Selasa, 31 Juli 2018

Khotbah Minggu 22 Juli 2018 Menjadi Pemimpin Yang Adil dan Jujur Ev.: 1 Raja-raja 21 : 1 – 16


Setiap manusia pasti mempunyai banyak keinginan. Dan itu tidak salah. Namun tidak berarti tidak ada masalah. Sebab dalam kenyataannya tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi dan hal ini dapat membuat kita kecewa, bersungut-sunggut, menyalahkan orang lain, diri kita bahkan menyalahkan Tuhan; juga tidak semua keinginan yang tercapai tersebut sungguh-sungguh bermanfaat bagi kita, membawa kebahagiaan bagi kita. Oleh karena itu dibutuhkan kebijaksanaan menyikapi dan memilah-milah (sekala prioritas) dalam merealisasikan kenginan-keinginan tersebut. Terlebih sebagai orang percaya, kita harus dapat membedakan mana keinginan daging dan mana keinginan roh. Paulus dalam Galatia 5:17 mengingatkan jemaat/kita agar tidak hidup dalam keinginan daging, tapi hidup dalam keinginan roh. Keinginan daging[1] berlawanan dengan keinginan roh[2]. Mengapa? Sebab keinginan daging berpusat pada keinginan manusia yang berdasarkan hawa nafsu dan membawa kepada kebinasaan, sebaliknya keinginan roh berpusat pada keinginan Tuhan, keinginan yang mendatangkan damai sejahtera.
 Misalnya berkeinginan menjadi kaya, banyak harta, tidak kurang apa pun, namun bagi orang percaya ternyata bukan hal tersebut yang paling penting atau yang menjadi perioritas utama dalam hidup. ternyata walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu. Apa artinya ini? Yesus mengingatkan kita tentang arti hidup yang sesungguhnya.(Luk 12:15) Dapatkah manusia dengan hartanya membeli kebahagiaan yang sesungguhnya (padahal tujuan terpenuhinya keinginan apa pun itu tidak lain agar bahagia), terlebih membeli ganti nyawanya? Jawabannya, tidak.
1 Raja-Raja 21:1-16 menceritakan mengenai kelakuan atau tindakan seorang raja Samaria (Israel Utara) yang bernama Ahab dan Istrinya Izebel mewujudkan keinginannya untuk memiliki kebun anggur Nabot dengan cara yang keji, yakni membunuh Nabot dengan jalan membuat suatu konspirasi jahat yang di skenarioi Izebel.
Ahab sebagai seorang raja, kehidupanya pasti tidak kekurangan. Ia memiliki kebun yang jauh lebih baik dari kebun anggur Nabot[4]. Namun mengapa Ahab mengingi kebun anggor Nabot? Alasannya sangat sederhana yakni karena kebun tersebut berdekatan denganrumahnya dan kebun itu mau ditanami sayur-sayuran (ayt.2). Ahab berpikir alangkah senangnya kalau kebun anggur Nabot menjadi miliknya. Ia tidak perlu jauh-jauh menanam sayur-sayuran. Disamping itu, untuk melepaskan kepenatan atau kebosanan di istana ia dapat pergi melihat kebun sayur-sayuran yang dekat dengan istananya. Keinginan Ahab ini saya pikir sangat wajar. Bukanakah kita juga menginginkan yang sama? Kalau bisa, saya pikir kita juga sangat mengingini agar tempat kerja tidak jauh dari rumah kita. Kalau bisa hanya dengan berjalan kaki kita bisa sampai ditempat kerja, sehingga tidak perlu kuatir dengan kemacetan yang selalu kita alami khususnya di kota Jakarta ini. Demikian juga tempat sekolah anak-anak kita, dsb. Masalahnya ialah ketika keinginan tersebut tidak memungkinkan terwujud (mentok) apakah kita harus menghalalkan cara-cara yang tidak terpuji? Ahab, ketika keinginannya mentok, dimana Nabot tidak bersedia menjual kebun anggurnya dengan alasan yang sangat jelas, yakni Tuhan melarang penjualan tanah pusaka/warisan nenek monyangnya [5], membuatnya kesal, gusar bahkan menyakiti diri dengan mengurung diri dan tidak mau makan. Keinginan telah berubah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Akibatnya sangat luar biasa, Nabot orang yang taat terhadap aturan agama, harus mati ketika berhadapan dengan Izebel yang jahat, yang menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya, raja Ahab, dengan memenuhi keinginannya memiliki kebun anggur Nabot[6].
Pada akhir2 ini bahwa banyak wanita yang bermasalah dengan urusan belanja[7]. Wanita memang seringkali kesulitan menahan godaan belanja. Saat tidak melihat iklan atau melihat barang tertentu, keinginan untuk membeli tidak muncul. Namun, sesaat setelah melihat sebuah barang yang baru, lucu, dan stylish (apalagi jika bisa dicicil), seketika muncul keinginan untuk memiliki barang tersebut. Parahnya lagi, kadang keinginan ini berubah menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, hidup menjadi tidak bergairah, seperti Ahab, gusar, tidak mau makan. Dengan kata lain bila keinginan tersebut belum terpenuhi ia merasa hidup belum normal, ia menjadi merana. Sama dengan orang kecanduan narkoba, bila tidak menggunakannya disarakan hidupnya hampa, menderita, tidak bahagia. Padahal sebaliknya bila hal tersebut tidak dihentikan akibatnya tidak hanya merugikan dirinya tetapi juga orang lain, terlebih keluarganya. Yang paling parah lagi, bila dalam memenuhi keinginan tersebut ia menghalalkan segala cara, tidak lagi memiliki rasa takut melakukan dosa. Seperti raja Ahab dan Istrinya Izebel, dengan tega membunuh Nabot. Bagaimana endingnya orang yang demikian? Pasti bukan berakhir dengan baik[8]. Hidupnya akan dipenuhi banyak masalah dan akibatnya tidak akan merasa bahagia.
(2) Salah satu trik untuk menahan pengeluaran yang tak diperlukan saat berbelanja adalah dengan membedakan apakah pembelanjaan tersebut berdasarkan keinginan atau kebutuhan. Bagaimana membedakan keinginan dan kebutuhan? Sebenarnya sangat mudah. Yang sulit adalah mengendalikan diri sendiri. Ada tiga hal pokok yang membedakan antara keinginan dan kebutuhan, yaitu:
Keinginan selalu datang tiba-tiba tanpa perencanaan, sedangkan kebutuhan sudah dapat diperkirakan jauh hari.
Keinginan, bila tidak dipenuhi hanya mengganggu mood, sedangkan kebutuhan bila tidak dipenuhi akan mengganggu jalannya kehidupan.
Keinginan bila dipenuhi akan membawa penyesalan di kemudian hari (hati tidak tentram) karena ternyata barang yang baru dibeli tidak terlalu diperlukan. Sedangkan kebutuhan bila dipenuhi maka hati akan tenteram dan damai.
Kerena itu, suami-istri hendaknya saling mengingatkan dan menguatkan agar memiliki kebijaksanaan dalam memenuhi keinginan-keinginan sesuai dengan kemampuan.
1. Ahab: Penguasa yang dikuasai. Tentunya kita masih ingat dalam zaman Orba dahulu, Sang Penguasa atau Anak Sang Penguasa atau bahkan teman Sang Penguasa begitu berkuasa. Apa pun yang mereka inginkan harus dapat dimiliki dengan cara apa pun, walau harus menabrak batas-batas moral, nilai-nilai agama, atau bahkan mengorbankan nyawa orang lain. Namun kekuasaan itu ternyata tidak pernah memberikan kepuasan kepada mereka. Setelah mereka berhasil menguasai bisnis-bisnis besar, mereka masih menginginkan bisnis-bisnis kecil seperti tata niaga jeruk, lahan perparkiran, dan pemasok sepatu seragam untuk sekolah tertentu. Siapa pun tidak berani menentang atau menghalangi keinginan mereka karena risikonya sangat berat.
Kisah kebun anggur Nabot memanifestasikan paradoks itu dengan tepat.
Ahab, sebagai raja Israel, mempunyai kekuasaan, kekayaan, dan kemegahan yang pasti jauh di atas Nabot. Namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Ia tidak dapat menguasai nafsu untuk mengingini dan memiliki sesuatu, walaupun ia tahu bahwa firman Tuhan memang melarang Nabot untuk menjual kebunnya. Nafsu yang tidak dapat dikuasai itu akhirnya berbuahkan tindakan dosa yaitu melanggar firman Tuhan secara sadar dan sengaja. Atas bujukan istrinya, ia menyetujui untuk melenyapkan Nabot secara licik dan sadis. Dengan demikian, keinginan Ahab terpuaskan.
Jelas tergambar bahwa walaupun Ahab sebagai penguasa Israel, namun ia sendiri hanyalah seorang budak nafsu. Oleh karena itu Allah mendatangkan hukuman yang setimpal kepadanya. Walaupun Allah menangguhkan hukuman-Nya, tidak berarti bahwa Allah membatalkannya.
Paradoks ini dapat menjadi cermin bagi Kristen masa kini. Hati-hatilah terhadap setiap keinginan yang timbul dalam hati. Kita harus dapat menguasai dan mengontrolnya dengan cara belajar puas dan merasa cukup terhadap apa pun yang kita miliki sekarang. Karena keinginan yang tidak terkontrol akan berbuahkan dosa yang dibenci oleh Allah. Kuasailah nafsu sebelum nafsu menguasai kita.
2. Ahab, si anak manja. Kisah Ahab adalah kisah seorang yang memiliki jabatan tertinggi di dalam pemerintahan, namun bertingkah bagaikan anak kecil yang manja karena terbiasa mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya. Kisah ini menarik untuk dikaji secara kejiwaan. Namun dalam renungan kita hari ini, mari kita mengkaji kisah ini secara teologis.
Pertama, Ahab serakah. Ia tidak mengendalikan hawa nafsu keserakahannya. Ia tidak mau menyadari bahwa Tuhan sudah memberikan hak dan “berkat” kepada setiap orang sesuai dengan kasih karunia-Nya. Keinginan yang serakah adalah dosa di mata Tuhan (ay. 1-4).
Kedua, Izebel licik. Ratu jahat ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Jelas ini bukan sikap iman! Orang yang merasa bahwa ia bisa dan harus mendapatkan apapun dengan memakai cara apapun, bukan anak Tuhan (ay. 5-10)!
Ketiga, para tua-tua dan pemuka Kota Samaria adalah masyarakat kelas atas yang memiliki moral rusak dan hati nurani yang busuk. Buktinya mereka mau saja mengikuti perintah Izebel yang jelas-jelas bermotivasikan kejahatan. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang sakit (ay. 11-12)!
Keempat, dua orang dursila adalah orang-orang yang mau melakukan apa saja demi sedikit keuntungan. Ini adalah produk dari masyarakat yang sakit (ay. 13-14).
Betapa mengerikannya kalau keserakahan Ahab, kelicikan Izebel, dan kerusakan moral dan hati nurani masyarakat Samaria adalah gambaran kehidupan pemimpin-pemimpin dan kelompok elit negeri ini. Pastilah produk yang muncul adalah orang-orang dursila. Siapa yang bisa mengatasi semua ini? Syukur kepada Allah. Allah sendiri, melalui anak-anak-Nya yang mau dipakai-Nya untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan.3. Lalu, apa yang harus kita perbuat, agar kita hidup benar dan tidak serakah? Dalam (Amsal 16 : 16 – 20) menghantar kita untuk memahaminya. Pada, ayat 16 dikatakan, “memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas, dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak”. Dalam rangka mendorong seseorang melakukan hidup dengan benar, ayat ini menasihatkan bahwa memperoleh hikmat dan pengertian jauh lebih penting daripada emas dan perak. Hikmat dalam bahasa Ibrani adalah “hokmah” dari akar kata yang berarti teguh dan berpengalaman. Hikmat adalah pengetahuan untuk menjalani kehidupan (Am.1:5). Tempat hikmat adalah di dalam hati, yang menjadi pusat pengambilan keputusan yang bermoral dan berakal (bnd. 1 Raja 3:9, 12). Begitu pentingnya hikmat, sehingga penulis Amsal mengatakan “Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu, maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu, dan perhiasan bagi lehermu. Maka engkau akan berjalan di jalanmu dengan aman, dan kakimu tidak akan terantuk” (Am. 3:21-23). Orang Israel percaya bahwa hikmat berasal dari Allah, “tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (Ayb. 12:13). Oleh karena itu memperoleh hikmat dan pengertian jauh melebihi emas dan perak. Karena hikmat adalah dasar, fondasi, jalan (bhs. Ibrani, derek), sedangkan emas dan perak tidak dapat dijadikan sebagai jalan dan dasar. Melalui hikmat dan pengertian, manusia dapat memahami jalan Tuhan. Marhite hapistaran dohot hapantason i, i do bohal laho mangantusi dohot mananda dalan lomo ni roha ni Debata. Itulah yang paling berharga.Menjaga hati supaya jangan congkak dan tinggi hati, itu berarti menjaga kehidupan, ”jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Am.23: 4).
Persoalan pokok mereka adalah karena mereka tidak mempunyai permulaan hikmat yaitu takut akan Tuhan.
Firman Tuhan atau persekutuan dengan Tuhan (= takut akan Tuhan), itulah yang berharga di dalam kehidupan orang yang percaya, dan kepadanya akan diberikan kebahagiaan sejati.
4.  . Namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Ia tidak dapat menguasai nafsu untuk mengingini dan memiliki sesuatu, walaupun ia tahu bahwa firman Tuhan memang melarang Nabot untuk menjual kebunnya. Nafsu yang tidak dapat dikuasai itu akhirnya berbuahkan tindakan dosa yaitu melanggar firman Tuhan secara sadar dan sengaja. Atas bujukan istrinya, Izebel, ia menyetujui untuk melenyapkan Nabot secara licik dan sadis. Dengan demikian, keinginan Ahab terpuaskan. Jelas tergambar bahwa walaupun Ahab sebagai penguasa Israel, namun ia sendiri hanyalah seorang budak nafsu.
Dan itulah yang diingatkan oleh Amsal 16:16-20 ini, hikmat yang merupakan pewujudan dari takut akan Tuhan menjaga setiap orang dari nafsu-nafsu jahat, dari keinginan daging. Hikmat itu lebih penting daripada emas dan perak, juga menjaga orang dari kecongkakan dan tinggi hati, seperti raja Ahab yang memakai kuasanya dengan salah menjadi orang yang congkak. Murka Allah dinyatakan kepada raja Ahab. Firman Tuhan melalui nabi Elia menyatakan akan hukuman Tuhan kepada raja Ahab dan keluarganya (baca, 1 Raja-raja 21: 17-29), bahwa dia akan mati dan darahnya akan dijilat anjing. Firman Tuhan terbukti, raja Ahab mati dalam peperangan, dan darahnya dijilat anjing (1 Raja-raja 22:38). Amin.

Tidak ada komentar: