Setelah
mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin kedua
yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 11,
mulai ayat 12 s/d 23, Paulus mulai mengimplikasikan secara praktis di dalam
hidup yang melawan dosa.
Setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya dan memperoleh hidup baru di dalam kebangkitan-Nya, kita tidak boleh lagi hidup di dalam dosa. Apa artinya ? Ada dua arti.
Pertama, tidak lagi hidup di dalam dosa berarti hidup kita tidak ditundukkan di bawah dosa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.” Kata “berkuasa” dalam KJV diterjemahkan reign yang dalam bahasa Yunani berkaitan dengan kerajaan. Dengan kata lain, Paulus memakai metafora ketika ia mengajar bahwa dosa di sini sebagai tuan manusia ketika manusia masih menjadi hamba dosa. Ketika manusia masih menjadi hamba dosa, manusia itu tetap manusia lama yang menjadikan dosa sebagai tuannya. Karena itu Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga) untuk tidak menyerah kalah terhadap kedagingan kita, melainkan kita harus berani menolak dosa. Bagaimana caranya ? Paulus menjelaskan bahwa kita bisa menolak dosa dengan tidak menuruti keinginan dosa.
Setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya dan memperoleh hidup baru di dalam kebangkitan-Nya, kita tidak boleh lagi hidup di dalam dosa. Apa artinya ? Ada dua arti.
Pertama, tidak lagi hidup di dalam dosa berarti hidup kita tidak ditundukkan di bawah dosa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.” Kata “berkuasa” dalam KJV diterjemahkan reign yang dalam bahasa Yunani berkaitan dengan kerajaan. Dengan kata lain, Paulus memakai metafora ketika ia mengajar bahwa dosa di sini sebagai tuan manusia ketika manusia masih menjadi hamba dosa. Ketika manusia masih menjadi hamba dosa, manusia itu tetap manusia lama yang menjadikan dosa sebagai tuannya. Karena itu Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga) untuk tidak menyerah kalah terhadap kedagingan kita, melainkan kita harus berani menolak dosa. Bagaimana caranya ? Paulus menjelaskan bahwa kita bisa menolak dosa dengan tidak menuruti keinginan dosa.
Kedua, tidak hidup di dalam dosa berarti
kita tidak menyerahkan anggota tubuh kita sebagai alat dosa. Di ayat 13, Paulus
mengajarkan hal ini, “Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu
kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu
kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup.
Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi
senjata-senjata kebenaran.” Kata “menyerahkan” berarti ada unsur penyerahan
aktif dari pribadi tertentu kepada pribadi lain. Demikian pula, ketika ayat ini
mengajarkan bahwa kita jangan menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada
dosa berarti kita tidak boleh lagi secara aktif berperan serta di dalam dosa
apalagi untuk sesuatu yang lalim. Kata “kelaliman” dalam ayat ini bahasa
Yunaninya adikia berarti injustice (=ketidakadilan). Dengan kata lain,
kita tidak boleh menyerahkan tubuh kita untuk dipakai iblis dalam mengerjakan
apapun yang tidak adil atau jahat karena itu melawan Allah dan berdosa. Mengapa
kita bisa melakukan semuanya itu ? Paulus memberikan jawabannya di ayat 14,
“Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di
bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.” Yaitu, karena kita tidak
dikuasai lagi oleh dosa, atau tidak memerintah hidup kita, maka kita tidak
hidup di dalam dosa.
Hari ini, setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, adakah hati kita tergerak untuk tidak lagi hidup bermain-main di dalam dosa ? Adakah kita berkomitmen untuk menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari Firman Allah dan Kebenarannya ? Itulah citra diri manusia baru yang telah ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia
Hari ini, setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, adakah hati kita tergerak untuk tidak lagi hidup bermain-main di dalam dosa ? Adakah kita berkomitmen untuk menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari Firman Allah dan Kebenarannya ? Itulah citra diri manusia baru yang telah ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia
Rasul
Paulus mengatakan, “Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba
kebenaran…sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran…Tetapi
sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba
Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai
kesudahannya ialah hidup yang kekal” (Rm. 6:18, 20, 22). Di sini rasul Paulus
sedang berbicara tentang perubahan status dari orang-orang yang menerima dan
percaya kepada Yesus Kristus, yaitu mereka yang tadinya adalah “hamba dosa”
sekarang menjadi “hamba kebenaran.” Berdasarkan ayat-ayat ini, menjadi hamba
kebenaran berarti menjadi “hamba Allah.” Apa istimewanya menjadi hamba Allah?
Kita membaca di sini bahwa dengan menjadi hamba Allah akan menghasilkan buah
berupa pengudusan, dan dari pengudusan akhirnya kepada hidup yang kekal.
Sedangkan “hamba dosa” telah menyebabkan kemerosotan (Rm. 3:23) dan berujung
kepada kebinasaan (Rm. 6:23).
Dalam
Perjanjian Baru penebusan selalu dikaitkan dengan kata hamba (=budak) dan
kebebasan (=kemerdekaan). Ketiga kata ini merupakan kata-kata kunci dalam
konsep keselamatan menurut teologi Kristen sebagaimana diperkenalkan oleh
Paulus dan rasul-rasul lainnya di abad pertama. Perlu diingat, teologi Kristen
yang diajarkan Yesus Kristus dan disebarluaskan oleh murid-murid dan
rasul-rasul lainnya itu diperkenalkan tatkala perbudakan sedang marak-maraknya.
Istilah-istilah yang lazim dalam dunia perbudakan itu digunakan sebagai
metafora dalam rangka menyajikan rencana keselamatan Allah dan pelaksanaannya
secara lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat pada masa itu. Orang berdosa
itu sama seperti seorang hamba atau budak yang sedang berada di tangan majikan
yang menguasainya, dan untuk memerdekakannya harus dengan tebusan.
“Bila
kita memahami penebusan sebagai kemerdekaan dari suatu bentuk perbudakan yang
menuntut bantuan dari luar, kita bisa menyimpulkan bahwa umat manusia yang
berdosa itu terikat oleh suatu kuasa atau pengaruh yang lebih kuat daripada
dirinya. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: Oleh kuasa atau perantara apakah
umat manusia yang berdosa itu telah begitu terikat?” [alinea pertama].
Zaman
perbudakan adalah masa di mana kemanusiaan berada di titik nadir, keadaan
terendah dalam peradaban, tatkala manusia diperlakukan seperti benda atau
barang dagangan yang diperjual-belikan. Perbudakan memiliki sejarah terpanjang
dalam hikayat manusia, di mana menurut catatan perbudakan telah dikenal sejak
zaman Hamurabi sehingga hal itu termaktub dalam Code of Hammurabi (1760 SM); perbudakan
baru berakhir secara resmi tahun 1981 ketika Mauritania, sebuah negara bekas
jajahan Prancis di Afrika Barat, mengumumkan pemberlakuan UU Abolisi Perbudakan
dan menjadikannya sebagai negara terakhir di dunia yang melarang perbudakan.
Dalam
Roma 6:12-23, ini rasul Paulus juga mengingatkan bahwa sebagai orang-orang yang
sudah ditebus dari perhambaan dosa kita tidak lagi menjadi “hamba dosa” tetapi
sudah menjadi “hamba kebenaran.” Penggunaan kata “hamba” di sini untuk
mempertahankan pemahaman tentang makna
kepatuhan, yang semula tunduk kepada keinginan dosa sekarang tunduk kepada
tuntutan kebenaran. Kalau tadinya sebagai hamba dosa telah menimbulkan
kecemaran yang akan berakhir dalam kebinasaan, sekarang sebagai hamba kebenaran
membuahkan kekudusan yang berujung kepada hidup kekal.
Peralihan
dari “hamba dosa” kepada “hamba kebenaran” (=hamba Allah) adalah sebuah
pengalaman sangat istimewa yang momentumnya perlu terus dipelihara, agar
seseorang yang semula diperhamba oleh dosa menyadari akan kemerdekaannya
sehingga tidak selalu merasa dikendalikan oleh kuasa dosa. Sebaliknya, menjadi
hamba kebenaran adalah memiliki kebebasan untuk melakukan hal-hal yang benar
tanpa dihalang-halangi lagi oleh kuasa dosa yang sudah tak berdaya lagi. Namun,
seringkali kebiasaan hidup berdosa yang sudah mendarah-daging itu masih terbawa
terus walaupun kita sekarang sudah menjadi hamba Allah. Seperti mantan
narapidana yang baru dibebaskan setelah bertahun-tahun meringkuk di balik
jeruji besi, acapkali agak sukar baginya untuk bisa langsung berperilaku
sebagai orang merdeka. Sehingga rasul Paulus mengingatkan, “Sebab itu hendaklah
dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi
menuruti keinginannya. Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu
kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu
kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup.
Apa yang kita pelajari
tentang dimerdekakan dari perbudakan dosa?
1.
Kemerdekaan dari perbudakan dosa adalah keadaan di mana manusia tidak lagi
terikat pada keinginan alamiah untuk berbuat dosa. Sebagaimana seorang budak
yang dibebaskan dari perbudakan memiliki kesempatan untuk menikmati hidup yang
lebih bermartabat, demikianlah seorang hamba dosa yang sudah dimerdekakan itu
beroleh kesempatan untuk hidup lebih suci/Kudus.
2.
Dimerdekakan dari perhambaan dosa bukanlah atas kekuatan kita sendiri melainkan
itu adalah karunia Tuhan. Status baru ini memberi suatu kesempatan kepada kita
untuk hidup terlepas dari kekangan dosa, dan untuk melakukan kebenaran sehingga
kita disebut sebagai “hamba kebenaran.”
3.
Meskipun Allah telah menyediakan kemerdekaan dari perhambaan dosa bagi setiap
orang, namun pilihan tetap berada pada diri orang itu sendiri. Tidak seperti
perbudakan fisik yang berasal dari kehendak di luar diri orang yang dijadikan
budak itu, perhambaan dosa berpangkal di dalam diri orang yang menjadi hamba
dosa itu sendiri. Jika kita benar2 mengasihi Kristus yang telah melahirkan kita
kembali melalui KasihNya, kita tidak akan melakukan dosa lagi.
Amen
1 komentar:
Mantap Pak Pendeta atas ulasannya dan kalau bisa lebih awal lagi terbitkan, hari senin atau selasa spy kami para Penatua dpt mempersiapkan Khotbah kami lebih awal lagi
Posting Komentar