Kamis, 17 Agustus 2017

Peduli (Empati) Perempuan yg Peka terhadap isu2 sosial Masyaraat


Matius 25:31-46

Terlalu sering kita mendengar panggilan untuk melayani Tuhan dan melayani sesama. Materi tersebut tidak pernah habis-habisnya untuk dibahas, dikemukakan, dan dimaknai secara baru. Karena memang melayani Tuhan dan melayani sesama merupakan panggilan yang begitu esensial dalam kehidupan umat percaya. Bukan hanya dalam kehidupan jemaat, namun dalam kehidupan sehari-hari istilah “melayani” telah menjadi ukuran mutu dan profesionalisme suatu bidang pekerjaan. Semakin seseorang atau lembaga apapun yang mampu melaksanakan pelayanan, maka semakin berkualitas, terpercaya, dan dihargai oleh banyak orang. Karena itu di setiap bank, kantor-kantor pemerintah/swasta, perusahaan-perusahaan, dan industri berlomba-lomba mengedepankan mutu suatu pelayanan kepada masyarakat. Namun ironisnya, dalam kehidupan gereja justru semakin jarang umat mau berlomba-lomba meningkatkan mutu pelayanan. Sebab setiap orang berpikir dan mengharap, “kapan saya mendapat pelayanan.” Namun jarang di antara umat yang berpikir dan memiliki komitmen, “kapan saya memberi pelayanan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama.” Kita tidak dapat membayangkan seandainya setiap umat memiliki beban dan tanggungjawab untuk saling melayani, dan mengembangkan pelayanan tersebut kepada masyarakat dalam lingkup yang lebih luas, pastilah dampak kehadiran gereja akan menjadi signifikan sebagai garam dan terang dunia.
Urgensi pentingnya pelayanan kepada sesama dalam perikop Injil Matius 25:31-46 ditempatkan dalam konteks pengadilan zaman akhir. Pentingnya pelayanan bukan karena mampu menghasilkan keuntungan/profit, namun pelayanan kepada sesama menentukan keselamatan dan hidup kekal. Dalam hal ini kita dapat melihat pentingnya pelayanan kepada sesama dalam konteks pengadilan zaman akhir, yaitu di Matius 25:40, dan Matius 25:31. Di Matius 25:40, setiap umat akan diadili Kristus berdasarkan segala sesuatu yang kamu lakukan kepada sesama, dan di Matius 25:31, mempersaksikan Kristus selaku Raja akan datang dalam kemuliaan bersama para malaikat-Nya untuk mengadili setiap orang seperti gembala yang memisahkan domba dari kambing. Dengan perkataan lain, selaku Raja, Kristus akan menjadi Hakim yang memisahkan manusia dalam kelompok “kambing” atau “domba” berdasarkan perilaku mereka terhadap sesama khususnya sesama yang lemah dan tertindas.
Pada umumnya dunia mengembangkan profesionalisme pelayanan kepada masyarakat dalam rangka bisnis dan sikap humanisme. Namun dalam kesaksian Injil Matius 25:31-46, makna dan hakikat pelayanan kepada sesama ditempatkan lebih mendalam. Sebab perlakuan kita kepada sesama pada hakikatnya kita lakukan kepada Kristus. Apabila kita mengasihi, mempedulikan, menghargai, dan menolong setiap orang pada hakikatnya kita melakukannya kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya bila kita berbuat jahat, berlaku sewenang-wenang, mempraktikkan ketidakadilan, menindas, merusak nama baik seseorang, dan mengeksploitasi sesama untuk keuntungan diri sendiri pada hakikatnya kita memperlakukan kepada Tuhan Yesus. Sesama manusia bukan sekedar “orang-orang di sekitar” kita, namun sesama adalah manifestasi dari wajah Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu tidaklah mengherankan jika filsuf Emmanuel Levinas memahami sesama sebagai peristiwa epifani (penampakan Tuhan). Dalam bukunya yang berjudul Totality and Infinity (1979), Levinas menggunakan istilah “wajah” (visage). Makna “wajah” yang dimaksud oleh Levinas bukanlah secara harafiah seperti seseorang yang memiliki kepala yang terdiri dari mata, hidung, mulut, dagu, pipi, dan sebagainya. Makna “wajah” dalam filsafat Levinas dipakai untuk menunjuk pada situasi orang lain muncul di hadapan kita. Kita berhadapan muka dengan muka dengan orang lain. Orang lain dengan wajahnya itu menyapa kita baik dengan ataupun tanpa kata. Wajah orang lain tersebut dipahami Levinas sebagai suatu “epifani” (penampakan), yaitu peristiwa penampakan wajah melalui peristiwa munculnya ‘orang lain’ di hadapan ‘aku’ (fenomena), serta penglihatan sebagai sarana untuk menangkap ‘orang lain’ yang muncul di hadapan ‘aku’ (Levinas 1979, 194-195). Karena itu tanggungjawab setiap orang adalah menghormati dan saling membagi ruang.
Memberitakan Injil berarti kita menghormati, peduli, dan mengasihi sesama dalam konteks hidupnya. Injil Kristus sebagai kabar baik harus menjadi suatu kabar yang meneguhkan harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itu kita selaku gereja menolak dengan tegas setiap sikap/tindakan yang melecehkan orang lain, penindasan dalam bentuk apapun, kekerasan fisik atau mental, sikap pengabaian kepada orang yang menderita, dan eksploitasi manusia dalam berbagai sistem. Tugas memberitakan Injil berarti kita membuka setiap sekat dan belenggu, sehingga tercipta suatu ruang kasih yang berbela-rasa. Karena itu kita wajib memperlakukan setiap orang sebagai sahabat-sahabat Kristus. Jika demikian, apakah kita telah meneladan Kristus yang menjadi sahabat bagi sesama, sehingga kita terpanggil menabur kasih Allah, dan memberitakan Injil Kristus kepada dunia?


Tidak ada komentar: