Matius 25:31-46
Terlalu sering
kita mendengar
panggilan untuk melayani Tuhan dan melayani sesama. Materi tersebut tidak
pernah habis-habisnya untuk dibahas, dikemukakan, dan dimaknai secara baru. Karena memang melayani Tuhan dan
melayani sesama merupakan panggilan yang begitu esensial dalam kehidupan umat percaya. Bukan hanya dalam kehidupan
jemaat, namun dalam kehidupan sehari-hari istilah “melayani” telah menjadi ukuran
mutu dan profesionalisme suatu
bidang pekerjaan. Semakin seseorang atau lembaga apapun yang mampu melaksanakan
pelayanan, maka semakin berkualitas,
terpercaya, dan dihargai oleh banyak orang. Karena itu di setiap bank,
kantor-kantor pemerintah/swasta, perusahaan-perusahaan, dan industri
berlomba-lomba mengedepankan mutu suatu
pelayanan kepada masyarakat. Namun ironisnya, dalam kehidupan gereja justru
semakin jarang umat mau berlomba-lomba meningkatkan
mutu pelayanan. Sebab setiap orang berpikir dan mengharap, “kapan saya
mendapat pelayanan.” Namun jarang di antara umat yang berpikir dan memiliki komitmen, “kapan saya memberi
pelayanan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama.” Kita tidak dapat membayangkan
seandainya setiap umat memiliki beban dan tanggungjawab untuk saling melayani,
dan mengembangkan pelayanan tersebut kepada masyarakat dalam lingkup yang lebih
luas, pastilah dampak kehadiran gereja akan menjadi signifikan sebagai garam
dan terang dunia.
Urgensi pentingnya pelayanan kepada sesama dalam perikop
Injil Matius 25:31-46 ditempatkan dalam konteks pengadilan zaman akhir. Pentingnya pelayanan bukan karena mampu
menghasilkan keuntungan/profit, namun pelayanan kepada sesama menentukan keselamatan dan hidup kekal. Dalam hal
ini kita dapat melihat pentingnya pelayanan kepada sesama dalam konteks
pengadilan zaman akhir, yaitu di Matius
25:40, dan Matius 25:31. Di
Matius 25:40, setiap umat akan diadili Kristus berdasarkan segala sesuatu yang
kamu lakukan kepada sesama, dan di Matius 25:31, mempersaksikan Kristus selaku
Raja akan datang dalam kemuliaan bersama para malaikat-Nya untuk mengadili
setiap orang seperti gembala yang memisahkan
domba dari kambing. Dengan perkataan lain, selaku Raja, Kristus akan
menjadi Hakim yang memisahkan manusia dalam kelompok “kambing” atau “domba”
berdasarkan perilaku mereka terhadap sesama khususnya sesama yang lemah dan
tertindas.
Pada umumnya dunia mengembangkan profesionalisme
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka bisnis dan sikap humanisme. Namun
dalam kesaksian Injil Matius 25:31-46, makna dan hakikat pelayanan kepada
sesama ditempatkan lebih mendalam. Sebab perlakuan kita kepada sesama pada
hakikatnya kita lakukan kepada Kristus. Apabila kita mengasihi, mempedulikan,
menghargai, dan menolong setiap orang pada hakikatnya kita melakukannya kepada
Tuhan Yesus. Sebaliknya bila kita berbuat jahat, berlaku sewenang-wenang,
mempraktikkan ketidakadilan, menindas, merusak nama baik seseorang, dan
mengeksploitasi sesama untuk keuntungan diri sendiri pada hakikatnya kita
memperlakukan kepada Tuhan Yesus. Sesama manusia bukan sekedar “orang-orang di sekitar” kita, namun
sesama adalah manifestasi dari wajah Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu tidaklah mengherankan jika filsuf Emmanuel Levinas memahami sesama
sebagai peristiwa epifani (penampakan Tuhan). Dalam bukunya yang berjudul
Totality and Infinity (1979), Levinas
menggunakan istilah “wajah” (visage). Makna “wajah” yang dimaksud oleh
Levinas bukanlah secara harafiah seperti seseorang yang memiliki kepala yang
terdiri dari mata, hidung, mulut, dagu, pipi, dan sebagainya. Makna “wajah”
dalam filsafat Levinas dipakai untuk menunjuk pada situasi orang lain muncul di
hadapan kita. Kita berhadapan muka dengan muka dengan orang lain. Orang lain
dengan wajahnya itu menyapa kita baik dengan ataupun tanpa kata. Wajah orang
lain tersebut dipahami Levinas sebagai
suatu “epifani” (penampakan), yaitu peristiwa penampakan wajah melalui
peristiwa munculnya ‘orang lain’ di hadapan ‘aku’ (fenomena), serta penglihatan
sebagai sarana untuk menangkap ‘orang lain’ yang muncul di hadapan ‘aku’
(Levinas 1979, 194-195). Karena itu tanggungjawab setiap orang adalah
menghormati dan saling membagi ruang.
Memberitakan
Injil berarti kita menghormati,
peduli, dan mengasihi sesama dalam
konteks hidupnya. Injil Kristus sebagai kabar baik harus menjadi suatu
kabar yang meneguhkan harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itu kita selaku
gereja menolak dengan tegas setiap sikap/tindakan yang melecehkan orang lain,
penindasan dalam bentuk apapun, kekerasan fisik atau mental, sikap pengabaian
kepada orang yang menderita, dan eksploitasi manusia dalam berbagai sistem.
Tugas memberitakan Injil berarti kita membuka setiap sekat dan belenggu,
sehingga tercipta suatu ruang kasih yang berbela-rasa. Karena itu kita wajib
memperlakukan setiap orang sebagai sahabat-sahabat Kristus. Jika demikian,
apakah kita telah meneladan Kristus yang menjadi sahabat bagi sesama, sehingga
kita terpanggil menabur kasih Allah, dan memberitakan
Injil Kristus kepada dunia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar