Senin, 18 Juni 2018

Khotbah Keb. R. Tangga 19-20 Juni 2018 Kejadian 7, 10-24 ”Kasih Setia Tuhan”


Dalam Perjanjian Lama dosa dimengerti sebagai ketidaktaatan, seperti pelanggaran, pembrontakan dan perbuatan yang tidak senonoh. Umat manusia pada zaman Nuh melakukan pelanggaran dan perbuatan tidak senonoh dengan makan, minum, kawin mawin. Hal ini dipahami sebagai ketidaktaan pada perintah Allah, maka terjadilah peristiwa air bah sebagai hukuman bagi bangsa yang tidak taat tersebut.
Keangkuhan manusia adalah bentuk pertama dosa konkret, di mana manusia ingin menyamai Allah sehingga berlaku seolah-olah dia sendiri adalah Allah yang disebut sebagai ketidaktaatan atau ketidakpercayaan. Allah telah menunjukkan jalan bagi manusia, oleh karena itu manusia tidak boleh melepaskan diri demi kepentingannya sendiri, tidak boleh mencari jalan yang kabur yang penuh penipuan, kecerobohan dan keputusasaan dengan menentang anugerah yang telah diterima. Ketika manusia melalaikan anugerah dan menganggap diri mampu bertahan dengan kekuatannya sendiri, maka disitu lah Allah menyatakan diri dengan bertindak tegas atas keangkuhan manusia. Istilah yang digunakan oleh Paul Tillich manusia mengalami peralihan dari esensi ke eksistensi, yang mencakup dua elemen yaitu moralis dan tragis.
Dalam masyarakat modern manusia tidak lagi sepenuhnya dipimpin oleh ajaran alkitab mengenai ajaran tentang yang baik dan yang jahat, sehingga banyak orang menganggap dosa hanya pasir dalam roda gigi teknokrasi yang mengganggu perputaran gesekan yang mulus. Dosa dilihat sebagai suatu kesalahan struktur masyarakat yang dapat diperbaiki dan bukan suatu kuasa trans-subyektif yang dapat menghancurkan manusia.
Pemahaman tentang dosa di zaman modern membuat orang tidak takut melakukan dosa, bahkan ada yang telah menikmati dosa itu sendiri dengan berpikir seolah-olah apa yang diperbuat adalah benar. Suatu hari ada suatu kelompok yang mengadakan pertemuan di rumah salah seorang anggota kelompok. Ketika tuan rumah menyalam para tamu, salah seorang tamu tidak mau disalam dengan dengan menolak tangan si pemilik rumah, tanpa alasan yang jelas. Tamu itu tidak merasa bahwa yang dia lakukan bukan lah sebuah kesalahann karena dia telah terstruktur dengan kebiasaan masyarakat yang mencurigai dan memusuhi. Dan yang luar biasa dia boleh dengan lapah menikmati jamuan makan dari tuan rumah, tanpa sungkan sedikitpun. Itu salah satu contoh bentuk kebejatan manusia yang sudah dinikmati.
Kesalahan-kesalahan personal telah terbungkus pada sebuah pemahaman yang salah tentang dosa. Ketika secara pribadi manusia tidak memahami kekurangannya, maka dosa umat akan semakin menumpuk, pertobatan akan semakin jauh, karena semua menganggap diri benar. Itu yang disebut, melihat masa depan dengan mata bukan dengan iman. Artinya, tolok ukur untuk suatu penilaian manusia secara moral tidak lagi dilihat dari kepercayaan, melainkan hanya dari kemanusiaan. Maka masing-masing orang melihat orang lain yang salah dan dia yang benar. Sikap hidup seperti inilah yang menutup pertobatan bagi manusia.
Ketika ketidaktaatan telah menguasai kehidupan manusia pada zaman Nuh, terjadi lah air bah, untuk membumi-hanguskan semua kejahatan manusia. Menghancurkan setiap bibit yang dapat merusak eksistensi manusia sebagai ciptaan sekaligus menjaga kelestarian alam. Allah ambil bagian dalam penciptaan ulang melalui penghangusan segala virus yang merusak moral manusia. Pemeliharaan moral diwujudkan dengan cara tragis.
Maka sering muncul pertanyaan dengan berbagai kejadian bencana alam yang dialami masyarakat Indonesia, Ada yang mengatakan ya, di mana manusia semakin bobrok dalam iman, tidak perduli lingkungan dengan menebang pohon, membuang sampah sembarangan, dan tidak menjaga keutuhan ciptaan dengan penghangusan binatang liar di hutan. Artinya, bencana alam boleh sebuah tanda bagi kita untuk mau mengoreksi diri, bagaimana kita dalam perjalanan hidup dalam relasi kita dengan Tuhan, sesama dan alam. Istilah Ebiet G. Ade, mengatakan, mungkin Tuhan mulai bosan mlihat tingkah kita...
Tapi kita jangan menganggap bahwa orang lainlah bersalah, sehingga kita selamat dan orang lain menjadi korban. Bukan, Tuhan sering kali bertindak di luar pikiran kita, dan Dia melakukan semua untuk menyatakan kuasaNya, agar manusia sadar, bahwa kita bukanlah siapa-siapa, kita bukan sama dengan Allah, tapi kita adalah ciptaan yang sepenuhnya bergantung pada sang pencipta. Orang bisa berteriak minta tolong oleh bencana alam yang terjadi, tetapi mereka yang setia akan tetap berada dalam genggaman Tuhan, mereka boleh selamat, karena Tuhan menyediakan perahu bagi orang yang taat.
Hal lain yang boleh kita pahami ialah, air yang sebenarnya adalah sumber hidup, boleh menjadi alat Tuhan menghukum umat yang berdosa. Mengapa? Sejauh kita tidak melihat sumber hidup adalah pemberi hidup, maka berkat, hidup yang kita terima dapat menjadi kutuk bagi kita. Bila kita tidak taat pada Tuhan sebagai sumber hidup, maka Tuhan juga akan memberi penghukuman bagi kita. Bila kita merasa berkat Tuhan sebagai usaha kita sendiri, dan kita melupakan sumber berkat itu, maka berkat itu dapat membunuh hidup kita. Air adalah satu sumber hidup manusia, tetapi air itu sendiri yang menghanguskan umat yang tidak taat dalam peristiwa air bah ini.
Tuhan sangat sabar menanti kita berubah, dia tidak menginginkan kehancuran ciptaanNya, sehingga Dia mengutus orang pilihan masuk ke perahu Nuh, membuat binatang liar dan ternak berpasang-pasang mewakili ciptaanNya ikut masuk ke perahu Nuh. Nuh bersama istri dan ketiga anaknya dan istri mereka masuk pada ruang anugerah Tuhan. Ketaatan mereka membuahkan kehidupan.
Allah yang maha kasih adalah yang sama dari kemarin, kini dan masa yang akan datang (Maleaki 3,6). Dia sabar menanti pertobatan kita dan Dia tidak memperlambat janjiNya untuk mewujudkan cinta bagi orang yang mau meninggalkan kejahatanNya dan masuk pada ruang anugerah yang disediakan Tuhan bagi mereka yang taat (2 Petrus 3,3-10). Kiranya Kasih setia Tuhan menuntun kita masuk pada ruang yang sudah Tuhan sediakan bagi kita, selamat menikmati anugerah kebaikan Tuhan. Amin.


Tidak ada komentar: