Pendahuluan
Saudara-Saudara,
kita tentu mengetahui sosok pria yang bernama Walt Disney. Selain
menjadi seorang produser film dan pemain sandiwara yang sangat terkenal, ia
juga adalah penemu di dalam bidang animasi serta desain penempatan
suara. Melalui karya-karyanya, Disney berhasil menyentuh hati jutaan
orang di seluruh dunia, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.
Karena itu, tidaklah heran bila pada akhirnya ia mendapat julukan sebagai
“legenda di bidang hiburan pada abad ke-20.”
Namun,
siapa yang pernah menyangka bahwa semua kesuksesan yang ia raih saat ini
tidak diperolehnya dengan mudah? Ketika itu Disney lahir dalam sebuah
keluarga yang miskin dan setiap hari ia harus bangun pk. 03.30 pagi untuk
membantu ayahnya mengantarkan koran-koran pada pelanggan. Setelah
dewasa, Disney mencoba masuk ke dinas ketentaraan, namun usahanya
gagal. Kemudian ia pun mencoba lagi untuk melamar pekerjaan ke berbagai
perusahaan, tetapi lagi-lagi ditolak. Saat itu ia merasa sangat sedih
dan bingung,
Saudara,
rasanya ia tidak memiliki keahlian khusus lain yang dapat ia jadikan sebagai
nilai jualnya, kecuali kecintaannya pada menggambar. Karena itu
perlahan-lahan ia mencoba mengembangkan kemampuannya ini dan memberanikan
diri untuk mengirimkan gambar kartunnya ke berbagai studio.
Hasilnya? Kembali ia ditolak oleh mereka karena karyanya dianggap
kurang menarik. Namun karena kegigihannya, ia pun berhasil mendapatkan
kontrak dengan sebuah studio kecil. Saya kira tidak ada satu orang pun
yang pernah membayangkan, bahwa ketika film kartun buatannya yang berjudul Alice
in The Wonderland itu diputar, cerita tersebut berhasil menduduki peringkat
pertama film Amerika selama tiga tahun berturut-turut. Rasanya tidak
ada satu orangpun yang pernah membayangkan bahwa dari talenta menggambar yang
ia miliki, Disney akhirnya berhasil mendirikan sebuah studio sendiri yang
kemudian bisa menciptakan tokoh-tokoh kartun penting lainnya seperti Donald
Duck, Mickey Mouse, Snow White, Cinderella, dan masih banyak lagi. Dan
rasanya tidak ada satu orangpun yang pernah membayangkan bahwa lewat
kesungguhannya menggunakan dan mengembangkan talenta itu, ia berhasil mengumpulkan
uang yang kemudian digunakannya untuk mendirikan sebuah taman bermain bagi
anak-anak di seluruh dunia, yang dikenal dengan nama The Disneylands.
Saudara,
mari kita bayangkan sejenak, kira-kira apa yang akan terjadi bila pada waktu
itu Disney tidak sungguh-sungguh menyadari talenta yang ia miliki dan tidak
berusaha untuk mengembangkannya dengan maksimal? Tampaknya ia bukan
hanya akan kehilangan seluruh kesuksesan yang telah ia raih selama ini,
tetapi ia sendiripun tidak akan pernah menyadari bahwa di dalam dirinya
ternyata tersimpan sebuah talenta yang begitu berharga, yang ketika ia
kembangkan dapat menjadi berkat bagi orang-orang di seluruh dunia. Saudara,
bukan hanya Walt Disney, tetapi setiap kita di tempat ini pun juga telah
dipercayakan mutiara talenta yang begitu berharga untuk kita kembangkan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah menyadarinya?
Sudahkah kita menggunakannya secara maksimal? Atau jangan-jangan
mutiara talenta tersebut sama sekali belum kita sentuh dan belum kita
kenali...
I.
Ada pembagian talenta-talenta dan terjadi perbedaan dalam pengelolaannya
(tidak dibacakan)
Penjelasan
Saudara,
persoalan mengenai talenta ini bukanlah satu persoalan yang dianggap sepele
oleh Tuhan Yesus. Ketika Yesus memberitakan kebenaran tentang
kedatangan-Nya nanti yang kedua, issue mengenai talenta menjadi satu bagian
penting yang disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya. Waktu itu Yesus
ingin, saat Ia pergi, para murid dapat setia menggunakan seluruh talenta yang
telah dipercayakan pada mereka. Yesus pun mengumpamakannya seperti
seorang tuan kaya yang berencana untuk bepergian ke luar negeri dalam tempo
yang cukup lama. Sang tuan ini kemudian memanggil ketiga orang hambanya
dan mempercayakan hartanya untuk dikelola oleh mereka. Saudara, Yesus
di sini sesungguhnya memberikan penggambaran yang sangat menarik.
Setiap kita mungkin tidak merasa heran ketika mendengar cerita seperti
ini. Namun, tidak demikian halnya kalau kita hidup di zaman dulu.
“Mempercayakan harta kepada hamba” adalah sebuah kejadian yang tidak biasa
dan tidak akan pernah didengar oleh siapapun juga pada saat itu karena
kedudukan seorang hamba dianggap sangat rendah. Hamba di zaman dulu itu
tidak punya kesempatan untuk memiliki sesuatu, bahkan atas hidupnya sendiri
saja mereka tidak punya hak apa-apa. Seumur hidup, mereka adalah milik
tuannya.
Karena
itulah, kesempatan untuk mengelola harta milik sang tuan sesungguhnya adalah
suatu anugerah dan kepercayaan yang luar biasa. Dan, kepercayaan yang
tuannya berikan ini tidak main-main. Hamba yang pertama diberi lima
talenta, hamba yang kedua diberi dua, dan yang ketiga diberi satu talenta,
masing-masing menurut kesanggupannya. Saudara, talenta merupakan satuan
mata uang yang terbesar di zaman itu. Seorang pekerja kira-kira harus
bekerja 20 tahun untuk bisa mendapatkan satu talenta saja, itupun tanpa
dipotong biaya makan dan biaya hidup lainnya. Jadi meskipun hanya
mendapat satu talenta, jumlah tersebut bukanlah jumlah yang patut diremehkan
dan lebih dari cukup bagi seorang hamba untuk mulai berusaha. Dapatkah
Saudara bayangkan bagaimana kira-kira perasaan ketiga hamba ini ketika diberi
kepercayaan untuk mengelola harta tuannya yang begitu besar?
Alkitab
mengatakan bahwa hamba yang pertama dan kedua ini “segera pergi” untuk
menjalankan uang tersebut. Frasa “segera pergi” di sini
sesungguhnya merupakan bukti bahwa mereka tahu dengan jelas tanggung jawab
besar yang telah dipercayakan tuannya dan mereka pun langsung berusaha
mengerjakannya tanpa ditunda. Kedua hamba ini tidak hanya duduk
berlipat tangan sambil menunggu keuntungan datang kepadanya, namun mereka
sungguh-sungguh berusaha keras melangkahkan kakinya mencari keuntungan.
Dan benar saja, jerih payah mereka tidak sia-sia. Kedua hamba ini
dikatakan berhasil menggandakan uangnya serta meraih keuntungan sebanyak
100%.
Namun, hal
ini kontras sekali dengan apa yang dilakukan oleh hamba ketiga. Hamba
yang memperoleh satu talenta ini lebih memilih untuk pergi dan menggali
lobang di dalam tanah, lalu menyembunyikan uang tuannya di sana.
Saudara, kita memang tidak tahu apa yang menjadi alasan di balik semua
tindakannya itu. Alkitab sendiri pun tidak pernah memberikan gambaran
yang jelas mengenai motif dari tindakannya. Akan tetapi satu hal yang
dapat kita ketahui bersama adalah bahwa menurut hukum rabinik pada zaman itu,
tindakan menguburkan talenta merupakan tindakan yang dinilai paling aman
untuk menghindari kerugian. Jadi kalau mau dipikir secara logis,
tindakan menguburkan talenta sebenarnya adalah tindakan paling tepat yang
dapat ditempuh seseorang untuk membebaskannya dari kerugian yang mungkin
terjadi. Uang yang telah dipercayakan oleh tuannya ini tidak akan
berkurang sedikitpun. Tetapi yang menjadi permasalahannya adalah apakah
itu yang dikehendaki oleh tuannya? Saudara, sebenarnya pembagian talenta ini
dimaksudkan agar para hamba dapat bekerja bagi tuannya, dan bukannya berdiam
diri seperti ini. Pembagian talenta dimaksudkan untuk memampukan hamba
ini meningkatkan keuntungan tuannya, dan bukannya dikubur tanpa memperoleh
keuntungan sedikit pun.
Ilustrasi
SS,
beberapa waktu yang lalu seorang rekan saya bercerita dengan antusiasnya
bahwa sekarang ia telah memiliki sebuah handphone yang baru. Dengan
wajah sumringah ia berkata, “Kamu tahu gak kalo handphone ini tuh adalah handphone
yang sudah lama kuidam-idamkan! Modelnya baru dan keren banget!”
Pada waktu itu saya benar-benar senang ketika mengetahui bahwa
impiannya untuk memiliki handphone ini akhirnya terkabul juga. Kemudian
saya pun bertanya pada dia, “Memangnya di handphone-mu itu ada fasilitas apa
aja seh?” Kemudia dia menjawab, “Wahhh buaanyyaaaakkkkkk! Semua
bisa, lengkap deh pokoknya, namanya juga handphone canggih!” “Berarti
kamu uda bisa facebook-an dari handphone-mu dong?” Dengan muka memerah
dan tersenyum lebar dia berkata, “Nah itu dia masalahnya, gue kagak tau cara
pakenya!! Hehehe, ajarin dong!” Oh Saudara, untung tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak, handphone yang begitu canggih, yang dilengkapi
dengan fasilitas kamera, MP3, internet, face-book, e-mail, menjadi sia-sia
karena hanya digunakan sebatas telepon dan sms! Sungguh sangat
disayangkan bukan? Seluruh fitur canggih pada handphone tersebut
akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya hanya karena pemilik HP
tersebut tidak berusaha untuk menggunakan dan mengoptimalkannya.
Aplikasi
Saudara-Saudara,
mungkin kita saat ini bisa tersenyum-senyum geli ketika mendengar kisah
“kegaptekan” rekan saya ini. Tapi bukankah kalau mau jujur, kita pun
seringkali “gaptek” di dalam mengenali talenta-talenta yang telah Tuhan
percayakan pada kita? Atau mungkin juga ada diantara kita yang sudah
tahu apa talenta-talenta kita, namun belum menggunakannya secara
maksimal? Harus saya akui, saya pun pernah menjadi orang yang seperti
ini. Jangankan berusaha untuk mengembangkan talenta yang saya miliki,
menggunakan pun rasanya sangat jarang. Bahkan saya juga sempat tidak
mengetahui apa yang menjadi talenta saya. Namun saya kemudian disadarkan
bahwa sesungguhnya talenta yang telah Tuhan percayakan itu bukan untuk
disimpan, namun harusnya dipakai dan dikembalikan bagi kemuliaan Tuhan.
Hal ini pula yang Tuhan mau dari setiap engkau, Saudara, sadarilah
bahwa sesungguhnya Tuhan telah memberikan pada kita mutiara talenta yang
begitu berharga, yang sesuai dengan kapasitas dan panggilan kita di dunia
ini. Ada yang diberi talenta berbicara di depan audience, menyanyi,
memimpin pujian, bermain drama, menggambar, fasih dalam berbicara, dan masih
banyak lagi. Ada pula diantara kita yang dipercaya lima, dua, atau
mungkin hanya satu talenta. Namun, apapun jenisnya dan berapapun jumlah
talenta yang dipercayakan, kita tetap harus sungguh-sungguh menemukan,
mengolah, dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan serta menjadi berkat bagi
orang-orang di sekitar kita.
Dan
ketahuilah Saudara bahwa setiap keputusan yang kita ambil, entah itu setia
dalam mengelola talenta yang telah Tuhan percayakan maupun mengabaikannya
begitu saja, sesungguhnya akan membawa kita pada suatu konsekuensi...
II.
Ada penghitungan atas pekerjaan mereka (tidak dibacakan)
Penjelasan
Saudara,
kita kembali pada kisah Alkitab tadi. Lama setelah itu dikatakan bahwa sang
tuan akhirnya pulang, lalu mengadakan perhitungan dengan ketiga orang
hambanya. Perhitungan pun dilakukan sesuai waktu dan urutannya, dimulai
dari hamba pertama. Hamba yang pertama datang bukan hanya dengan lima
talenta yang dia terima, tetapi juga dengan lima talenta yang
dihasilkannya. Hamba ini dapat mendekati tuannya dengan perasaan bebas
karena ia telah melakukan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh dan
setia. Hamba ini mengakui dengan rasa syukur atas kesediaan tuannya
memberikan sesuatu kepadanya. Ini dapat dilihat dari pernyataan, “Tuan,
lima talenta tuan percayakan kepadaku. Kemudian dia melanjutkan,
“lihat, aku telah beroleh laba lima talenta.” “Lima talenta lainnya”
ini berasal dari kata alla talanta (άλλα τάλαντα), yang memberikan suatu
ekspresi penekanan; bukan hanya pada talenta-talenta yang sebelumnya telah ia
miliki, namun juga pada talenta-talenta lain yang telah berhasil diperoleh.
Dan
kesenangan itu menjadi semakin sempurna saat tuannya pun memberikan pujian
serta hadiah kepada hamba tersebut, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku
yang baik dan setia. Engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam
perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara
yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”
Hal yang sama rupanya dialami juga oleh hamba yang kedua. Kemurahan
hati tuannya ini ternyata tidak berkurang sedikit pun. Sang tuan tetap
memberikan penghargaan yang sama seperti yang telah diberikan pada hamba yang
pertama.
Namun saat
hamba yang ketiga datang untuk memberikan pertanggungjawaban, suasana pun berubah.
Bukannya segera mengembalikan uang tersebut, hamba ini justru mengeluarkan
dulu sedikit perkataan, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam
yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut di mana
tuan tidak menanam.” Saudara, coba perhatikan baik-baik. Saat
berbicara, hamba ini rupanya tetap menggunakan panggilan sopan yang sama
dengan kedua hamba lainnya, yaitu “Sir” atau “tuan”, namun pada kenyataannya
ia memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai tuannya. Berbeda
dengan kedua rekannya, hamba ini justru menganggap tuannya sebagai orang yang
kejam, yang menuai di tempat di mana ia tidak menabur dan memungut di mana ia
tidak menanam. Karena alasan inilah hamba itu takut dan pergi
menyembunyikan talenta tuannya di dalam tanah.
Saudara,
hamba yang ketiga ini kemudian mencoba memberikan pertanggungjawaban kepada
tuannya. Dia mengandalkan dalih karena takut menanggung resiko, maka
dia menggali lubang di dalam tanah dan menguburkan uangnya. Akibatnya
ia mampu berkata, “Ini, terimalah kepunyaan tuan! Kata “ini” berasal
dari kata ide (ϊδε) yang artinya look, yang seolah-olah mengatakan bahwa dia
memang tidak dapat menggandakan talenta tersebut seperti yang dilakukan oleh
teman-temannya, tetapi dia juga ingin menyampaikan bahwa talenta tuannya
tersebut tidak berkurang sedikit pun. Jadi kalau diterjemahkan, kurang
lebih hamba itu berkata: “Look, you have what is yours.” Terlihat
sekali dari pernyataannya bahwa hamba tersebut berbicara seolah-olah yang dia
lakukan itu bukanlah kesalahan besar. Malah, tampaknya dia merasa layak
memperoleh pujian atas sikapnya yang berhati-hati dengan menyimpan talenta
itu di tempat yang aman dan tidak membahayakan. Di sini ia mengira
bahwa dalihnya itu akan berhasil sehingga dia akan selamat dari
hukuman.
Saudara, kalau
mau dikoreksi, bukankah kita juga sering menciptakan alasan atas setiap
kesalahan yang telah kita lakukan. Pikiran kita otomatis bekerja untuk mencari
alasan agar kita dapat terhindar dari hukuman yang mungkin akan kita alami.
Jika di dunia ini ada “sekolah khusus untuk membuat alasan”, maka
setiap kita mungkin telah mendapatkan gelar doktor atau bahkan mungkin ada
diantara kita yang sudah mendapatkan gelar profesor. Betapa mudahnya
kita menyalahkan orang-orang di sekitar kita dan bahkan pada Tuhan
sendiri. Di dunia, kita mungkin masih bisa berbuat begini. Tapi kelak,
saat penghakiman-Nya tiba, kita tidak akan dapat berkelit lagi, persis
seperti yang dialami hamba ketiga ini…
Secara
mengejutkan, sang tuan ini justru berkata kepada hambanya (ay. 26-27), “Hai
kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di
tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak
menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada
orang yang menjalankan uang, supaya sekembalinya aku menerimanya serta dengan
bunganya.” Saudara, pada bagian ini sebenarnya sang tuan sedang mencoba
untuk mengatakan bahwa jika sang hamba tahu kalau tuannya kejam, maka sudah
sepatutnyalah ia melakukan kebalikan dari apa yang telah dilakukannya.
Artinya, jika sang tuan adalah seorang yang kejam, bukankah hamba ini
seharusnya menjadi lebih rajin dan lebih bersungguh-sungguh lagi untuk
menyenangkan sang tuan? Setidaknya kalau bukan demi kasih maka rasa takut
itulah yang harusnya membuat hamba ini bekerja. Atau jika sang hamba
menganggap bahwa sang tuan menuai di tempat di mana ia tidak menabur, maka
hal itu sesungguhnya tidak ada urusannya dengan diri sang hamba karena tuannyalah
pemilik dari talenta tersebut dan ia jelas menghendaki supaya talenta itu
dikembangkan.” Saudara, dakwaan-dakwaan tersebut rupanya mampu
menyadarkan dan membungkam hamba ini sehingga ia tidak dapat membela dirinya
lagi.
Setelah
memarahi hamba tersebut dan membuatnya jelas mengapa dia dipersalahkan, sang
tuan pun mengambil tindakan yang sangat tegas. Katanya, “Sebab itu…”
Saudara, kata “sebab itu” sangatlah penting karena menunjukkan hubungan
sebab akibat. Di sini jelas sekali digambarkan bahwa tuannya itu bukan
orang yang bertindak semena-mena. Hamba yang telah diberi kepercayaan
ini telah menyia-nyiakan kepercayaan yang tuannya telah berikan, “sebab itu”
ia layak menerima konsekuensinya.
Ilustrasi
Saudara,
suatu hari seorang sahabat saya mengirimkan sebuah sms singkat pada saya,
“ntar kalo loe uda pulang cepet telepon gue yah. Gue lagi bener-bener
sedih!” Saudara, tidak biasanya ia mengirim sms yang seperti ini.
Dengan penuh kecemasan, akhirnya saya pun segera meneleponnya dan bertanya
ada masalah apa. Dengan terisak ia pun menceritakan bahwa hari itu ia
telah dipecat dari pekerjaannya di Jakarta. Setelah ia cukup tenang,
saya pun kemudian bertanya apa yang menyebabkan perusahaan tersebut
memecatnya? Sahabat saya ini kemudian bercerita kalau selama ini dia
itu dianggap tidak menunjukkan kinerja yang baik selama bekerja di
sana. Sebagai karyawan, ia dinilai kurang bertanggung jawab menjalankan
pekerjaannya sehingga perusahaan pun akhirnya memecatnya. Saudara,
setiap kita yang pernah bekerja tentu menyadari sekali akan aturan-aturan
seperti ini. Ada punishment yang akan perusahaan berikan kepada
karyawan yang dinilai tidak bertanggung jawab menjalankan tanggung
jawabnya. Namun di balik itu, perusahaan pun akan menyediakan reward
bagi karyawan yang dinilai baik dalam pekerjaannya. Dan setiap kita
bisa mengalami kejadian seperti yang teman saya alami.
Saudara,
jika perusahaan di dunia ini saja dapat memberlakukan aturan seperti
ini, apalagi Tuhan yang jelas-jelas adalah pemilik seluruh hidup kita dan
juga atas talenta-talenta kita. Bukankah Ia jauh lebih berhak untuk
meminta pertanggungjawaban setiap kita dalam menggunakan seluruh talenta yang
telah Ia percayakan?
Aplikasi
Saudara,
sadarilah bahwa menggunakan talenta itu bukan suatu pilihan, namun merupakan
satu keharusan bagi setiap kita di tempat ini. Ia memiliki
tujuan-tujuan ilahi ketika mempercayakannya pada kita dan kita harus berusaha
sekuat tenaga untuk mencapai tujuan tersebut. Dan ada waktunya, di mana
setiap kita harus mempertanggungjawabkan hal ini. Pada saat penghakiman
terakhir setiap kita akan dihakimi sesuai dengan kesetiaan kita menggunakan
talenta yang telah Tuhan percayakan. Saudara, kebenaran ini sesungguhnya
bukan untuk menakut-nakuti setiap kita. Tapi kita diajak untuk
mengintropeksi diri kita, apakah selama ini kita telah setia dalam
menggunakan apa yang telah Tuhan percayakan. Selagi masih ada waktu,
selagi masih ada kesempatan, mari pergunakan seluruh talenta itu dengan
sebaik-baiknya.
Penutup
Jadi
jelaslah Sdr bahwa talenta yang telah Tuhan percayakan adalah suatu anugerah
yang luar biasa bagi kita. Kita dapat dipercaya untuk melayani Allah
dan juga menjadi rekan sekerja-Nya di tengah dunia ini. Mari kita
syukuri hal ini. Bertanggung jawablah untuk sungguh-sungguh menemukan,
mengolah, dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan serta menjadi berkat bagi
orang di sekitar kita, sehingga kelak Tuhan akan bisa berkata, “Baik sekali
perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul
tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu
tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam
kebahagiaan tuanmu.”
Amin.
|