Beberapa
waktu yang lalu negeri kita, khususnya daerah Jawa Timur, dihebohkan dengan
wabah ulat bulu yang melanda. Jumlahnya yang sangat banyak membuat warga makin
takut dengan penyakit yang mungkin menyebar seperti gatal-gatal. Selain itu,
tanaman warga menjadi rusak karena daun-daunnya dimakan oleh ulat bulu
tersebut. Namun beberapa waktu berikut, ulat bulu-ulat bulu itu hilang! Bukan
hanya karena dibasmi dengan pestisida atau sejenisnya, tetapi karena mereka
telah berubah menjadi kupu-kupu.
Dari
sesuatu yang menjijikkan, ia berubah total menjadi sesuatu yang sangat indah.
Dari yang semula dibenci orang, menjadi sangat disukai orang. Perubahan yang
dialami bukan hanya secara fisik atau bentuk luarnya, tetapi menyangkut
keseluruhan hidupnya, baik itu cara hidupnya, makanannya dan penerimaan dari
lingkungannya.
Hidup
kita adalah sebuah metamorfosis. Tuhan memungkinkan kita untuk berubah dan
berkembang ke tahap yang lebih luhur. Dari ulat yang menjijikkan menjadi
kupu-kupu yang indah. Kebangkitan Kristus
seharusnya menjadi momen bagi kita, orang-orang yang telah ditebus, untuk
mengalami perubahan hidup yang total di hadapan-Nya. Perubahan hidup dari yang
semula berlumuran dosa, menjadi lebih terarah kepada-Nya. Yang semula akrab dan
menikmati dosa, menjadi taat dan setia pada firman-Nya.
Perubahan
nyata apa yang kira-kira dapat kita lakukan? I Petrus 1:22 mengajak kepada kita
untuk hidup saling mengasihi. Kasih yang tulus ikhlas, kasih yang
sungguh-sungguh kepada sesama kita tanpa membedakan latar belakang mereka.
Mengapa kasih ini menjadi sangat penting untuk kita lakukan? Sebab hanya
kasihlah yang dapat membuat seseorang bertahan di tengah kejamnya kehidupan,
hanya kasih yang bisa memberikan penghiburan bagi orang-orang yang merasa
sendirian, hanya kasih yang mampu membangkitkan pengharapan orang-orang yang
lelah berjuang atas sakit penyakitnya, hanya kasih yang mampu mengembalikan
seseorang pada imannya. Biarlah perubahan hidup yang kita tampilkan bukan
sekedar dari penampilan luar saja, melainkan ketika kita sungguh-sungguh
membagikan kasih Kristus kepada sesama kita. Semuanya itu kita lakukan
semata-mata karena Kristus telah melakukan karya-Nya yang terbesar, agar
darah-Nya yang tercurah tidak sia-sia.
Saudara-saudara yang
terkasih dalam Yesus Kristus, kalau kita lihat fenomena kehidupan sekarang,
maraknya pembunuhan, pelecehan, penyiksaan terhadap sesama manusia, memberikan
gambaran bagi kita bahwa nilai manusia
itu sungguh tak berharga lagi. Banyak orang demi “tujuan/ambisi” pribadinya
mau mengorbankan nilai “kemanusiaannya” sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
mulia. Dalam artikel “The Paradox of our time “ di tuliskan we multiplied our
possession, but we reduce values” (kita
melipatgandakan harta milik kita, tapi mengurangi nilai kita sebagai
manusia)
Mungkin kita pernah
menbaca atau mendengar istilah :”harimau saja tidak memangsa anaknya sendiri”,
ini adalah kritikan pedas bagi manusia yang “memangsa” siapa saja. Homo homini
lupus sungguh membuat nilai manusia itu tidak layak lagi di sebut sebagai
“manusia”…tapi “bi…na…tang.”
Kesengsaraan,
penderitaan, diskriminasi, ketertekanan dapat menimbulkan perasaan dalam diri
manusia bahwa dia adalah pribadi yang tidak dicintai, tidak dikasihi. Hal ini
dapat menimbulkan perasaan bahwa “dia sungguh tak berharga”. Perasan hidup tak
berharga membuat manusia menjadi pribadi “gampangan/sembarangan” hidup sesuka
hatinya seakan tidak ada yang perlu “dijaga/dilindungi” dalam kehidupannya.
Situasi seperti ini seringkali membuat manusia lebih mengutamakan sikap “cari
aman” dari pada menjalankan kebenaran. Akhirnya dosa menjadi kenikmatan,
menuruti hawa nafsu adalah sebuah kepuasan dan kebahagiaan.
Perasaan seperti ini
juga mungkin sangat dirasakan oleh umat Kristen yang tersebar sebagai orang
pendatang di Propinsi Asia Kecil
kekaisaran Romawi. Orang-orang Kristen disebut “pendatang dan perantau”.
Meraka ibarat orang-orang perziarah di dalam dunia yang membenci Yesus, yang
tidak segan-segan menyiksa dan menganiaya bahkan membunuhnya mereka. Akibatnya
banyak orang Kristen lari dari panggilan iman yaitu saling mengasihi dan hidup
kudus. Mereka takut menunjukkan identitas mereka sebagai pengikut Kristus, yang
penting aman.
Petrus
mengirimkan surat ini untuk menguatkan
orang-orang Kristen, agar setia dalam iman walaupun menghadapi tantangan yang
berat. Mereka harus saling mengasihi jangan terjebak kepada kehiupan yang
egois. Walaupun hidup dalam lingkungan yang penuh dosa tetapi orang percaya
harus menjaga kekudusan hidup.
Petrus mengingatkan,
bahwa Tuhan yang kita sebut “Bapa” tidak memandang rupa, menghakimi semua orang
menurut perbuatannya. Semua orang Kristen akan menghadapi pengadilan tanpa
terkecuali (Pkh. 12:14; Rm.14:12; 1Kor.3:12-15; 2Kor.5:10). Pengadilan itu
terjadi saat Kristus kembali untuk gereja-Nya (Yoh.14:3; 1 Tes. 4:14-17). Yang
menjadi hakimnya adalah Kristus (Yoh.5:22; 2Tim4:8). Dalam penghakiman itu
segala sesuatu akan di singkapkan tidak ada yang tersembunyi, baik : watak kita
(Rm. 2:5-11), perkataan kita (Mat.12:36-37), Perbuatan baik kita (Ef. 6:8),
sikap kita (Mat. 5:22), motivasi kita (1Kor. 4:5), kekurangan kasih kita
(Kol.3:18- 4:1) dan pekerjaan dan pelayanan kita (1Kor. 3:13). Pendeknya setiap
orang percaya akan harus mempertanggungjawabkan kesetiaan dan ketidaksetiaannya
kepada Tuhan.
Petrus
mengingatkan setiap orang percaya,
harus memiliki “rasa takut” ketika dia hidup menumpang di dunia ini. Kata
“menumpang” mengandung makna bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara
(bukan tempat tinggal yang tetap). Sebagai orang yang “menumpang” haruslah
pintar-printar menempatkan diri, karena sebagai “penumpang” sering kali di
curigai, diperhatikan setiap tindak-tanduknya, dicari-cari kesalahannya
(kelemahannya). Di dalam 2 Pertus 3:13, dikatakan “siapakah yang berbuat jahat
terhadap kamu jika kamu rajin dan berbuat baik?”. Dalam kehidupan ini benyak
juga penderitaan menimpa kehidupan disebabkan “prilaku” kita yang kurang
beretika dan bermoral. Sehinnga Petrus mengingatkan, jaga si kap kita supaya
jangan mengundang kebencian dan amarah orang lain. Selanjutnya di ayat 14
Petrus mengatakan : “Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena
kebenaran kamu akan bahagia…..”
Petrus
mengatakan bahwa “rasa takut”
sangat dibutuhkan bagi setiap orang percaya untuk menjaga kekudusan. Dalam
Kisah Ananias dan Safira yang sepakat membohongi Tuhan berakhir pada kematian,
yang menimbulkan rasa takut bagi semua jemaat (Kis. 5:11) peristiwa ini
menimbulkan kerendahan hati dan rasa kagum akan kuasa Tuhan.ingga mereka takut
melakukan kejahatan. Tanpa rasa takut akan Tuhan manusia tidak akan pernah
menghindari dosa. Takut akan Tuhan adalah dasar segala Ilmu pengetahuan (Ams
1:7) Takut akan Tuhan membuat persekutuan menjadi kuat dan utuh serta terus
bertumbuh (Kis.9:31)
Rasa takut akan Tuhan
sebagai wujud ucapan syukur karena sudah “ditebus” dari hidup yang sia-sia.
Istilah “ditebus” sering kita temui di dunia “pegadaian”, barang yang
digadaiakn tidak lagi sepenuhnya menjadi milik kita, perlu tebusan/bayaran
untuk mengembalikan status barang itu agar menjadi milik kita sepenuhnya.
Istilah “dibayar” sering kita temui di dunia perdagangan, ketika barang sudah
di bayar maka pihak pembayar memiliki “hak penuh” terhadap barang yang di
bayar. Di zaman dulu istilah tebusan seringkali di perhadapken dengan urusan
“budak” seorang budak sering diperlakukan seperti “barang” yang dapat
diperjualbelikan (digadaikan) hidupnya hanya sebatas pekerjaannya, tidak punya
nilai pada dirinya sendiri, hidupnya hanya menunggu kapan dia sakit…kapan dia
tidak sanggup lagi bekerja akan di campakkan (dilupakan), habis manis sepah
dibuang” tidak ada penghargaan atas pekerjaannya, inilah yang dimaksud dengan
hidup yang sia-sia, tidak punya harapan masa depan.
Manusia di tebus
(dibeli/dibayar) dari “tuan” yang tidak memberikan jaminan hidup di masa akan
datang, Kristus membayar dan menubus umatnya, setiap yang ditebus itu menjadi
pribadi yang sangat berharga dan diberikan jaminan hidup di masa akan datang.
Harga
setiap barang disejajarkan
dengan tebusannya (bayarannya), Petrus mengatakan bahwa manusia ditebus bukan
dengan barang fana, itu artinya manusia itu “identik/sejajar dengan kekekalan”.
Harga manusia itu jauh melebihi perak dan emas, walaupun emas dan perak itu
adalah barang yang sangat mahal di mata manusia. Manusia di tebus dengan darah
yang mahal. Darah adalah lambang kehidupan, dengan kata lain manusia sama
dengan kehidupan (kekekalan) karena dengan darah (kehidupan) dia di tebus.
Dengan demikian manusia berhutang nyawa kepada Yesus Kristus yang telah
mengorbankan darah-Nya. Sudah selayaknya manusia memberikan kehidupannya kepada
Kristus yang telah menebusnya.
Manusia
di beli dengan harga yang tidak di tawar-tawar, karena hidupnya memang berharga,
ibarat barang daganan dia ada di tempat yang elit (harga pas) bukan barang yang
ada di pasar (barang eceran) yang bisa di tawar. Ketika manusia di tebus bukan
seperti seorang ibu yang belanja di pasar, yang menawar barang tanpa tending
aling-aling. Kalau kita perhatikan biasa orang menawar barang yang dia sukai,
karena kalau dia enggak suka tidak akan ditawar.
Yesus membeli manusia
tidak dengan harga yang di tawar-tawar, dia tidak mengemis untuk merendahkan
kualitas manusia supaya harganya lebih murah. Dia tidak mengemis harus
merendahakn kemampuan-Nya untuk menebus manusia, Dia tidak memelas sambil pergi
meninggalkan manusia agar dapat Dia beli, seakan-akan Dia tak butuh.
Mengapa Allah
melakukan ini? Inilah yang di sebut dengan Misericordias Domini, karena di mata
Tuhan manusia itu sangat berharga. Inilah tema khotbah Minggu ini. Ya memang
kita sangat berharga di mata Tuhan, sehingga Dia rela mengorbankan nyawa dan
darah-Nya untuk menebus/membeli kita dari kuasa dosa yang mematikan.
Sebagaimana Tuhan
telah “memberikan harga yang mahal” bagi kita, sudah selayaknya kita juga harus
menghargai kehidupan kita. Jangan menjadi “orang murahan” yang bisa
dipermainkan dunia ini, jangan mau menggadaikan kehidupan kepada dosa yang
hanya dapat memberikan kenikmatan sesaat. Kita bukan menjadi manusia yang
“gampangan” melakukan tindakan dosa “yang murahan”, gampang menyerah, gampang
tersinggung, gampang marah dan putus asa. Hidup kita berharga, mari kita
pertahankan, kita jaga sepanjang kehidupan kita, selama kita merantau di dunia
ini sampai kita mendapatkan tempat tinggal yang abadi.
Tuhan rindu melihat
ketaatan sebagai buah penyucian yang Tuhan kerjakan bagi kehidupan kita.
Menjalankan kebenaran sebagai buah “pembenaran” yang diberikan oleh Tuhan. Rasa
syukur oleh karena penebusan Tuhan akan memampukan kita untuk mengamalkan kasih
persaudaraan dengan sungguh-sungguh dan dengan segenap hati. Kita telah
dilahirkan dari benih yang tidak fana, yaitu firman Allah yang hidup dan kekal.
Marilah kita mengejar hal-hal yang kekal, hindarilah perbutan-perbutan yang
membuat “nilai/harga” kita sebagai manusia menjadi ternoda dan berkurang. Kita
berharga di mata kita, orang lain dan Tuhan…..amin.