin lebih diutamakan Tuhan dan membatasi kasihNya kalau boleh menghukum orang yang berbuat jahat pada kita, tapi Allah kasih tidak dapat dimonopoli. Kalau sebelumnya Israel melihat Allah, sebagai Allah mereka, dan mereka adalah bangsa Allah, kitab Yunus membuka tabir keuniversalan Allah, bahwa Allah terbuka secara luas bagi semua orang, bahkan kepada orang yang tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kirinya sekalipun.
8.    Kecemburuan, egoisme dan sombong diri membuat kita lebih hebat dari Allah, sehingga keputusan Allahpun harus sesuai dengan keinginan kita. Maunya, Allah menyesuaikan kehendakNya ke dalam kehendak kita, bukan kita yang menyesuaikan kehendak kita ke dalam kehendak Allah. Ibarat kita menjahit baju, kita ingin tangan kita yang dipotong dan dibawa ke tukang jahit untuk mengukur panjang lengan, walau yang benar, meter yang harus dibawa tukang jahit untuk mengukur panjang lengan kita.
Manusia membatasi Allah seukuran dengan pikiranya. Sudut pandang yang berbeda inilah menjadikan kita lebih mencintai pohon jarak dari hidup manusia. Maka sebagai umat pilihan, mari kita menunjukkan kepedulian kita bagi semua orang (Luk 4, 18-19), menjadi umat yang pro-kehidupan. Amin. Pdt. RH

Tidak ada komentar: