I. Pendahuluan
Salah satu
dari tri tugas gereja adalah diakonia (selebihnya marturia dankoinonia).
Secara singkat, diakonia dapat berarti melayani. Tentu tidaklah sulit bagi
orang Kristen menemukan atau mendengar kata melayani atau pelayanan. Tanya saja
kepada pendeta yang akan bertugas berkhotbah pada hari Minggu – kalau tidak
salah – beliau akan menjawab “pelayanan”. Atau kepada mahasiswa teologi yang
diberikan tugas pada kebaktian kampus-kalau tidak salah juga-baliau akan
menjawab “melayani”.
Namun perlu
dipahami bahwa bergereja dan berdiakonia bukanlah semudah yang terucapkan
dengan kata-kata. Lebih dari itu, bergereja dan berdiakonia memiliki makna yang
dalam dan cukup menantang untuk dilakukan orang-orang Kristen. Dalam perspektif
Perjanjian Baru, diakonia mendapat posisi penting sampai-sampai orang yang
melaksanakan diakonia tersebut pun harus dipilih dan tugasnya pun diberikan
khusus. Selain itu, masalah yang timbul juga adalah, mengapa ada beberapa
Gereja yang tidak mempunyai diaken untuk mengerjakan tugas diakonia Gereja itu
sendiri atau tugas itu dilimpahkan kepada para Penatua atau pendeta sendiri.
Syarat-syarat untuk menjadi diaken (orang yang mengerjakan diakonia/
pelaku diakonia) harus ditetapkan (lih. Kis. 6:1-7). Berikut ini kami akan
paparkan apakah diakonia itu serta keberadaannya dalam gereja sampai saat ini.
2.1. Pengertian
Gereja
Untuk
pembahasan kali ini, kami tidak terlalu mendalam untuk membahas kembali tentang
arti Gereja itu sendiri karena memang pada seminar sebelumnya sudah ada
pembahasan tentang Gereja. Kami cenderung memaknai istilah gereja (disamping
banyaknya istilah lalin untuk gereja) dengan ekklesia yang berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban
pada umumnya (seperti di kampong, di kota atau negara). Kata ini juga yang
kemudian dipakai gereja untuk menamai kelompok orang yang percaya kepada
Kristus setelah peristiwa salib dan kebangkitan Yesus Kristus. Gereja yang adalah kumpulan orang percaya juga merupakan
tubuh Kristus sehingga Gereja yang sebagai tubuh Kristus dan Kristus
sebagai Kepalanya maka Gereja harus melakukan apa yang dilakukan oleh Sang
Kepala Gereja juga yaitu melakukan diakonia. Gereja yang merupakan perkumpulan
inilah yang menjadi sumber dan tempat terjadinya diakonia karena dalam
perkembangannya diakonia bukan hanya tugas beberapa orang tertahbis saja, tapi
juga tugas gereja secara keseseluruhan
2.2. Pengertian
Diakonia dalam Alkitab
Secara
harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam
bahasa Ibrani pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2:18, 20; Mzm.
121:1. Diakonia dalam bahasa Ibrani disebut syeret yang artinya
melayani. Dan dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia disebutkan diakonia(pelayanan), diakonein (melayani),
dan diakonos (pelayan).
Istilah
diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab
Kejadian jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak
ada menjadi ada (Ex Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik
(Kej. 1:10-31). Allah juga membuktikan pemeliharaan-Nya secara khusus
ditujukan kepada manusia yaitu sebagai pelayanan. Manusia sebagai wakil Allah
untuk melayani-Nya dalam mengurus bumi dan isinya. Inilah panggilan pertama
bagi manusia untuk melayani dan sebagai manusia ciptaan Tuhan, seharusnya ia
melayani. Pelayanan Allah bagi dunia terfokus kepada bangsa Israel
sebagai karya penyelamatan-Nya. Dalam keluhan bangsa-Nya, Allah juga
mendengarkan seruan mereka, Allah memperdulikan orang Israel dan menyatakan
keselamatan serta penebusan. Pembebasan ini bertujuan supaya bangsa yang sudah
dibebaskan melayani Allah dalam kebebasannya dan menjawab kasih-Nya dengan
belas kasih.
Dalam
Perjanjian Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk melayani,
masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam
terjemahan-terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata
melayani yaitu:
Douleuein, yaitu
melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari
orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru
menjadi manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-mula memakai
kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa itu. Di
smaping itu, kata ini juga mendapat arti religius. Orang Kristen adalah budak
Tuhan Allah atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu sesungguhnya merupakan
suatu gelar kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan dan
rencananya sendiri, tetapi keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah
melepaskannya dari belenggu dosa dan dengan demikian sudah membebaskannya.
Leitreuein, yaitu
melayani untuk uang. Kata bendanya latreia(pelayanan yang diupah) juga
dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam PL, yaitu
Septuaginta (LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya untuk
melayani Tuhan Allah dan pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga dalam
Perjanjian Baru, kata ini menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau
dewa-dewa, tidak pernah untuk saling melayani manusia. Roma 12:1 menyebutkan logike
latreia (ibadah yang sejati). Melayani Tuhan dengan tubuh, yaitu dengan
diri sendiri dalam keberadaan yang sebenarnya adalah ibadah yang sesungguhnya
dalam hubungan baru antar Kristus dan manusia.
Leitourgein yaitu
dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi kesejahteraan rakyat
dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di lingkungan
pelayanan di kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani), kata
ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma
15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal
kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata
inilah berasal kata liturgi, yaitu suatu kata ibadah dalam peretemuan jemaat.
Therapeuein yaitu
menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin. Kata ini
juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.
Huperetein yaitu
menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa
pekerjaan itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan
instruksi si pemberi kerja.
Dari semua
kata di atas yang artinya saling berkaitan, kelompok kata diakoneinmempunyai
nuansa khusus, mengenai pelayanan antarsesama yang sangat pribadi sifatnya.
Kata-kata tersebut di atas di sana-sini menunjukkan arti diakonal. Ada hubungan
antara liturgi dan diakonia, sementara therapeuodalam arti perawatan orang
sakit erat kaitannya dengan apa yang dimaksudkan dengan diakonia.
2.3. Diakonia
Dalam Masyarakat Yunani dan Perjanjian Baru
Dalam
kebudayaan Yunani, kata diakonein dan diakonos memiliki
arti yang luas dan tidak dapat diterjemahkan hanya dengna memakai bahasa
Indonesia saja. Itu dapat merujuk kepada beberapa arti, yaitu:
Diakonia
berarti suatu pekerjaan yang hina sifatnya, yang hanya dilakukan budak belian.
Diakonia
adalah kewajiban para budak belian, yang harus dilakukannya tanpa pamrih. Itu
berarti bahwa pelaku diakonia itu dituntut kesediaannya menanggung penderitaan demi
pemuasan hati tuannya.
Diakonia
adalah kesediaan memberikan tenaga pengolahan pertanian, peternakan, bongkar
muat barang ke dalam kapal, bahkan menjadi tenga pendayung kapal layar.
Moralitas
Yunani menekankan kewajiban untuk memperhatikan sesama: orang tua, keluarga,
famii, kawan-kawan, sesama warga negara, orang asing, orang jompo, orang yang
mengalami ketidakadilan. Kedermawanan dianggap sangat dipuji. Sudah menjadi kebudayaan masyarakat Yunani, bahwa
melakukan pekerjaan diakonia itu adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh
sang hamba dengan sebaik-baiknya, tanpa imbalan jasa apa pun (Luk. 17:10).
Walalupun para budak itu tidak akan memperleh apa-apa sebagai imbalan jerih
payah, namun mereka itu harus melakukan pelayanan yang sebaik-baiknya demi
memuaskan hati tuannya. Dengan kata lain, di dunia Yunani dikonein dipandang
sebagai pekerjaan rendah, pekerjaan budak, dan orang merdeka pasti tidak mau
melakukannya.
Para penulis
Perjanjian Baru juga memakai kata diakonia untuk mengartikan pelayanan
menghidangkan makanan dan minuman bukan hanya dalam bentuk pelayanan hamba
kepada tuannya saja, akan tetapi kata diakonia dipakai juga untuk pelayanan
tuan kepada hambanya dan pelanan antarsesamanya (bnd. Mat. 4:11; Mrk. 1:31;
Luk. 10:40, 12:37; Yoh. 2:5). Jelaslah bahwa kata diakonia dalam arti pelayanan
makanan dan minuman itu telah dipakai secara luas dalam masyarakat termasuk
orang-orang Kristen pada jemaat purba. Mengenai para wanita yang mengikuti Yesus, dikatakan
melayani-Nya dengan harta benda (Luk. 8:3), sementara Mat. 25:31-46 melukiskan
pelayanan sebagai memberi makan dan minum, memberi pakaian dan tumpangan,
perawatan dan kunjungan orang sakit serta para tahanan yang dilihat sebagai
pelayanan bagi Tuhan Allah. Kegiatan ini selalu berhubngan dengan pelayanan yang
sedang diberikan kepada sesama, berhubungan dengan hal-hal yang sangat perlu
untuk hidup wajar di dunia dalam suatu hubungan yang sangat pribadi.
Kendati
diakonia gencar diberitakan di Perjanjian Baru, Perjanjian Lama juga ternyata
memuat cukup banyak praktek diakonia (pelayanan), yaitu kepada orang miskin.
Dalam Perjanjian Lama, perhatian kepada orang miskin (baca: perlindungan pada
janda, yatim-piatu, dan orang asing) terdapat dalam Hukum Taurat. Berdasarkan
Hukum Musa, ada beberapa undang-undang yang memberikan perhatian pada orang
miskin dan keadilan sosial, seperti: Tahun Yobel (Im. 25:8-43), Perpuluhan
(Kel. 22:29-30; Ul. 14:22-29; 26:1-15), Larangan mengambil bunga dari yang
miskin (Kel. 22:25-27; Im. 25:35-38; Ul. 15:1-11), dan Pembatasan kekayaan raja
(Ul. 17:14-17; Bnd. 1 Raj. 6-7; 11:1-6).
Dalam Perjanjian
Baru, yang melakukan diakonia diberikan kepada orang yang khusus yaitu diaken,
meskipun memang semua jabatan yang ada haruslah melakukan yang namanya
melayani. Namun, tugas ini sepertinya didalami oleh diaken. Dalam Kis. 6:1-7
diceritakan bahwa diaken itu dipilih dan diberikan tumpangan tangan oleh para
rasul dan untuk selanjutnya diberikan tugas untuk melayani janda-janda yang
kurang mendapat perhatian dari orang-orang di sekelilingnya. Untuk menjadi
diaken harus memenuhi syarat seperti sopan santun, tidak bercabang lidah, tidak
memfitnah orang, dapat dipercaya dalam segala hal dan suami dari satu istri
serta memimpin anak-anaknya dengan baik (Lih. 1 Tim. 3:8). Namun, diaken juga
harus memberikan pelayanan bukan karena suatu jabatan. Pelayanan ini disebut
juga dengan pelayanan kasih, tetapi bukan pelayanan kasih dari Gereja kepada
manusia, sama seperti pelayanan-pelayanan yang lainnya demikian pula pelayanan
diakoni Gereja hanya berfungsi sebagai alat. Subjek dari pelayanan diaken
adalah Allah yang sebebnarnya bertindak dalam pelayanan itu. Diaken hanya
menyampaikan pemberian-Nya itu kepada manusia khususnya manusia yang menderita.
Pelayanan diakoni sangat penting, sama pentingnya dengan pemberitaan Firman.
Keduanya saling membutuhkan, saling mengisi dan saling menjelaskan. Tanpa
pelayanan diakonia, pembertitaan Firman tidak mempunyai hubungan dengan dunia
dan karena itu ia hanya merupakan pidato yang kososng yang tidak dapat
dipercayai.
Maksudnya
bukan membedakan dalam jabatan antara diaken dan penatua. Namun, diaken dan
penatua itu berbeda. Yang membedakan adalah bahwa diaken tidak perlu menjadi
pengajar Firman Allah.
2.4. Yesus
dan Diakonia
Salah satu
hal yang sangat mengherankan dalam alkitab Perjanjian Baru adalah kata diakonia
yang menunjukkan arti kehinaan itu justru dipakai oleh Tuhan Yesus untuk
diri-Nya sediri dan pelayanan-Nya. Tuhan Yesus pada hakikatnya
menjungkir-balikkan secara radikal pola hubungan antar sesama manusia yang mau
dilayani itu menjadi pola baru ialah pola yang mau melayani. Dalam Perjanjian Baru, Yesus dengan jelas dan tegas
mengajarka pada murid-murid-Nya untuk memberi perhatian pada orang miskin.
Sebelum Yesus memulai tugas pelayanan mesianik-Nya di Palestina, Yesus
membacakan Kitab Yesaya (pasal 60) seperti termaktub dalam Luk. 4:18-19: “Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang.”
Selanjutnya,
perhatian dan pelayanan pada orang yang terhina dan terkucilkan ini dianggap
sebagai pelayanan kepada Yesus (Mat. 25:35-48). Dalam penghakiman terakhir dan
kedatangan Yesus kedua kali, semua murid ditimbang dengan tolok ukur yang
jelas, yaitu apa yang mereka lakukan pada orang lapar, haus, telanjang, dan
yang berada dalam penjara. Masuk kedalam Kerajaan Allah tidak didasarkan pada
cara orang berdoa dan beribadah (bnd. Mat. 7:12). Dalam perumpamaan tentang
orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37), pelayanan kasih tak boleh
dibatasi hanya untuk kalangan sendiri, tetapi pelayanan ini harus menjangkau
semua orang walaupun orang yang tidak berasal dari kalangan sendiri, bahkan
orang yang membenci kita. Mengutip beberapa pernyataan Yesus dalam tentang
diakonia:
Matius
20:28: “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Yohanes
12:26: “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada,
di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati
Bapa.”
2.5. Dasar
Pelaksanaan Diakonia
Dasar yang
paling penting dalam diakonia adalah Yesus Kristus itu sendiri. Demikian juga
dengan apa yang dilakukan oleh Yesusu sendiri, baik melalui
mujizat-mujizat-Nya, kata-kata kutukan, keadilan, peneguhan, keajaiban dan
anugerah adalah hal-hal yang menjadi dasar diakonia dan yang memberikan arah
kepada kita untuk melakukan pekerjaan diakonal kita. Dasar pelaksanaan diakonia gereja beranjak dari hal yang
paling ditekankan oleh Yesus yaitu: kedatangan-Nya bertujuan untuk melayani
(Mrk. 10:45). Hal yang sama juga dikatakan Paulus yaitu Yesus darang
sebagai hamba dan menjadi sama seperti manusia (Fil. 2:7). Jadi, sifat dan sikap gereja dalam ber-diakonia berdasar
pada sifat dan sikap Yesus Kristus sebagaimana telah dinyatakan dan dilakukan
di dalam pelayanan-Nya. Sebagaimana Kristus hidup demikianlah juga gereja
hidup. Yesus Kristus bukan hidup untuk diri-Nya sendiri tetapi juga untuk orang
lain. Demikian juga orang Kristen telah menjadi warga gereja atau tubuh
Kristus. Baik secara pribadi maupun secara bersama-sama, gereja harus melakukan
pelayanan terhadap sesame anggota pesekutuan dan terhadap orang lain di Luar
Persekutuan.
Paulus juga
berkara: “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi
hukum Kristus” (Gal. 6:2). Orang yang mau menolong orang lain adalah orang yang
memiliki kasih. Kasih itu bukan untuk diri sendiri. Kasih yang ada pada diri
seseorang adalah diperuntukkan untuk orang lain, diluar dirinya yang
membutuhkan kasih itu. Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata: Aku memberikan
perintah baru kepadamu: yaitu supaya kamu saling mengasihi sama seperti aku
telah mengasihi kamu demikianlah kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian
semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu
saling mengasihi. (Yoh. 13:34-35). Bedasarkan kasih inilah semua pelayanan gereja
dilaksanakan. Oleh karena itu, semua pelayanan haruslah menjadi suatu jawaban
terhadap Allah yang lebih dahulu mengasihi kita. Jadi, konsep diakonia
ditentukan keseluruhannya oleh Yesus Kristus melalui kehidupan, pekerjaan dan
perkataan-Nya.
2.6. Tujuan
Diakonia
Diakonia dipandang
sebagai sikap solidaritas yang mendalam terhadap orang lain berdasarkan kasih.
Solidaritas itu diwujudkan dalam diakonia. Artinya dalam diakonia ada sikap
tanpa pamrih, sikap yang emenekankan hidup bersama dengan tidak mencari
keuntungan diri sendiri.Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu orang lain dan
menempatkannya pada posisi yang benar di hadapan sesama manusia dan Tuhan
Allah. Memperdulikan keberadaan umat manusia secara utuh yaitu kebutuhan
rohani, jasmani dan kebutuhan sosial. Tujuan diakonia juga mendukung realisasi
sebuah persekutuan cinta kasih dan membangun serta mengarahkan orang untuk
hidup di dalamnya. Oleh sebab itu, diakonia mempunyai fungsi kritis dalam
jemaat maupun di dalam masyarakat.
2.7. Bentuk-bentuk
Diakonia Dalam Gereja dan Perkembangannya
Secara umum,
adapun model-model/ bentuk-bentuk diakonia dalam gereja terbagi atas tiga
jenis, antara lain:
Diakonia
Karitatif. Diakonia karitatif mengandung pengertian perbuatan dorongan belas
kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi
perbuatan karitatif pada dasarnya adalah dorongan prikemanusiaan yang bersifat
naluriah semata-mata. Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan
karitatif atau amal berdasar pada Mat. 25:31-36. Model ini merupakan model yang
dilakukan secara langsung, misalnya orang lapar diberikan makanan (roti). Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh instansi
gereja karena dianggap dapat memberikan manfaat langsung yang segera dapat
dilihat dan tidak ada risiko sebab didukung oleh penguasa. Diakonia jenis ini
merupakan produk dan perkembangan dari industrialisaasi di Eropa dan Amaerika
Utara pada abad ke-19
Diakonia
Reformatif atau Pembangunan. Model diakonia ini lebih menekankan pembangunan.
Pendekatan yang dilakukan adalah Community Development seperti
pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam,
dan lain-lain. Analogi model ini adalah bila ada orang lapar berikan makanan
(roti, ikan) dan pacul atau kail supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga
mengusahakan sendiri. Pada jenis ini, diakonia tidak lagi sekedar memberikan
bantuan pangan dan pakaian, tetapi mulai memberikan perhatian pada
penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada
kelompok masyarakat.
Diakonia
Transformatif. Dalam perspektif ini, diakonia dimengerti sebagai tindakan
Gereja melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan
juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama). Diakonia
bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan)
yang dilakukan oleh Gereja melainkan tindakan-tindakan transformatif yang
membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya yang menandakan
datangnya Kerajaan Allah. Diakonia ini bukan hanya berarti memberi makan,
minum, pakaian dan lain-lain, tetapi bagaimana bersama masyarakat
memperjuangkan hak-hak hidup. Diakonia transformatif atau pembebasan boleh
digambarkan dengan gambar mata terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan
mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan
sendiri.
III. Relevansi
Terhadap Gereja Masa Kini
Beranjak
dari pengertian diakonia yang menurut Perjanjian Baru dan versi Yesus,
masing-masing kita boleh menilai keberadaan diakonia dalam gereja kita
masing-masing, entah itu jenisnya, kuantitasnya, atau bahkan kualitasnya. Bagi
kami, diakonia transformatif merupakan diakonia yang harus diperjuangkan gereja
disamping dua jenis diakonia lain yang mungkin sudah berakar dalam tradisi
gereja-gereja kita. Diakonia transformatif mau tidak mau harus menuntut
perubahan cara berpikir dan bertindak sebagai gereja dalam menjalankan misinya.
Dengan diakonia transformatif, gereja jangan teramat bangga jika sudah
memberikan santunan berupa uang dan makanan kepada jemaatnya yang miskin atau
dengan mendirikan sentral pelayanan kesehatan. Lebih dari itu, di dalamnya
mengandung makna misi yang utuh, karena diakonia transformatif bertujuan untuk
mewujudkan manusia dan dunia baru.
Diakonia
transformatif tidak bisa dilepaskan dari misi Allah untuk meyelamatkan isi
dunia pembangunan gereja tidak boleh menjadi penghalang dan hillangnya semangat
diakonia transformatif dari orang percaya. Untuk itu, diakonia transformatif
memiliki tendensi pada beberapa dimensi kehidupan, yaitu:
Diakonia
sebagai ibadah,
Diakonia
sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan hidup,
Diakonia
sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan dengan sesama
manusia,
Diakonia
sebagai upaya untuk menciptakan keadilan sosial dan perwujudan Kerajaan Allah,
Diakonia
sebagai upaya menciptakan kemanusiaan dan kesejahteraan bagi semua.
Dalam
Gereja-gereja pada masa kini, diaken sudah tidak lagi ada. Namun, di GBKP
jabatan diaken masih tetap ada dan di GKPS, mempunyai jabatan Syamas, namun
syamas ini bukan seperti diaken yang disebut dalam Perjanjian Baru karena
praktik yang kelihatan adalah bahwa sebelum menjadi penatua maka seseorang
harus menajdi syamas terlebih dahulu. Sepertinya, Gereja-gereja menjadikan
pelayanan atau diakonia tersebut dilakukan oleh pentua dan para pendeta.
Menurut kami, memang pelayanan dilakukan oleh siapa saja, baik itu diaken,
penatua, pendeta dan bahkan jemaat sekalipun, namun kami berpikir ada baiknya
jika diaken diperhitungkan kembali untuk focus dalam pelayanan diakonia.
IV. Kesimpulan
Sejauh
penjelasan di atas, kita sampai pada beberapa kesimpulan:
Secara
harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Kata
diakonia berasal dari bahasa Yunani yaitu diakonia(pelayanan), diakonein (melayani),
dan diakonos (pelayan).Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Leitreuein, yaitu
melayani untuk uang. Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan
untuk pelayanan umum bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Therapeuein yaitu
menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin. Huperetein yaitu
menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa
pekerjaan itu dilakukan.
Dalam
kebudayaan Yunani, kata diakonein dan diakonos memiliki arti yang luas dan
dapat merujuk kepada beberapa arti, yaitu:
Diakonia
berarti suatu pekerjaan yang hina sifatnya, yang hanya dilakukan budak belian.
Diakonia
adalah kewajiban para budak belian, yang harus dilakukannya tanpa pamrih. Itu
berate bahwa pelaku diakonia itu dituntut kesediaannya menanggung penderitaan
demi pemuasan hati tuannya.
Diakonia
adalah kesediaan memberikan tenaga pengolahan pertanian, peternakan, bongkar
muat barang ke dalam kapal, bahkan menjadi tenga pendayung kapal layar.
Bentuk-bentuk/
jenis-jenis diakonia yang terdapat pada gereja masa kini adalah diakonia
karitatif, diakonia reformatif/ pembangunan dan diakonia transformatif
Diakonia
transformatif merupakan diakonia yang harus diperjuangkan gereja dan harus
memberi perubahan terhadap gereja secara utuh.
Bukankah
lebih baik jika pelayanan atau diakonia itu dikhususkan kepada para diaken
seperti yang dilakukan oleh Perjanjian Baru pada masa itu.