Nabi Yeremia tampil
sebagai teladan, pemimpin suruhan Tuhan dengan memiliki integritas pribadi
kuat. Ketika diancam untuk dibunuh karena memberitakan kebenaran Firman Tuhan,
ia tidak gentar atau mundur dari pemberitaannya. Yeremia tidak saja sadar akan
statusnya sebagai utusan Allah, tetapi juga berusaha mengawal status itu agar
tidak gugur, sekalipun menghadapi ancaman maut. Sebuah pribadi yang konsekwen
memberitakan pertobatan semesta, agar umat dan warga kota selamat.
Umat Tuhan dengan
pongahnya mengandalkan kemegahan kota, kesalehan ibadahnya dan lebih suka
murtad daripada bertobat. Sadar atau tidak, umat dan masyarakat sedang
menciptakan malapetaka. Fatal memang! Namun nyatanya begitu! Mari para pendeta,
binalah kesadaran pribadi, lakukan tugas panggilanmu dengan setia, mungkin umat
dan masyarakat mau bertobat. Dengan jalan itu Tuhan mau menyesal akan
malapetaka yang telah dirancang-Nya dan berbalik memulihkan umat dan masyarakat
dengan cinta kasih-Nya.
1.Latar
belakang dan kehidupan Yeremia di zamannya. Pada dekade terakhir
pemerintahan Manasye, pemerintahan terlama dan tersuram dalam sejarah Yehuda,
lahirlah dua anak laki-laki sebagai pemberian Allah kepada bangsa yang sedang
dilanda kemerosotan dan kehancuran moral itu. Pemerintahan yang berlangsung sekitar
setengah abad ini diwarnai dengan maraknya kembali praktik penyembahan
dewa-dewa Kanaan dan Asyur, praktik kuasa-kuasa gelap, pengorbanan manusia
(termasuk dalam keluarga raja sendiri) dan sistem peradilan yang bobrok. Semua
ini menjadi bahan cemoohan, sebagaimana tertulis dalam 2 Raja-raja 21:16, “Lagipula
Manasye mencurahkan darah orang yang tidak bersalah sedemikian banyak, hingga
dipenuhinya Yerusalem dari ujung ke
ujung…”
Kedua
anak laki-laki pemberian Tuhan itu adalah Yosia, yang lahir tahun 648 sM,
dan Yeremia, yang mungkin lebih muda tapi masih sebaya (ketika dipanggil
Tuhan menjadi nabi tahun 627, Yeremia enggan menerima panggilan itu karena
merasa terlalu mudah; dan pelayanannya yang sulit selama lebih 40 tahun
menunjukkan bahwa ia memang masih muda sewaktu dipanggil menjadi nabi). Sebagai
raja yang bersemangat reformis dan nabi yang tegas, keduanya membuka peluang
terbaik sekaligus harapan terakhir bagi pembaruan agar negeri itu bisa tetap
sebagai kerajaan Daud.
Yeremia
adalah anak Hilkia yang tinggal di Anatot. Hilkia berasal dari keturunan
imam-imam. Yeremia dipanggil untuk mengabarkan hukuman yang akan datang oleh
Allah atas bangsaNya dan yang akan dilaksanakan dengan jatuhnya Yehuda dan
Yerusalem dengan pembuangan ke Babylon.
Dalam
kitab Yeremia, kita menemukan bahwa Yeremia adalah hamba Tuhan yang senantiasa
bergumul untuk melaksanakan panggilannya. Dia sering merasa seorang diri
menghadapi nabi-nabi palsu. Dia ditolak dan difitnah oleh para pendengarnya.
Beberapa Yeremia dipenjarakan. Dua kali nyaris meninggal. Tekanan yang
dialaminya hampir membuat ia frustasi (lih. Yeremia 20:7-18). Namun menghadapi
apapun, Yeremia tetap hidup sesuai dengan firman Tuhan yang dipercayakan
kepadanya.
Ketika
Yeremia dipanggil, pada saat itu kekuatan Asyur sedang hancur dan kemerdekaan
bagi Yehuda sangatlah besar peluangnya. Namun optimisme itu tidak dibarengi
dengan realita bangsa Yehuda ketika itu. Yeremia melihat banyak hal yang salah
di dalam bangsanya. Mereka telah mengabaikan hukum-hukum Perjanjian Tuhan dan
harus membayar harga ketidaktaatan mereka. Suatu hari Yeremia melihat pohon
badam berbunga. Kata Ibrani untuk badam berbunyi seperti sebuah kata Ibrani
lainnya yang berarti mengawasi. Yeremia melihat pohon ini sebagai tanda bahwa
Allah mengawasi umatNya, mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan keputusan
penghancurannya (Yer.1:11-12). Ketika ia melihat periuk yang berisi air
mendidih di atas api yang diembus oleh angin dari utara, ia menyadari bahwa di
dalamnya juga ada berita. Murka Allah telah hampir menimpa Yehuda, “…Dari
utara akan mengamuk malapetaka menimpa segala penduduk negeri ini. Sebab
sesungguhnya, Aku memanggil segala kaum kerajaan sebelah utara, demikianlah
firman TUHAN, dan mereka akan datang dan mendirikan takhtanya masing-masing di
mulut pintu-pintu gerbang Yerusalem, dekat segala tembok di sekelilingnya dan
dekat segala kota Yehuda. Maka Aku akan menjatuhkan hukuman-Ku atas mereka…” (Yer.1:13-16).
Tetapi,
tantangan Yeremia bukan hanya dari para musuhnya. Ia juga memiliki masalah sendiri
dengan berita yang diberikan Allah kepadanya. Kalau berita itu sungguh benar,
mengapa tidak seorang pun menerimanya? Bagaimanapun, Yeremia tidak menolak
panggilan Allah, meskipun ia ingin melakukan itu. Ia membiarkan dirinya tidak
dipercaya dan diolok-olok, dan telah terlibat dalam perdebatan yang tidak
kunjung berakhir (Yer.15:10-21). Yeremia telah menyerahkan kesenangan manusia
yang umum dimiliki orang, yaitu rumah tangga dan keluarga demi menjadi juru
bicara Allah, dan ia merasa Allah telah menipunya. Yeremia juga harus belajar
sesuatu yang sulit, dan beberapa bagian yang paling menarik dari kitabnya diisi
dengan pemeriksaan diri seperti ini. Tetapi, ia juga belajar pelajaran baru
yang penting karena dari krisis kehidupannya sendiri ia menemukan arti mempercayai
Tuhan secara pribadi dan hidup.
2.
Nubuat yang berani dan akibatnya (26:1-24).
a.
Nubuat (26:1-6). Laporan yang lebih rinci atau versi yang lebih
panjang dari khotbah epistel ini, terdapat dalam Yer.7. Nas ini menunjukkan
awal pemerintahan Yoyakim (609-598), dan memang keadaan pada saat itu serba
tidak menentu. Hanya dalam tiga bulan setelah raja Yosia terbunuh dalam
pertempuran, penggantinya telah ditawan ke Mesir, dan kemudian raja ketiga,
orang yang sangat ceroboh, diangkat untuk memerintah negeri itu. Di tengah
situasi demikian, menyampaikan peringatan keras tentang datangnya bencana yang
bisa jadi lebih buruk lagi, sama dengan menyodorkan diri untuk dibunuh, apalagi
ketika peringatan-peringatan itu menyangkut Bait Allah dan kota suci, yang umumnya
dianggap tak dapat diganggu gugat. Malahan, Jika kamu tidak mau
mendengarkan Aku (Tuhan),…maka Aku akan membuat rumah ini sama seperti Silo,
dan kota ini menjadi kutuk bagi segala bangsa di bumi (Yer.26, 4,6).
Inilah
yang dapat kita lihat dari sikap Yeremia, berani melawan arus. Sudah tahu
bahwa persoalan sedang dalam keadaan parah, namun kehendak Tuhan harus
disampaikan. Dan peringatan itu juga menyangkut sesuatu yang tidak dapat
diganggu gugat, tentang Bait Allah dan kota suci.
Sekali
waktu pernah Francis Schaefer mengatakan “I do what I think and
I think what I believe”, saya melakukan apa yang saya pikir dan apa yang saya
pikir itulah yang saya percaya. Kepercayaan terimplikasi pada pemikiran dan
pemikiran itu terimplikasi pada tindakan. Tindakan akibat percaya, itulah yang
dilakukan oleh Yeremia. Percaya kepada Firman Tuhan menumbuhkan ketaatan (ciri
dari seorang ‘the true follower’).
Sebagaimana
Kristus bukan sekedar berteori tetapi Dia menjalankan teori yang Ia ajarkan
tersebut dalam kehidupan-Nya. Demikian juga Yeremia mengisyaratkan banyak hal,
terutama dalam kemauannya menyampaikan nubuat tentang masa depan bangsa Yehuda.
Tindakannya mengimplementasikan ketaatan akan kehendak Tuhan melebihi kenyaman
diri.
Untuk
itu, pengikut-pengikut Kristus saat ini harus mengubah konsep berpikir atau
paradigma yang salah dan kembali pada kebenaran, yaitu:
Pertama, mengarahkan
pandangan mata kita hanya kepada kehendak Tuhan.Pada umumnya, saat masalah
datang, manusia selalu memandang ke bawah akibatnya kita selalu melihat dan
merasakan kesulitannya saja sebab kita telah terjepit oleh kondisi. Berbeda
halnya kalau kita memandang pada Tuhan maka percayalah, bersama Tuhan, segala
kesulitan tersebut dapat kita lewati sebab kita tahu bahwa semuanya itu adalah
kehendak Tuhan dan demi untuk kemuliaan nama-Nya.
Kedua, menguji
hati apakah kita mempunyai motivasi yang bersih. Itu telah dibuktikan oleh
Yeremia, dengan tidak memikirkan upah untuk menjadi rohani, tetapi melakukannya
sebagai kewajiban. Orang lain tidak tahu apa motivasi kita sebab ada
kemungkinan sepertinya kita mempunyai motivasi rohani namun sesungguhnya di
balik motivasi yang “rohani“ itu ada motivasi duniawi yang mengikut di
belakangnya.
Ketiga,
mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan yang terburuk yang mungkin terjadi, prepare
for the worst. Kalau kita tidak mempunyai kesiapan hati maka saat kesulitan itu
datang, kita akan pergi dan meninggalkan Tuhan. Mengikut yang dimaksud oleh
Tuhan adalah mengikut yang selama-lamanya bukan sekedar mengikut ketika keadaan
menyenangkan saja.
Bagaimana
menjadi seorang pengikut Tuhan sejati? Ada tiga aspek yang perlu kita
perhatikan:
–
Total Service. Adanya sikap yang sepenuh hati, total service. Tuhan
menuntut suatu total comitment, jangan mengharapkan keuntungan. Melakukan
kehendak Tuhan berarti kita turut melakukan pekerjaan dahsyat dan mulia karena
itu, Tuhan menuntut sikap pelayanan yang sepenuh hati.
Semangat
materialisme telah mencengkeram pikiran kita, maka sesungguhnya, orang bukan
total komitmen lagi, dan ada kecenderungan untuk melirik kepada allah (harta,
uang, kehormatan dll) seperti yang dilakukan oleh bangsa Yehuda.
–
Single Authority. Seorang yang the true follower maka hatinya
selalu terarah pada Tuhan. Mengikut Tuhan berarti kembalinya kita pada otoritas
tunggal, yaitu Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Hendaklah
kita sadar bahwa kita harus kembali kepada Tuhan sebagai single authority yang
mengontrol hidup kita sebab tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang
dapat memimpin dan mengarahkan hidup kita. Hal ini seharusnya menyadarkan kita,
kita tidak perlu kuatir dan cemas akan hidup kita. Mengikut Tuhan membutuhkan
kesadaran bukan fanatisme tetapi ketaatan karena kita tahu siapa Tuhan yang
kita ikuti tersebut, yaitu Kristus yang telah menebus dan membayar kita dengan
harga yang mahal, yaitu dengan darah-Nya dan itu telah lunas di bayar.
–
Kerelaan Hati. Tuhan menempatkan anak-anak-Nya di tengah-tengah kawanan
serigala tapi ia haruslah tetap menjadi seekor domba dengan demikian ia menjadi
terang dunia. Inilah gambaran Kekristenan tentang discipleship of Christ.
Maka kerelaan hati untuk hidup dalam situasi yang bersifat kontras di tengah
dunia menjadi bagian yang harus dilakukan oleh pengikut Tuhan.
b.
Harga yang harus dibayar (ay.7-11). Orang yang mendengarkan khotbah
Yeremia ternyata adalah orang-orang yang punya pengaruh. Mereka adalah para
imam, para nabi dan seluruh rakyat. Seluruh elemen orang-orang Yehuda ada di
sana. Khotbah itu tidak mengenakkan telinga para pendengar. Mereka marah, dan
sepertinya khotbah yang tidak sesuai dengan keinginan hati semua orang yang ada
di sana. Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, kenapa mereka harus marah?
Ternyata jelas seperti dikatakan di atas, Yeremia berkhotbah tentang kutuk bagi
mereka kalau tidak bertobat dan bila mereka tidak tunduk dan mendengarkan
Tuhan. Apalagi itu dikatakan di masa-masa sulit yang dihadapi oleh bangsa itu.
Para imam, nabi dan seluruh rakyat tidak terima khotbah yang “tidak enak
didengar”, mereka mau khotbah yang menyenangkan dan melambungkan angan-angan,
khotbah yang sesuai dengan selera mereka.
Mengatakan
bahwa bangsa itu akan menerima kutuk, mungkin memang membuat kuping memerah.
Namun, dari sisi Yeremia, itu harus disampaikan, bila tidak, hancurlah bangsa
itu. Lagipula, menurut Tuhan, mana tahu dari mereka yang mendengar khotbah itu
akan merubah tingkah lakunya (ay. 3) sehingga Tuhan akan mengurungkan niatnya
untuk menghukum bangsa itu.
Dalam
hal ini, kita melihat bagaimana Yeremia melakukan tugasnya sebagaimana itu memang
harus dilakukan oleh umat percaya yaitu menegor kesalahan orang. Dalam
Yehezkiel 33:7-9 “Dan engkau anak manusia, Aku menetapkan engkau menjadi
penjaga bagi kaum Israel. Bilamana engkau mendengar sesuatu firman dari
pada-Ku, peringatkanlah mereka demi nama-Ku. Kalau Aku berfirman kepada orang
jahat: Hai orang jahat, engkau pasti mati! — dan engkau tidak berkata apa-apa
untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat
itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab
atas nyawanya dari padamu. Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu
supaya ia bertobat dari hidupnya, tetapi ia tidak mau bertobat, ia akan mati
dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu”.
Demikian
juga Paulus pernah menasihatkan hal serupa kepada Timotius,“Beritakanlah
firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang
salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2
Timotius 4:2).
Memberitakan
Firman bukanlah pilihan tetapi keharusan, kewajiban yang harus dilakukan (1
Kor.9:16c “Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku
tidak memberitakan Injil”).
Sekedar
memberitakan, mungkin tidaklah persoalan besar. Namun pemberitaan, khotbah, tegoran,
pengajaran menjadi persoalan ketika hal yang dilakukan itu dipertanyakan. Oleh
para imam, nabi dan seluruh rakyat Yehuda dengan jelas menyatakan bahwa Yeremia
harus mati (ay. 8). Mati, adalah hukuman yang layak bagi Yeremia menurut
mereka, kenapa? Karena menurut mereka Yeremia telah menghujat Tuhan, menyatakan
nubuatan (yang menurut mereka belum tentu kebenarannya) akan kutuk kepada
bangsa itu (umat pilihan lagi) di Bait Allah.
Persoalan
yang dihadapi oleh Yeremia kini bukan lagi hanya sekedar mempertanggungjawabkan
khotbahnya, tetapi memperjuangkan akibat dari ketaatan. Ketaatan itu ternyata
harus dibayar. Ya, dibayar dengan ancaman kehilangan nyawanya, harus mati. Maka
ada sebuah pernyataan yang menarik untuk kita, “to accept Christ costs nothing,
to follow Christ costs something, but to serve Christ costs everything”.
c.
Setia kepada pengutusan Tuhan dan memasrahkan diri kepada Tuhan (ay.
12-14). Menerima reaksi yang demikian di awal pelayanannya tentu membuat
Yeremia gentar dan takut. Tapi keadaan ini tidak membuat Yeremia berdiam diri,
sebaliknya ia mengajukan pembelaannya (12-15). Pembelaan diri ini tidak
dimaksudkan untuk mendapatkan pengampunan, karena dia memahami benar bahwa
secara manusia musuh-musuhnya mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk membunuhnya.
Tapi ia pun yakin bahwa hidupnya ada di tangan Tuhan. Pembelaan diri Yeremia
ternyata agak memberi kelegaan, sehingga para pemuka dan seluruh rakyat
memutuskan untuk membatalkan hukuman mati bagi Yeremia, karena mereka
mengetahui bahwa berbicara atas nama Allah bukan merupakan pelanggaran hukum
yang berat (16-18). Mereka juga takut ditimpa malapetaka karena membunuh
seorang nabi Allah (19).
Namun
apakah pembebasan Yeremia ini merupakan suatu tanda bahwa bangsa Yehuda terbuka
hatinya terhadap firman-Nya? Tidak sama sekali. Peristiwa ini hanya
memperlihatkan bahwa Allah tidak mengizinkan Yeremia dibunuh, sehingga tidak
ada seorang pun yang berkuasa menyentuh nyawanya. Perlindungan dan jaminan
Allah atas hidup hamba-Nya memang tidak selalu berupa keselamatan dari tangan
musuh-musuh-Nya. Contohnya seorang nabi yang lain, Uria, yang mewartakan berita
yang sama dan dihukum mati oleh raja Yoyakim (lih. Yer.26:20-23).
3.
Patut kita renungkan: Ketika kita memberitakan firman-Nya, berbagai reaksi
akan timbul. Ada yang menganggapnya sebagai angin lalu, ada pula yang menentang
dan menolaknya dengan sengit, namun ada juga yang menerimanya. Ada pemberita
firman-Nya yang dilindungi oleh Allah. Namun ada pula yang diizinkan Allah
untuk dibunuh oleh musuh-musuh Injil. Satu-satunya jaminan bagi Kristen yang
mau menjadi seorang Yeremia adalah bahwa Allah berkuasa mutlak atas hidup mati
hamba-Nya dan firman-Nya harus diperdengarkan. Siapkah kita?
Kehidupan
umat percaya adalah senantiasa berpola kepada diri Kristus yang bersedia wafat
untuk menghasilkan kualitas kehidupan yang baru. Seperti Kristus, selaku
umat percaya kita terpanggil untuk berkurban diri (sacrifice) bagi keselamatan
sesama. Dengan demikian kita juga terpanggil untuk membela, melindungi dan
memberdayakan setiap sesama yang menjadi korban (victim) kesewenang-wenangan
atau ketidakadilan. Panggilan iman tersebut akan menjadi efektif dalam
kehidupan kita manakala kita senantiasa belajar menjadi taat dari apa yang kita
derita. Jika demikian apakah hati kita kini telah diukirkan firman Kristus dan
kasihNya, sehingga seluruh pelayanan dan kehidupan kita dikuasai oleh
kehendakNya? Amin.
Dari
Berbagai Sumber