Setiap manusia pasti mempunyai banyak keinginan. Dan itu tidak salah. Namun
tidak berarti tidak ada masalah. Sebab dalam kenyataannya tidak semua
keinginan kita dapat terpenuhi dan hal ini dapat membuat kita kecewa,
bersungut-sunggut, menyalahkan orang lain, diri kita bahkan menyalahkan Tuhan;
juga tidak semua keinginan yang tercapai tersebut sungguh-sungguh bermanfaat
bagi kita, membawa kebahagiaan bagi kita. Oleh karena itu dibutuhkan
kebijaksanaan menyikapi dan memilah-milah (sekala prioritas) dalam
merealisasikan kenginan-keinginan tersebut. Terlebih sebagai orang percaya,
kita harus dapat membedakan mana keinginan daging dan mana keinginan roh. Paulus dalam Galatia 5:17 mengingatkan
jemaat/kita agar tidak hidup dalam keinginan daging, tapi hidup dalam keinginan
roh. Keinginan daging[1] berlawanan
dengan keinginan roh[2]. Mengapa?
Sebab keinginan daging berpusat pada keinginan manusia yang berdasarkan hawa
nafsu dan membawa kepada kebinasaan, sebaliknya keinginan roh berpusat pada
keinginan Tuhan, keinginan yang mendatangkan damai sejahtera.
Misalnya
berkeinginan menjadi kaya, banyak harta, tidak kurang apa pun, namun bagi
orang percaya ternyata bukan hal tersebut yang paling penting atau yang menjadi
perioritas utama dalam hidup. ternyata walaupun seorang berlimpah-limpah
hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu. Apa artinya
ini? Yesus mengingatkan kita tentang arti hidup yang sesungguhnya.(Luk 12:15) Dapatkah manusia dengan
hartanya membeli kebahagiaan yang sesungguhnya (padahal tujuan terpenuhinya
keinginan apa pun itu tidak lain agar bahagia), terlebih membeli ganti
nyawanya? Jawabannya, tidak.
1 Raja-Raja
21:1-16 menceritakan mengenai kelakuan atau tindakan seorang raja Samaria
(Israel Utara) yang bernama Ahab dan
Istrinya Izebel mewujudkan keinginannya untuk memiliki kebun anggur Nabot
dengan cara yang keji, yakni membunuh Nabot dengan jalan membuat suatu
konspirasi jahat yang di skenarioi Izebel.
Ahab sebagai seorang raja, kehidupanya pasti tidak kekurangan. Ia
memiliki kebun yang jauh lebih baik dari kebun anggur Nabot[4]. Namun mengapa
Ahab mengingi kebun anggor Nabot? Alasannya sangat sederhana yakni karena kebun tersebut berdekatan denganrumahnya
dan kebun itu mau ditanami sayur-sayuran (ayt.2). Ahab berpikir alangkah
senangnya kalau kebun anggur Nabot menjadi miliknya. Ia tidak perlu jauh-jauh
menanam sayur-sayuran. Disamping itu, untuk melepaskan kepenatan atau kebosanan
di istana ia dapat pergi melihat kebun sayur-sayuran yang dekat dengan
istananya. Keinginan Ahab ini saya pikir sangat wajar. Bukanakah kita juga
menginginkan yang sama? Kalau bisa, saya pikir kita juga sangat mengingini agar
tempat kerja tidak jauh dari rumah kita. Kalau bisa hanya dengan berjalan kaki
kita bisa sampai ditempat kerja, sehingga tidak perlu kuatir dengan kemacetan
yang selalu kita alami khususnya di kota Jakarta ini. Demikian juga tempat
sekolah anak-anak kita, dsb. Masalahnya ialah ketika keinginan tersebut tidak
memungkinkan terwujud (mentok) apakah kita harus menghalalkan cara-cara yang
tidak terpuji? Ahab, ketika keinginannya mentok, dimana Nabot tidak bersedia
menjual kebun anggurnya dengan alasan yang sangat jelas, yakni Tuhan melarang
penjualan tanah pusaka/warisan nenek monyangnya [5], membuatnya kesal, gusar
bahkan menyakiti diri dengan mengurung diri dan tidak mau makan. Keinginan
telah berubah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Akibatnya sangat luar
biasa, Nabot orang yang taat terhadap aturan agama, harus mati ketika
berhadapan dengan Izebel yang jahat, yang menghalalkan segala cara untuk
menyenangkan hati suaminya, raja Ahab, dengan memenuhi keinginannya memiliki
kebun anggur Nabot[6].
Pada akhir2
ini bahwa banyak wanita yang bermasalah dengan urusan belanja[7]. Wanita memang
seringkali kesulitan menahan godaan belanja. Saat tidak melihat iklan atau
melihat barang tertentu, keinginan untuk membeli tidak muncul. Namun, sesaat
setelah melihat sebuah barang yang baru, lucu, dan stylish (apalagi jika bisa
dicicil), seketika muncul keinginan untuk memiliki barang tersebut. Parahnya lagi, kadang keinginan ini berubah
menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, hidup
menjadi tidak bergairah, seperti Ahab, gusar, tidak mau makan. Dengan kata lain
bila keinginan tersebut belum terpenuhi ia merasa hidup belum normal, ia
menjadi merana. Sama dengan orang kecanduan narkoba, bila tidak menggunakannya
disarakan hidupnya hampa, menderita, tidak bahagia. Padahal sebaliknya bila hal
tersebut tidak dihentikan akibatnya tidak hanya merugikan dirinya tetapi juga
orang lain, terlebih keluarganya. Yang paling parah lagi, bila dalam memenuhi
keinginan tersebut ia menghalalkan segala cara, tidak lagi memiliki rasa takut
melakukan dosa. Seperti raja Ahab dan
Istrinya Izebel, dengan tega membunuh Nabot. Bagaimana endingnya orang yang
demikian? Pasti bukan berakhir dengan baik[8]. Hidupnya akan
dipenuhi banyak masalah dan akibatnya
tidak akan merasa bahagia.
(2) Salah satu
trik untuk menahan pengeluaran yang tak diperlukan saat berbelanja adalah
dengan membedakan apakah pembelanjaan tersebut berdasarkan keinginan atau
kebutuhan. Bagaimana membedakan keinginan dan kebutuhan? Sebenarnya sangat
mudah. Yang sulit adalah mengendalikan diri sendiri. Ada tiga hal pokok yang
membedakan antara keinginan dan kebutuhan, yaitu:
Keinginan
selalu datang tiba-tiba tanpa perencanaan, sedangkan kebutuhan sudah dapat
diperkirakan jauh hari.
Keinginan,
bila tidak dipenuhi hanya mengganggu mood, sedangkan kebutuhan bila tidak
dipenuhi akan mengganggu jalannya kehidupan.
Keinginan bila
dipenuhi akan membawa penyesalan di kemudian hari (hati tidak tentram) karena
ternyata barang yang baru dibeli tidak terlalu diperlukan. Sedangkan kebutuhan
bila dipenuhi maka hati akan tenteram dan damai.
Kerena itu, suami-istri hendaknya saling mengingatkan dan
menguatkan agar memiliki kebijaksanaan dalam memenuhi keinginan-keinginan
sesuai dengan kemampuan.
1. Ahab: Penguasa yang dikuasai. Tentunya kita
masih ingat dalam
zaman Orba dahulu, Sang Penguasa atau Anak Sang Penguasa atau bahkan teman Sang Penguasa begitu berkuasa. Apa pun
yang mereka inginkan harus dapat dimiliki dengan cara apa pun, walau harus
menabrak batas-batas moral, nilai-nilai agama, atau bahkan mengorbankan nyawa
orang lain. Namun kekuasaan itu ternyata tidak pernah memberikan kepuasan
kepada mereka. Setelah mereka berhasil menguasai bisnis-bisnis besar, mereka
masih menginginkan bisnis-bisnis kecil seperti tata niaga jeruk, lahan
perparkiran, dan pemasok sepatu seragam untuk sekolah tertentu. Siapa pun tidak
berani menentang atau menghalangi keinginan mereka karena risikonya sangat
berat.
Kisah kebun
anggur Nabot memanifestasikan paradoks itu dengan tepat.
Ahab, sebagai
raja Israel, mempunyai kekuasaan, kekayaan, dan kemegahan yang pasti jauh di
atas Nabot. Namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki.
Ia tidak dapat menguasai nafsu untuk mengingini dan memiliki sesuatu, walaupun
ia tahu bahwa firman Tuhan memang melarang Nabot untuk menjual kebunnya. Nafsu
yang tidak dapat dikuasai itu akhirnya berbuahkan tindakan dosa yaitu melanggar
firman Tuhan secara sadar dan sengaja. Atas bujukan istrinya, ia menyetujui
untuk melenyapkan Nabot secara licik dan sadis. Dengan demikian, keinginan Ahab
terpuaskan.
Jelas
tergambar bahwa walaupun Ahab sebagai penguasa Israel, namun ia sendiri
hanyalah seorang budak nafsu. Oleh karena itu Allah mendatangkan hukuman yang
setimpal kepadanya. Walaupun Allah menangguhkan hukuman-Nya, tidak berarti
bahwa Allah membatalkannya.
Paradoks ini
dapat menjadi cermin bagi Kristen masa kini. Hati-hatilah terhadap setiap
keinginan yang timbul dalam hati. Kita harus dapat menguasai dan mengontrolnya
dengan cara belajar puas dan merasa cukup terhadap apa pun yang kita miliki
sekarang. Karena keinginan yang tidak terkontrol akan berbuahkan dosa yang
dibenci oleh Allah. Kuasailah nafsu sebelum nafsu menguasai kita.
2. Ahab, si anak manja. Kisah Ahab adalah
kisah seorang yang memiliki jabatan tertinggi di dalam pemerintahan, namun
bertingkah bagaikan anak kecil yang manja karena terbiasa mendapatkan segala
sesuatu yang diinginkannya. Kisah ini menarik untuk dikaji secara kejiwaan.
Namun dalam renungan kita hari ini, mari kita mengkaji kisah ini secara
teologis.
Pertama, Ahab serakah. Ia tidak mengendalikan
hawa nafsu keserakahannya. Ia tidak mau menyadari bahwa Tuhan sudah memberikan
hak dan “berkat” kepada setiap orang sesuai dengan kasih karunia-Nya. Keinginan
yang serakah adalah dosa di mata Tuhan (ay. 1-4).
Kedua, Izebel licik. Ratu jahat ini
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Jelas ini
bukan sikap iman! Orang yang merasa bahwa ia bisa dan harus mendapatkan apapun
dengan memakai cara apapun, bukan anak Tuhan (ay. 5-10)!
Ketiga, para tua-tua dan pemuka Kota
Samaria adalah masyarakat kelas atas yang memiliki moral rusak dan hati nurani
yang busuk. Buktinya mereka mau saja mengikuti perintah Izebel yang jelas-jelas
bermotivasikan kejahatan. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang sakit
(ay. 11-12)!
Keempat, dua orang dursila adalah
orang-orang yang mau melakukan apa saja demi sedikit keuntungan. Ini adalah
produk dari masyarakat yang sakit (ay. 13-14).
Betapa
mengerikannya kalau keserakahan Ahab,
kelicikan Izebel, dan kerusakan moral dan hati nurani masyarakat Samaria
adalah gambaran kehidupan pemimpin-pemimpin dan kelompok elit negeri ini.
Pastilah produk yang muncul adalah orang-orang dursila. Siapa yang bisa
mengatasi semua ini? Syukur kepada Allah. Allah sendiri, melalui anak-anak-Nya
yang mau dipakai-Nya untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan
keadilan.3. Lalu, apa yang harus
kita perbuat, agar kita hidup benar dan tidak serakah? Dalam (Amsal 16 : 16 – 20) menghantar kita untuk
memahaminya. Pada, ayat 16 dikatakan, “memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas,
dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak”. Dalam rangka mendorong
seseorang melakukan hidup dengan benar, ayat ini menasihatkan bahwa memperoleh
hikmat dan pengertian jauh lebih penting daripada emas dan perak. Hikmat dalam
bahasa Ibrani adalah “hokmah” dari akar kata yang berarti teguh dan berpengalaman. Hikmat adalah pengetahuan untuk
menjalani kehidupan (Am.1:5). Tempat hikmat adalah di dalam hati, yang menjadi
pusat pengambilan keputusan yang bermoral dan berakal (bnd. 1 Raja 3:9, 12).
Begitu pentingnya hikmat, sehingga penulis Amsal mengatakan “Hai anakku,
janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah
itu, maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu, dan perhiasan bagi lehermu.
Maka engkau akan berjalan di jalanmu dengan aman, dan kakimu tidak akan
terantuk” (Am. 3:21-23). Orang Israel percaya bahwa hikmat berasal dari
Allah, “tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai
pertimbangan dan pengertian” (Ayb. 12:13). Oleh karena itu memperoleh hikmat dan pengertian jauh melebihi emas dan
perak. Karena hikmat adalah dasar, fondasi, jalan (bhs.
Ibrani, derek), sedangkan emas dan perak tidak dapat dijadikan sebagai
jalan dan dasar. Melalui hikmat dan pengertian, manusia dapat memahami jalan
Tuhan. Marhite hapistaran dohot hapantason i, i do bohal laho mangantusi dohot
mananda dalan lomo ni roha ni Debata. Itulah yang paling berharga.Menjaga hati
supaya jangan congkak dan tinggi hati, itu berarti menjaga
kehidupan, ”jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah
terpancar kehidupan” (Am.23: 4).
Persoalan pokok mereka adalah karena mereka tidak mempunyai permulaan hikmat
yaitu takut akan Tuhan.
Firman Tuhan
atau persekutuan dengan Tuhan (= takut akan Tuhan), itulah yang berharga di
dalam kehidupan orang yang percaya, dan kepadanya akan diberikan kebahagiaan
sejati.
4. .
Namun ia tidak pernah merasa puas
dengan apa yang sudah ia miliki. Ia
tidak dapat menguasai nafsu untuk mengingini dan memiliki sesuatu, walaupun
ia tahu bahwa firman Tuhan memang melarang Nabot untuk menjual kebunnya. Nafsu
yang tidak dapat dikuasai itu akhirnya berbuahkan tindakan dosa yaitu melanggar
firman Tuhan secara sadar dan sengaja. Atas bujukan
istrinya, Izebel, ia menyetujui untuk melenyapkan Nabot secara licik
dan sadis. Dengan demikian, keinginan Ahab terpuaskan. Jelas tergambar bahwa
walaupun Ahab sebagai penguasa Israel, namun ia sendiri hanyalah seorang budak
nafsu.
Dan itulah
yang diingatkan oleh Amsal 16:16-20
ini, hikmat yang merupakan pewujudan dari takut akan Tuhan menjaga setiap orang
dari nafsu-nafsu jahat, dari keinginan daging. Hikmat itu lebih penting
daripada emas dan perak, juga menjaga orang dari kecongkakan dan tinggi hati,
seperti raja Ahab yang memakai kuasanya dengan salah menjadi orang yang
congkak. Murka Allah dinyatakan kepada raja Ahab. Firman Tuhan melalui nabi
Elia menyatakan akan hukuman Tuhan kepada raja Ahab dan keluarganya (baca, 1
Raja-raja 21: 17-29), bahwa dia akan mati dan darahnya akan dijilat anjing.
Firman Tuhan terbukti, raja Ahab mati dalam peperangan, dan darahnya dijilat
anjing (1 Raja-raja 22:38). Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar