“Sunat
adalah sunat di dalam hati.”
Kita diselamatkan ketika kita percaya di dalam hati. Kita harus diselamatkan di
dalam hati. Allah berkata, “sunat ialah
sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah; Maka pujian
baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah” (Roma 2:29). Kita
harus memiliki pengampunan dosa didalam
hati kita. Kalau kita tidak memiliki pengampunan dosa di dalam hati kita,
maka hal itu tidak sah. Manusia memiliki “bagian rohani dan bagian lahiriah,”
dan setiap orang harus menerima pengampunan dosa di dalam bagian rohaninya.
Dalam perikop ini,
Paulus menafsirkan Hukum Taurat dan Sunat. Sebenarnya Paulus menafsirkan kedua
hal ini dari Perjanjian Lama yang membahas tentang Hukum Taurat dan Sunat
seperti Ul. 30:6; Yes. 52:5, dibandingkan denganYer. 7:4-15; Yer. 9:23-24.
Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu disoroti dengan
teliti yaitu Hukum Taurat dan Sunat.
Bagi orang Yahudi, Hukum Taurat sangat besar peranannya dan inilah yang menjadi
dasar pandangan orang Yahudi tentang dirinya sendiri terhadap keselamatan yang
akan diperoleh. Namun Paulus memberikan paradigma baru tentang hal ini. Dalam
perikop ini, Paulus menggunakan sastra Yunani yang disebut diatribe (serangan yang penuh Ironi). Paulus menjelaskan bahwa
status istimewa sebagai Yahudi tidak menyebabkan Yahudi terlindung dari hukuman
terakhir.
Dari
ayat 17-24, bahwa dengan Hukum
Taurat bukan berarti terlindung dari Hukum Tuhan. Buktinya, kehadiran Hukum
Taurat tidak mencegah orang Yahudi melakukan dosa seperti yang dianggap sebagai
dosa kafir. Maka dihadapan pengadilan Allah, orang Yahudi sama saja
kedudukannya dengan orang kafir.
Pandangan Paulus ini
juga berlaku terhadap setiap insan
manusia, termasuk orang Yahudi karena ini juga yang dikatakan oleh Yesus
dalam Mat. 5:21-48, Paulus
melancarkan kecaman kepada orang Yahudi dan orang kafir (1:18-22) agar mencari
keselamatan dalam Yesus Kristus.
Dalam ayat 25-29,
Paulus berbicara tentang pandangan Yahudi yang membedakan Yahudi dengan orang
kafir yaitu sunat. Paradigma baru : Paulus menegaskan bahwa sunat itu sendiri
tidak menjadi sarana keselamatan, sebab yang penting ialah berbuat baik (ayat
10). Paulus mengecam orang Yahudi Kristen karena mereka menganggap dirinya aman
dari hukuman Allah berdasarkan status mereka selaku umat perjanjian. Dalam ayat
29a, Paulus mengecam mereka karena memahami Hukum Taurat secara hukumiah,
artinya : seolah-olah manusia wajib memenuhi tuntutan hukum, sedangkan Tuhan
wajib memberi keselamatan sebagai upah upaya itu (timbal balik). Paham hukumiah
mengenai Hukum Taurat membuktikan penekanan status eksklusif selaku umat Tuhan
dan ini berdampak pada Hukum Taurat.
Dalam
Hukum Taurat mereka memperoleh pengenalan Allah dan kebenaran. Dengan demikian kelebihan orang
Yahudi digambarkan terutama dengan dua kata kerja yaitu kauxasthai dan katexoumenos yang
berlokasi pada Hukum Taurat.
Paulus
menunjuk kepada kejujuran
Allah yang menghukumi orang yang bersalah sama dengan hukuman yang serupa.
Orang Yahudi yang menghukumi orang Kafir akan menghukumi dirinya sendiri karena
mereka melakukan hal serupa dengan orang kafir. Dari itu orang Yahudi dan Kafir
berdiri di bawah ukuran dan tuduhan dan dakwaan yang serupa. Allah tidak
memandang bulu (berdasarkan pasal 2;12-16). Kelebihan orang Yahudi yang
didasarkan Hukum Taurat yang tertulis, yakni sebagai penyataan yang mengikat
dari kemauan Allah (pasl 2;17-24) dan atas sunat sebagai pertanda kesetiaan
persekutuan Allah (pasal 2:25-29) adalah tanda kekuatan di hadapan penghakiman
Allah, tanpa pemenuhannya yang sempurna.
Mempunyai
Hukum Taurat bukanlah ukuran kelebihan mereka, karena orang kafir pun mengenal Hukum Taurat (pasal
2:14-15). Kepada orang Yahudi dan kepada orang Kafir yang mereka hukumi berlaku
ukuran yang sama. Bisa juga dikatakan orang yang mengerjakan Hukum Taurat
itulah yang akan dibenarkan oleh Allah (2:13).
Diperhadapkan
dengan keselamatan
yang telah mulai Nampak sejak perbuatan pertolongan Allah dalam kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus, kelebihan orang Yahudi terhadap orang Kafir telah
menjadi sia-sia. Baik orang Yahudi, baik orang Yunani adalah jatuh ke dalam
dosa (3:9-20). Pengadilan Allah adalah didasarkan atas kebenaran (ayat 11) yang
menjadi ukuran bukan karena atas nama hak (Privilegien).
Paulus juga memberikan
pertanyaan-pertanyaan retorik untuk menyindir orang Yahudi secara keras. Oleh
karena itulah orang Yahudi tidak menyenangi Paulus. Setelah Paulus menunjukkan
bahwa baik orang Kafir dan orang Yahudi harus dihukumi menurut Hukum Taurat,
sekarang Paulus mengatakan pelanggaran Hukum Taurat orang Yahudi 92;17-24) yang
sesuai dengan tuduhan orang Kafir itu (1:18-32).
Paulus memperdebatkan
soal kepercayaan oran Yahudi atas kepemilikan Hukum Taurat untuk jaminan atas
keselamatan mereka. Dengan sangat jelas dikatakan bahwa ukuran dari pengadilan
Allah tersebut bahwa Hukum Taurat dapat berfaedah jika dapat dilakukan secara
sempurna. Tetapi dalam kenyataannya justru yang sebaliknya terjadi yaitu betapa
dalamnya jurang pemisah antara kelebihan-kelebihan dan tuntutan orang Yahudi
dengan cara hidup mereka. Kelebihan yang banyak ini dikatakan Paulusa dalam
kalimat-kalimat pertanyaan ironisnya ataupun retorik. Demikian lah Hukum Taurat
itu menjadi hal yang menentukan kepada mana orang Yahudi bersandar sebagai
jaminan keselamatan .
Atas dasar kepemilikan
pengetahuan akan kehendak Allah melalui Hukum Taurat sehingga mereka yakin menjadi penuntun orang buta, menjadi terang bagi orang yang berada dalam kegelapan, pendidik orang bodoh dan pengajar
orang yang belum dewasa (ay.19-20). Mungkin saja ini berasal dari bahasa
mission dari suatu kelompok Yahudi Hellenis tertentu. Mereka merasa dirinya
lebih tinggi sebagai “pemilik dan jurubicara rahasia-rahasia Allah”. Dakwaan
Paulus sangat hebat dalam hal sunat (2:25-29). Hukum Taurat dan sunat adalah
tonggak-tonggak utama dari perasaan terpilih orang Yahudi yang tak boleh
diganggu gugat. Sebenarnya sunat itu adalah bagian daripada Hukum Taurat dan
berakar padanya. Bagi orang Yahudi, itu adalah tanda keikutsertaan Israel dalam
perjanjian persekutuan dengan Allah, sebagai suatu materai yang paling pasti
dari pemilihan Allah dan sebagai tanda pengenal absolute dari kelebihan agama
mereka terhadap bangsa-bangsa lain. Walaupun sebenarnya bukan hanya orang
Yahudi yang melakukan sunat, namun mereka melihat sunat yang tertera dalam
Hukum Taurat itu sebagai sesuatu yang sama sekali lain dan tersendiri. Dalam
hal tertentu, sunat itu mempunyai
kesamaan bagi mereka dengan sakramen yang memberikan suatu karakter
indelibilis, jadi suatu jaminan keselamatan yang nampak.
Penyanjungan hebat
atas sunat ini ditolak oleh Paulus. Dalam 2: 25 Paulus tidak melawani kenyataan
sunat sebagai materai perjanjian persekutuan yang diberikan Allah kepada
Israel. Tetapi dengan 25, Paulus sangat cepat menyerang bahwa sunat itu sendiri
hamper sama otomatis mempunyai kekuatan menyelamatkan. Faedah dari sunat itu
bergantung hanya dari perbuatan Hukum Taurat. Hukum Taurat dan sunat tidaklah
dapat dipisahkan. Pemenuhan Hukum Tauratlah yang membuat pelaksanaan penyunatan
berguna untuk keselamatan (ay. 25a), berarti disini perbuatan yang mempunyai
suatu pengenaan langsung dengan pengadilan penghukuman, dengan mana orang
dihakimi.
Dengan sangat agresif
Paulus mengkonfrontir tuntutan-tuntutan
orang Yahudi dengan kenyataan prilaku mereka 2:21-24; 2;25). Perbuatan mereka berdiri bertolak belakang dengan
tuntutan-tuntutannya. Mereka mengajar
orang lain, bukan dirinya sendiri. Paulus mengutarakan sebagian Hukum
Taurat yang sepuluh itu tanpa urutannya yaitu pencurian (21), zinah (22), dan
gambar berhala (23). Mereka jijik akan gambar berhala, namun mereka sendiri merampok rumah berhala. Perampokan yang
dimaksud di sini bukan terjadi di dalam Bait orang Yahudi tetapi di rumah berhala orang kafir. Orang Yahudi
sejati itu tidak nampak kejahudiannya, artinya bukan hanya hal batin yang tidak
nampak, tetapi seluruh eksistensinya berada dalam rahasia kepribadian, yang
baru akan dinyatakan pada eskaton, tetapi sebaliknya juga bahwa kesalehan
adalah termasuk hal yang nampak. Paulus mematahkan hak-hak keselamatan orang
Yahudi untuk menujukkan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah.
Paulus tidak berbicara
mengenai sunat lahiriah, tetapi sunat di
dalam hati secara rohani, pengampunan dosa adalah di dalam hati. Kalau ada
orang-orang yang tidak mau berbicara mengenai percaya secara lahiriah, tetapi
yang dikatakan adalah percaya dalam hati. Allah berkata di dalam hati kita
ketika kita menjadi anak-anakNya. Rasul Paulus tidak menempatkan pengharapannya
kepada hal-hal yang lahiriah. Mereka yang dosa-dosanya sudah dihapuskan juga
memiliki manusia lahiriah dan rohani.
Manusia lahiriah sudah disalibkan ketika Yesus Kristus disalibkan. Kita menjadi
kudus dan benar dengan percaya di dalam hati, bukan menurut perbuatan manusia
lahiriah kita. Oleh karena itulah hati
menjadi hal yang sangat penting di hadapan Allah.
Sebenarnya bangsa
Yahudi menurut Paulus sudah menjadi batu sandungan bagi bangsa-bangsa lain. Hal
ini dikarenakan bangsa Yahudi yang seharusnya benar-benar melakukan Hukum
Taurat dengan sungguh-sungguh tetapi justru Yahudi sendiri yang melakukan
kesalahan terhadap Hukum Taurat bahkan memegahkan diri atas Hukum Taurat dan
Sunat yang mereka miliki. Bangsa Yahudi berani mengatakan bangsa-bangsa lain
berada dalam kegelapan bahkan dikatakan buta. Disinilah Paulus memberikan
tekanan terhadap Yahudi dengan diatribe itu. Oleh karena itu mungkin saja pada
masa itu jugalah ada pandangan dari bangsa-bangsa lain yaitu Allah orang Yahudi
adalah Allah yang menyatakan Hukum Taurat dan Allah juga memberikan batu
sandungan. Sebenarnya Paulus juga sangat menghargai Hukum Taurat dan Sunat
(Roma 7) tetapi Paulus melihat ada paradigma yang salah dari bangsa Yahudi
dalam memahami Hukum Taurat termasuk keselamatan yang dianggap datang dari
Hukum Taurat. Amen RHL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar