Rabu, 30 April 2014

Khotbah Minggu 4 Mei 2014 1 Petrus 1:17-23, (Misericordias Domini). Tema : “Bersungguh-sungguh saling mengasihi!”


Beberapa waktu yang lalu negeri kita, khususnya daerah Jawa Timur, dihebohkan dengan wabah ulat bulu yang melanda. Jumlahnya yang sangat banyak membuat warga makin takut dengan penyakit yang mungkin menyebar seperti gatal-gatal. Selain itu, tanaman warga menjadi rusak karena daun-daunnya dimakan oleh ulat bulu tersebut. Namun beberapa waktu berikut, ulat bulu-ulat bulu itu hilang! Bukan hanya karena dibasmi dengan pestisida atau sejenisnya, tetapi karena mereka telah berubah menjadi kupu-kupu.
Dari sesuatu yang menjijikkan, ia berubah total menjadi sesuatu yang sangat indah. Dari yang semula dibenci orang, menjadi sangat disukai orang. Perubahan yang dialami bukan hanya secara fisik atau bentuk luarnya, tetapi menyangkut keseluruhan hidupnya, baik itu cara hidupnya, makanannya dan penerimaan dari lingkungannya.
Hidup kita adalah sebuah metamorfosis. Tuhan memungkinkan kita untuk berubah dan berkembang ke tahap yang lebih luhur. Dari ulat yang menjijikkan menjadi kupu-kupu yang indah. Kebangkitan Kristus seharusnya menjadi momen bagi kita, orang-orang yang telah ditebus, untuk mengalami perubahan hidup yang total di hadapan-Nya. Perubahan hidup dari yang semula berlumuran dosa, menjadi lebih terarah kepada-Nya. Yang semula akrab dan menikmati dosa, menjadi taat dan setia pada firman-Nya.
Perubahan nyata apa yang kira-kira dapat kita lakukan? I Petrus 1:22 mengajak kepada kita untuk hidup saling mengasihi. Kasih yang tulus ikhlas, kasih yang sungguh-sungguh kepada sesama kita tanpa membedakan latar belakang mereka. Mengapa kasih ini menjadi sangat penting untuk kita lakukan? Sebab hanya kasihlah yang dapat membuat seseorang bertahan di tengah kejamnya kehidupan, hanya kasih yang bisa memberikan penghiburan bagi orang-orang yang merasa sendirian, hanya kasih yang mampu membangkitkan pengharapan orang-orang yang lelah berjuang atas sakit penyakitnya, hanya kasih yang mampu mengembalikan seseorang pada imannya. Biarlah perubahan hidup yang kita tampilkan bukan sekedar dari penampilan luar saja, melainkan ketika kita sungguh-sungguh membagikan kasih Kristus kepada sesama kita. Semuanya itu kita lakukan semata-mata karena Kristus telah melakukan karya-Nya yang terbesar, agar darah-Nya yang tercurah tidak sia-sia.
Saudara-saudara yang terkasih dalam Yesus Kristus, kalau kita lihat fenomena kehidupan sekarang, maraknya pembunuhan, pelecehan, penyiksaan terhadap sesama manusia, memberikan gambaran bagi kita bahwa nilai manusia itu sungguh tak berharga lagi. Banyak orang demi “tujuan/ambisi” pribadinya mau mengorbankan nilai “kemanusiaannya” sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia. Dalam artikel “The Paradox of our time “ di tuliskan we multiplied our possession, but we reduce values” (kita melipatgandakan harta milik kita, tapi mengurangi nilai kita sebagai manusia)
Mungkin kita pernah menbaca atau mendengar istilah :”harimau saja tidak memangsa anaknya sendiri”, ini adalah kritikan pedas bagi manusia yang “memangsa” siapa saja. Homo homini lupus sungguh membuat nilai manusia itu tidak layak lagi di sebut sebagai “manusia”…tapi “bi…na…tang.”
Kesengsaraan, penderitaan, diskriminasi, ketertekanan dapat menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa dia adalah pribadi yang tidak dicintai, tidak dikasihi. Hal ini dapat menimbulkan perasaan bahwa “dia sungguh tak berharga”. Perasan hidup tak berharga membuat manusia menjadi pribadi “gampangan/sembarangan” hidup sesuka hatinya seakan tidak ada yang perlu “dijaga/dilindungi” dalam kehidupannya. Situasi seperti ini seringkali membuat manusia lebih mengutamakan sikap “cari aman” dari pada menjalankan kebenaran. Akhirnya dosa menjadi kenikmatan, menuruti hawa nafsu adalah sebuah kepuasan dan kebahagiaan.
Perasaan seperti ini juga mungkin sangat dirasakan oleh umat Kristen yang tersebar sebagai orang pendatang di Propinsi Asia Kecil kekaisaran Romawi. Orang-orang Kristen disebut “pendatang dan perantau”. Meraka ibarat orang-orang perziarah di dalam dunia yang membenci Yesus, yang tidak segan-segan menyiksa dan menganiaya bahkan membunuhnya mereka. Akibatnya banyak orang Kristen lari dari panggilan iman yaitu saling mengasihi dan hidup kudus. Mereka takut menunjukkan identitas mereka sebagai pengikut Kristus, yang penting aman.
Petrus mengirimkan surat ini untuk menguatkan orang-orang Kristen, agar setia dalam iman walaupun menghadapi tantangan yang berat. Mereka harus saling mengasihi jangan terjebak kepada kehiupan yang egois. Walaupun hidup dalam lingkungan yang penuh dosa tetapi orang percaya harus menjaga kekudusan hidup.
Petrus mengingatkan, bahwa Tuhan yang kita sebut “Bapa” tidak memandang rupa, menghakimi semua orang menurut perbuatannya. Semua orang Kristen akan menghadapi pengadilan tanpa terkecuali (Pkh. 12:14; Rm.14:12; 1Kor.3:12-15; 2Kor.5:10). Pengadilan itu terjadi saat Kristus kembali untuk gereja-Nya (Yoh.14:3; 1 Tes. 4:14-17). Yang menjadi hakimnya adalah Kristus (Yoh.5:22; 2Tim4:8). Dalam penghakiman itu segala sesuatu akan di singkapkan tidak ada yang tersembunyi, baik : watak kita (Rm. 2:5-11), perkataan kita (Mat.12:36-37), Perbuatan baik kita (Ef. 6:8), sikap kita (Mat. 5:22), motivasi kita (1Kor. 4:5), kekurangan kasih kita (Kol.3:18- 4:1) dan pekerjaan dan pelayanan kita (1Kor. 3:13). Pendeknya setiap orang percaya akan harus mempertanggungjawabkan kesetiaan dan ketidaksetiaannya kepada Tuhan.
Petrus mengingatkan setiap orang percaya, harus memiliki “rasa takut” ketika dia hidup menumpang di dunia ini. Kata “menumpang” mengandung makna bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara (bukan tempat tinggal yang tetap). Sebagai orang yang “menumpang” haruslah pintar-printar menempatkan diri, karena sebagai “penumpang” sering kali di curigai, diperhatikan setiap tindak-tanduknya, dicari-cari kesalahannya (kelemahannya). Di dalam 2 Pertus 3:13, dikatakan “siapakah yang berbuat jahat terhadap kamu jika kamu rajin dan berbuat baik?”. Dalam kehidupan ini benyak juga penderitaan menimpa kehidupan disebabkan “prilaku” kita yang kurang beretika dan bermoral. Sehinnga Petrus mengingatkan, jaga si kap kita supaya jangan mengundang kebencian dan amarah orang lain. Selanjutnya di ayat 14 Petrus mengatakan : “Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran kamu akan bahagia…..”
Petrus mengatakan bahwa “rasa takut” sangat dibutuhkan bagi setiap orang percaya untuk menjaga kekudusan. Dalam Kisah Ananias dan Safira yang sepakat membohongi Tuhan berakhir pada kematian, yang menimbulkan rasa takut bagi semua jemaat (Kis. 5:11) peristiwa ini menimbulkan kerendahan hati dan rasa kagum akan kuasa Tuhan.ingga mereka takut melakukan kejahatan. Tanpa rasa takut akan Tuhan manusia tidak akan pernah menghindari dosa. Takut akan Tuhan adalah dasar segala Ilmu pengetahuan (Ams 1:7) Takut akan Tuhan membuat persekutuan menjadi kuat dan utuh serta terus bertumbuh (Kis.9:31)
Rasa takut akan Tuhan sebagai wujud ucapan syukur karena sudah “ditebus” dari hidup yang sia-sia. Istilah “ditebus” sering kita temui di dunia “pegadaian”, barang yang digadaiakn tidak lagi sepenuhnya menjadi milik kita, perlu tebusan/bayaran untuk mengembalikan status barang itu agar menjadi milik kita sepenuhnya. Istilah “dibayar” sering kita temui di dunia perdagangan, ketika barang sudah di bayar maka pihak pembayar memiliki “hak penuh” terhadap barang yang di bayar. Di zaman dulu istilah tebusan seringkali di perhadapken dengan urusan “budak” seorang budak sering diperlakukan seperti “barang” yang dapat diperjualbelikan (digadaikan) hidupnya hanya sebatas pekerjaannya, tidak punya nilai pada dirinya sendiri, hidupnya hanya menunggu kapan dia sakit…kapan dia tidak sanggup lagi bekerja akan di campakkan (dilupakan), habis manis sepah dibuang” tidak ada penghargaan atas pekerjaannya, inilah yang dimaksud dengan hidup yang sia-sia, tidak punya harapan masa depan.
Manusia di tebus (dibeli/dibayar) dari “tuan” yang tidak memberikan jaminan hidup di masa akan datang, Kristus membayar dan menubus umatnya, setiap yang ditebus itu menjadi pribadi yang sangat berharga dan diberikan jaminan hidup di masa akan datang.
Harga setiap barang disejajarkan dengan tebusannya (bayarannya), Petrus mengatakan bahwa manusia ditebus bukan dengan barang fana, itu artinya manusia itu “identik/sejajar dengan kekekalan”. Harga manusia itu jauh melebihi perak dan emas, walaupun emas dan perak itu adalah barang yang sangat mahal di mata manusia. Manusia di tebus dengan darah yang mahal. Darah adalah lambang kehidupan, dengan kata lain manusia sama dengan kehidupan (kekekalan) karena dengan darah (kehidupan) dia di tebus. Dengan demikian manusia berhutang nyawa kepada Yesus Kristus yang telah mengorbankan darah-Nya. Sudah selayaknya manusia memberikan kehidupannya kepada Kristus yang telah menebusnya.
Manusia di beli dengan harga yang tidak di tawar-tawar, karena hidupnya memang berharga, ibarat barang daganan dia ada di tempat yang elit (harga pas) bukan barang yang ada di pasar (barang eceran) yang bisa di tawar. Ketika manusia di tebus bukan seperti seorang ibu yang belanja di pasar, yang menawar barang tanpa tending aling-aling. Kalau kita perhatikan biasa orang menawar barang yang dia sukai, karena kalau dia enggak suka tidak akan ditawar.
Yesus membeli manusia tidak dengan harga yang di tawar-tawar, dia tidak mengemis untuk merendahkan kualitas manusia supaya harganya lebih murah. Dia tidak mengemis harus merendahakn kemampuan-Nya untuk menebus manusia, Dia tidak memelas sambil pergi meninggalkan manusia agar dapat Dia beli, seakan-akan Dia tak butuh.
Mengapa Allah melakukan ini? Inilah yang di sebut dengan Misericordias Domini, karena di mata Tuhan manusia itu sangat berharga. Inilah tema khotbah Minggu ini. Ya memang kita sangat berharga di mata Tuhan, sehingga Dia rela mengorbankan nyawa dan darah-Nya untuk menebus/membeli kita dari kuasa dosa yang mematikan.
Sebagaimana Tuhan telah “memberikan harga yang mahal” bagi kita, sudah selayaknya kita juga harus menghargai kehidupan kita. Jangan menjadi “orang murahan” yang bisa dipermainkan dunia ini, jangan mau menggadaikan kehidupan kepada dosa yang hanya dapat memberikan kenikmatan sesaat. Kita bukan menjadi manusia yang “gampangan” melakukan tindakan dosa “yang murahan”, gampang menyerah, gampang tersinggung, gampang marah dan putus asa. Hidup kita berharga, mari kita pertahankan, kita jaga sepanjang kehidupan kita, selama kita merantau di dunia ini sampai kita mendapatkan tempat tinggal yang abadi.
Tuhan rindu melihat ketaatan sebagai buah penyucian yang Tuhan kerjakan bagi kehidupan kita. Menjalankan kebenaran sebagai buah “pembenaran” yang diberikan oleh Tuhan. Rasa syukur oleh karena penebusan Tuhan akan memampukan kita untuk mengamalkan kasih persaudaraan dengan sungguh-sungguh dan dengan segenap hati. Kita telah dilahirkan dari benih yang tidak fana, yaitu firman Allah yang hidup dan kekal. Marilah kita mengejar hal-hal yang kekal, hindarilah perbutan-perbutan yang membuat “nilai/harga” kita sebagai manusia menjadi ternoda dan berkurang. Kita berharga di mata kita, orang lain dan Tuhan…..amin.


Tidak ada komentar: