John
Shelby Spong penulis buku “Yesus bagi Orang Non Religius” bersikukuh menggugat
doktrin yang diimani orang saleh dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Buktinya, ia tidak meragukan Yesus sebagai Tuhan, tapi ia tidak ingin menyembah
suatu Allah yang tidak dapat ditatang atau setia pada suatu tradisi yang
mengharuskan mengunci rapat-rapat pikiran.
Yesus sebagai seorang wisatawan sorgawi yang datang dari Allah di balik langit melalui suatu kelahiran ajaib dan yang ketika karyanya sudah selesai kembali kepada Allah itu melalui suatu perjalanan kosmik. Bagi John Shelby Spong penulis bestseller “The Sins of Scripture” ini, kisah ajaib itu sesuatu yang secara harfiah tidak masuk akal, tetapi juga sedikit lebih dari uraian teologis yang berbelit-belit dan sukar dipahami. “Mereka tidak mengerti bahwa mereka sebetulnya telah mengubur Yesus di dalam peti dan suatu dunia lain, suatu waktu lain dan suatu tempat lain,” papar Spong.
Yesus sebagai seorang wisatawan sorgawi yang datang dari Allah di balik langit melalui suatu kelahiran ajaib dan yang ketika karyanya sudah selesai kembali kepada Allah itu melalui suatu perjalanan kosmik. Bagi John Shelby Spong penulis bestseller “The Sins of Scripture” ini, kisah ajaib itu sesuatu yang secara harfiah tidak masuk akal, tetapi juga sedikit lebih dari uraian teologis yang berbelit-belit dan sukar dipahami. “Mereka tidak mengerti bahwa mereka sebetulnya telah mengubur Yesus di dalam peti dan suatu dunia lain, suatu waktu lain dan suatu tempat lain,” papar Spong.
Pada
ulasan lain ia mengimbuhkan argumen yang radikal sekitar kelahiran Yesus. Tidak
ada bintang di atas Betlehem. Tempat lahir Yesus di Betlehemn bukan sejarah.
Nabi Mikha tidak meramalkannya. Sebuah bintang tidak memberitahukannya. Para
Majus tidak mengikuti bintang itu. Bintang itu tidak membawa mereka ke istana
raja atau ke rumah Betlehem, tempat yang dikatakan oleh tradisi sebagai tempat
kelahiran bayi Kristus. Para Majus tidak mempersembahkan emas, mur dan
kemenyan. “Semua rincian ini adalah bagian dari sebuah mitologi yang sedang
tumbuh yang harus dipisahkan dari Yesus jika kita ingin melihatnya sebagaimana
dia adanya.”
Tempat
kelahiran Betlehem adalah suatu bagian lain dari suatu tradisi tafsir mesianik
yang sedang berkembang. Jika sejarah adalah agenda utama kita, pada perayaan
Natal kita harus bernyanyi “Hai kota mungil Nazaret” sebab kota inilah yang
kuat kemungkinan sebagai tempat di mana orang yang dikenal sebagai Yesus dari
Nazaret dilahirkan. “Ada apa dengan Yesus ini, sehingga membuat orang merasa
perlu menyelimuti kelahirannya dengan asal-usulnya dari Betlehem dan dengan
tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban?” (hal. 28)
Buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Umum ini pun, berupaya membeberkan kisah orang tua Yesus dari sudut pandang Matius, Markus, Lukas dan sumber tertulis yang dinamakan Q (Jerman Quelle—sumber) “Bukankah ia ini anak tukang kayu. Bukankah ibunya bernama Maria?” (Matius 13:55)
Buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Umum ini pun, berupaya membeberkan kisah orang tua Yesus dari sudut pandang Matius, Markus, Lukas dan sumber tertulis yang dinamakan Q (Jerman Quelle—sumber) “Bukankah ia ini anak tukang kayu. Bukankah ibunya bernama Maria?” (Matius 13:55)
Bagi
Spong ayat ini rupanya menggugah, kenapa musti melibatkan Maria? Apakah nama
itu sekedar melengkapi atau mempertanyakan siapakah sesungguhnya Maria? “Hanya
dari penulisan ulang oleh Matius atas perikop Markus ini muncul tradisi Yusuf
sebagai seorang tukang kayu. Matius melicinkan teks Markus sehingga teks ini
selaras dengan perikop tentang kelahiran ajaib Yesus yang baru ia masukkan ke
dalam injilnya.”
“Saya tidak percaya bahwa orang bernama Yusuf ini, yang menjadi ayah insani yang melindungi Yesus, pernah hidup. Teks-teks yang kita teliti di atas mendukung pernyataan saya ini. Yusuf dari awal sampai akhir adalah sosok mitologis ciptaan murni penulis yang kita sebut Markus.” (hal. 40)
“Saya tidak percaya bahwa orang bernama Yusuf ini, yang menjadi ayah insani yang melindungi Yesus, pernah hidup. Teks-teks yang kita teliti di atas mendukung pernyataan saya ini. Yusuf dari awal sampai akhir adalah sosok mitologis ciptaan murni penulis yang kita sebut Markus.” (hal. 40)
“Saya
tidak berpikir ada orang yang mengetahui siapa ayah Yesus, termasuk para
penulis Perjanjian Baru. Markus tidak pernah mengatakannya. Matius dan Lukas
mengatakan bahwa Roh Kudus adalah ayah Yesus sebenarnya. Injil Yohanes, yang
sering disebut Injil Keempat, menyingkirkan kisah kelahiran ajaib Yesus, tetapi
merujuk pada Yesus sebabagai anak Yusuf pada dua kesempatan (Yohanes 1:45;
6:42)”
Menurut
penulis buku yang aslinya “Jesus for the Non-Religions” ini, alasan mengapa
Yusuf tetap menjadi sosok tidak jelas sepanjang sejarah Kristen, karena ia
memang merupakan karakter sastrawi sejak dari awalnya, diciptakan dari mitologi
interpretatif yang berkembang.
Memang, Spong tidak serta-merta menerima mitos interpretatif yang menyelimuti kehidupan Yesus dari sisi pemahaman tradisionil. “Namun, kendatipun telah mengatakan itu, saya tetap seorang Kristen yang setia. Saya masih meyakini kebenaran yang ditemukan dalam realitas asasi yang saya namakan Allah dan saya masih melihat di dalam Yesus keallahan dan kemanusiaan menetap sepenuh-penuhnya.” (hal. 84)
Memang, Spong tidak serta-merta menerima mitos interpretatif yang menyelimuti kehidupan Yesus dari sisi pemahaman tradisionil. “Namun, kendatipun telah mengatakan itu, saya tetap seorang Kristen yang setia. Saya masih meyakini kebenaran yang ditemukan dalam realitas asasi yang saya namakan Allah dan saya masih melihat di dalam Yesus keallahan dan kemanusiaan menetap sepenuh-penuhnya.” (hal. 84)
Terus
terang, banyak informasi dijumpai saat membaca buku ini, bahkan membuat yang
saleh akan geleng-geleng kepala dengan paparan John Shelby Spong yang amat
berani. Soalnya, penulis yang juga dosen tamu di berbagai universitas di
Amerika Utara ini, hendak membersihkan potret Yesus dari batas-batas agama yang
dipahami secara tradisionil.
Buku ini bisa dijadikan refrensi perbandingan serta pantas dibaca para teolog, mahasiswa dan pendeta yang melayani di abad 21 ini. Baharuddin Silaen
Buku ini bisa dijadikan refrensi perbandingan serta pantas dibaca para teolog, mahasiswa dan pendeta yang melayani di abad 21 ini. Baharuddin Silaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar