Kita ketahui bahwa
kitab Yesaya adalah kitab yang menekankan “kekudusan
Allah” dengan tujuan mengingatkan umat Israel bahwa mereka harus menyembah Tuhan Allah saja, serta
berbuat sesuai dengan sifat kekudusan-Nya itu. Salah satu yang disoroti oleh
Yesaya adalah upacara-upacara ibadah yang dilakukan umat pada saat itu dan
bagaimana sikap mereka kepada sesama
manusia. Dalam pembahasan ini kita akan melihat bagaimana Yesaya melihat
ibadah Israel dan sikap hidup mereka, khususnya dalam Yesaya 1:10-18.
Hubungan
Yesaya 1:10-20 Dalam Keseluruhan Kitab
Dalam pemberitaannya,
nabi Yesaya sangat menekankan pemahaman tentang Allah sebagai “Raja Israel” dan “Allah adalah Yang Maha
Kudus”. Namun setelah Allah memilih Yesaya sebagai nabi, Yehuda mengalami
krisis politik yang sangat hebat sehingga umat Allah hidup dalam ketidakadilan,
kekerasan dan ketidakjujuran (Yes 1:14, 21-23). Yerusalem yang dahulu sangat dibanggakan sebagai kota hukum yang baik, yaitu di mana umat Allah hidup dalam kebenaran,
kejujuran, adil dan kesetiaan kepada Allah, tapi sekarang mereka meninggalkan
itu semua, umat Israel sudah melupakan Allah. Mereka tidak peduli lagi kepada
Allah, nilai-nilai kemanusiaan mereka abaikan. Keadaan inilah yang mendorong
Yesaya untuk menyampaikan pesan Allah bahwa umat Israel akan ditimpa malapetaka
yang dahsyat. Pasal 1 merupakan pendahuluan untuk seluruh kitab Yesaya. Pasal 1
secara singkat berisi mengenai ratapan mengenai kekerasan hati Yehuda dan panggilan untuk bertobat
Ayat 10
Di
dalam menghadapi krisis bahaya yang dilukiskan dalam ayat-ayat 5-9, mereka yang berada di Yerusalem
memperbanyak korban-korban dan perayaan-perayaan religius untuk mendapatkan
keselamatan. Mungkin TUHAN masih dapat dipengaruhi dengan segala kesibukan
religius itu, lalu menolong mereka. Inilah pandangan secara agama kafir yang
hanya memperhatikan soal-soal lahiriah saja, formal saja. Maka mereka kini
dipanggil oleh nabi untuk mendengar “firman TUHAN” yang akan menyadarkan mereka
dan membuka segala kedok kemunafikan mereka dan untuk mendengar “pengajaran
Allah kita”, agar mereka menginsyafi kebodohan mereka dan bertobat dari segala
praktik-praktik dan pemikiran-pemikiran yang berasal dari “Allah kita”. Mereka
itu disebut di sini “para pemimpin (penghulu) manusia Sodom” dan “manusia
Gomora”. Sodom adalah lambang untuk menggambarkan dunia dalam pemberontakannya
terhadap Allah melalui kehidupan yang penuh kejahatan dan perbuatan asusila,
serta untuk melambangkan murka Allah terhadap kejahatan tersebut.
Marilah, baiklah kita
berperkara! --
firman TUHAN -- Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih
seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi
putih seperti bulu domba.
Tuhan
angkat bicara “Marilah, baiklah kita berperkara!”. “oops..! apa yang sedang terjadi?” Bahkan mereka sudah disamakan
dengan manusia Sodon dan Gumora. Sepertinya Tuhan sedang marah besar. Tentu ada
penyebabnya.
Selidik punya selidik, ternyata ada
yang salah tentang perilaku mereka di bait Allah dengan kenyataan kehidupan
mereka. Begitu tingginya kesenjangan antara praktek ibadah dengan kenyataan
hidup yang mereka jalankan. Sungguh tidak ‘nyambung “jauh panggang dari api”,
terjadi kesenjangan “bagai bumi dan langit”.
Perlakuan
mereka datang ke bait Allah layaknya seperti membayar premi asuransi dengan
perlindungan total. Selama bait Allah ada diantara kita, selama persembahan
yang terbaik diberikan dan menjalankan ritual keagamaan, maka semuanya akan
baik-baik saja kita akan mendapatkan keselamatan. Demikianlah anggapan mereka
tentang Tuhan.
Ternyata,
mereka datang ke bait Allah hanya bermodalkan “kebiasaan”, hanya sekedar
memperpanjang masa asuransi. Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah mereka
datang dan pergi ke bait Allah tanpa membawa apa-apa dan tidak pergi dari bait
Allah tanpa membawa sesuatu yang berguna bagi hidup mereka. Yang mereka bawa
datang ke bait Allah tidak lain hanyalah tubuhnya dan persembahan yang tidak
berguna itu, tetapi tidak membawa dirinya.
Yang
Tuhan inginkan bukan korban persembahan yang terbaik itu, tetapi dirinya yang
penuh dosa itu untuk diampuni supaya mereka pulang dari bait Allah juga dapat
pulang membawa pembaharuan dalam hidupnya. Tetapi itulah yang terjadi,
bagaimana mereka datang, seperti itu jugalah mereka pulang, tidak ada yang
berubah.
Apakah
Tuhan sebodoh yang mereka pikirkan? Sehingga mereka dapat mempermainkan Tuhan?
Apakah Tuhan tidak mengetahui apa yang mereka perbuat? Kejahatan dan
ketidakadilan yang mereka perbuat. Kedatangan mereka ke bait Allah tidak lain
hanya mengotori bait Allah dan membuat Tuhan semakin murka atas sikap mereka.
Maka
Tuhan ingin berperkara dengan mereka di depan pengadilan. Maka dapat dipastikan
bahwa mereka sudah kalah telak. Sebab dikatakan dosanya sudah seperti warna
Kirmizi dan kain kesumba yang tidak dapat luntur. Maka seharusnya tidak ada
lagi jalan selain dari hukuman dijatuhkan atas mereka.
Namun,
Tuhan ingin berperkara bukan untuk melakukan penghukuman jika mereka mau
“membersihkan diri”; “Berhenti berbuat jahat”; “belajar berbuat baik” dan mau
datang untuk dikuduskan Tuhan. Walaupun kelihatannya Tuhan sedang marah, tetapi
yang Tuhan mau lakukan adalah supaya mereka dapat tampil dihadapan Tuhan tanpa
ada sesuatu yang ditutupi dan mengakui segala dosanya.
Yang
Tuhan perlihatkan adalah kasihNya, yang dapat mengubah kehidupan kita menjadi
baik, mengubah kehidupan yang “merah” karena dosa menjadi “Putih” bersinar
seperti salju dan hangat seperti bulu domba.
Jika kita sudah dapat
memahami nas ini, maka patutlah kita merenungkan:
1.
Jika kita datang ke gereja, maka apakah kita hanya bermodalkan “kebiasaan” dan “rutinitas”? Apakah kita datang dan pergi dari Gereja tanpa ada yang mau di ubah dan tanpa ada yang akan berubah? Yang mau kita bawa ke
hadapan Tuhan adalah diri kita, yaitu diri yang terbuka dan mau untuk di ubah
Tuhan.
2.
Dosa akan memisahkan kita dari Tuhan,
sekalipun kita datang kehadapanNya di dalam doa dan ibadah.
3.
Sebesar apapun dosa kita, namun
karena kasihNya yang besar Dia tetap memanggil kita untuk mau diubah dan
disucikan.
Kita sering mendengar
kata "tobat" dan "bertobat". Apa yang dimaksud dengan kata
Tobat ini?
Tobat dalam kamus
Bahasa Indonesia berarti: sadar dan
menyesal akan dosanya dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya.
Dalam bahasa Ibrani
tobat diartikan “Syub”: membalikan diri, memalingkan diri, kembali. Kata “Syub”
memang tidak berarti apa-apa kalau tidak diikuti oleh kata “Nakas” yang berarti menyesal. Sedangkan dalam bahasa Yunani
adalah "Metanoia", artinya
berubah di dalam atau juga bisa diartikan secara bebas, berubah dari dalam.
Jadi orang yang
bertobat adalah orang yang berbalik
kepada Allah, berubah pikirannya dari yang
jahat kepada kebaikan. Orang yang bertobat bukan takut akan hukuman, bukan
juga karena pengaruh lingkungan, bukan pula takut akan akibat-akibat dosa itu,
bukan pula takut akan merosotnya derajat di mata manusia. Tetapi yang
menyebabkan kepedihan hatinya sedalam itu ialah bahwa ia telah memedihkan hati
Allah, bahwa ia telah menyinggung hati Allah, bahwa ia telah merusak
hubungannya dengan Allah. Pendek kata, orang
yang bertobat adalah orang yang mau berdamai dengan Allah.
Sebagai tanda bahwa
orang itu mau berdamai dengan Allah:
1. Ia menyesali
dosanya dengan tulus hati (Mazmur 51:6)
2. Ia mengakui dosanya
(Lukas
15)
3. Ia membenci dosa
serta menjauhkan diri dari dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar