Dalam buku kumpulan
cerita bermakna, saya membaca sebuah cerita bagus yang menceritakan tentang
seorang ibu yang menulis sebuah artikel menarik tentang pengalamannya mendekor
ulang rumahnya. Segala sesuatu berjalan dengan lancar sampai suatu hari,
suaminya menolak nasihat ahli dekorasi interior yang mereka sewa. Sang suami
ingin tetap memasang sebuah lukisan Yesus yang besar pada dinding di ruang
tamu.
Ibu itu mencoba untuk menasihati suaminya agar berpikir ulang, tetapi ia
menolaknya dengan keras. Kemudian, setelah diskusi dengannya, sang istri
teringat pada sabda Tuhan ini: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan orang
lain, Aku akan mengakuinya di hadapan Bapa-Ku yang di surga (Mat 10:32).”
Perdebatan di antara mereka selesai. Suaminya yang menang.
Kini, ibu itu mengaku bahwa ia gembira karena suaminya yang menang sebab
lukisan itu ternyata mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi keluarga dan para
tamu. Suatu hari, seorang tamu bgerkunjung dan memandangi lukisan itu. Akhirnya
tamu itu berkata kepadanya, “Sebetulnya mata Yesus itu tidak sedang memandang
kepada kalian, tetapi ia memandang lewat kalian.”
Dan suatu malam,
seorang sahabat yang lain duduk di seberang lukisan itu berkata, “Aku
selalu merasa begitu damai bila berada di rumahmu ini.”
Ibu itu menutup
artikelnya dengan berkata, dia tahu orang lain akan tersenyum mendengar
kata-katanya itu, bahkan mungkin menertawakannya, tetapi dia tidak peduli. “Inilah
yang saya ketahui,” katanya, “Ketika anda mengundang Yesus masuk ke dalam
rumahmu, Anda tidak akan menjadi orang yang sama lagi.”
Saudara/iku terkasih, penginjil Matius dalam bacaan hari ini memberi pesan
kepada kita akan 2 hal penting yakni: Teladan
dan Ketaatan! Dalam perutusan para murid, Yesus berpesan kepada mereka
supaya di dalam menjalankan perutusan mereka harus tetap taat dan setia kepada
tugas dan perutusan Yesus; selain itu pula mereka harus mampu untuk menjadi
teladan dalam hal cara hidup bagi orang-orang di tempat mereka berkarya.
Kedua poin ini diharapakan oleh Yesus untuk menjadi keutamaan yang harus
dimiliki oleh setiap keluarga Kristiani. Tak terkecuali saudara/i sekalian.
Yesus senantiasa mengharapkan agar dalam hidup kita sehari-hari, kita mampu
untuk menjadi pewarta kabar sukacita Kristus bagi orang lain; siapapun dia,
terlepas dari status kita; baik kita sebagai pelayan umat atau sebagai bapa
keluarga, ibu rumah-tangga ataupun sebagai anak dalam keluarga. Pola pewartaan
kita tentu harus sesuai dengan status kita masing-masing.
Pertama, kepada setiap orang tua
diharapkan agar menjalankan fungsinya dengan baik; tentu dengan cara memberikan
teladan yang baik kepada anak-anaknya. Teladan yang dimaksudkan ialah cara
hidup yang baik, keharmonisan yang terjalin antara suami dengan istri atau
istri dengan suami, serta rasa cinta dan kasih kepada anak-anaknya. Selain itu
pula para orangtua diharapkan memberi nasehat serta pelajaran berharga yang
nantinya dapat berguna bagi anak-anaknya untuk tumbuh berkembang menjadi
pribadi yang dewasa baik dalam iman, harap dan kasih.
Kedua, kepada setiap anak-anak
sebagai generasi Kristiani diharapkan memiliki ketaatan yang mantap
kepada orangtuanya. Ketaatan yang dimaksudkan ialah rasa hormat dan patuh
kepada orangtua, yang dibarengi oleh rasa pengabdian dan kesadaran bahwa
orangtua merupakan perpanjangan tangan dari Tuhan untuk membentuk kita menjadi
pribadi yang dewasa dan matang.
Saudara/I
Dalam kehidupan sehari-hari betapa sering tanpa kita sadari makna percaya
kepada Kristus hanya dihayati sebagai perjuangan spiritualitas untuk menghayati
pengajaran-pengajaran Kristus. Sehingga tokoh Yesus Kristus sering hanya
dihayati sebagai seorang “guru moral” atau pengajar yang bijaksana dan
berpengaruh luas. Padahal kita akan dimampukan untuk melaksanakan seluruh
pengajaran dari Kristus, ketika kita memiliki hubungan yang personal dan intim
dengan Dia. Ketika dalam kehidupan iman sehari-hari kita mau menerapkan
hubungan kita dengan Kristus sebagai seorang mempelai, maka kehidupan kita akan
dipenuhi oleh kuasa anugerahNya yang memampukan kita untuk melaksanakan
kehendak dan rencana Allah. Karena itu persekutuan atau relasi yang
personal dengan Kristus pada hakikatnya tidak dapat ditawar atau dinegosiasi
lagi jikalau kita ingin menanggalkan dan menyalibkan manusia lama yang kita
miliki. Bahkan makna relasi kita dengan Kristus harus melebihi relasi dan kasih
kita kepada orang-orang yang kita cintai. Di Mat. 10:37, Tuhan Yesus berkata:“Barangsiapa
mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan
barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia
tidak layak bagi-Ku”. Perkataan Tuhan Yesus tersebut hendak
menegaskan sesuatu yang sangat fundamental, yaitu bahwa Dia memiliki hak untuk
memperoleh prioritas yang paling utama sehingga manusia harus mengasihi Dia
dengan segenap hati, segenap jiwa dan akal-budinya melebihi kasih mereka kepada
orang-orang yang dicintainya seperti kasih kepada ayah, ibu dan anak-anaknya.
Bukankah dalam perkataan Tuhan Yesus tersebut menggemakan firmanNya agar
manusia mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budinya (Mat.
22:37)? Jadi bukankah terdapat paralelisme gagasan teologis antara ajaran Tuhan
Yesus di Mat. 22:37 dengan Mat. 10:37? Bukankah inti dari Mat. 22:37
dan Mat. 10:37 merupakan panggilan dan dasar pijak bagi umat manusia untuk
memprioritaskan diri Kristus sebagai yang paling utama, sehingga setiap orang
tanpa terkecuali dengan hati yang tulus mempersekutukan dirinya sebagai seorang
mempelai wanita yang sungguh-sungguh mau mengasihi mempelai pria dengan seluruh
hidupnya?
Kesediaan
diri untuk mempersekutukan dengan Kristus pada satu pihak memberikan
karunia bagi kita untuk terus dimampukan melaksanakan kehendak
Allah; dan pada pihak lain mengajak kita untuk berani mengambil
pilihan hidup secara tepat. Pilihan hidup yang perlu ditempuh dan dilakukan
oleh setiap orang percaya kepada Kristus adalah:
“Barangsiapa
tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:38).
“Barangsiapa
mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa
kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat. 10:39).
Ungkapan
Tuhan Yesus yang menyatakan “barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut
Aku, ia tidak layak bagi-Ku” jelas suatu ungkapan yang berkias. Arti “memikul
salib” secara harafiah lebih tepat diterjemahkan dengan “memikul palang salib”
sebab pada zaman dahulu orang-orang yang dihukum salib dipaksa untuk memikul
sebuah balok berat (crossbeam) ke tempat dia akan
dieksekusi. Jadi arti simbolis dalam ucapan Tuhan Yesus tersebut merupakan
suatu panggilan agar setiap orang percaya mau mengambil keputusan yang disadari
yaitu mau menyangkal diri secara total dan berjalan di belakang Kristus menuju
tempat Dia akan dieksekusi mati. Kesediaan mau menyangkal diri berarti pula
kesediaan untuk menampik atau menolak berbagai keinginan duniawi yang pada
puncaknya rela kehilangan nyawa. Di sinilah kita sering gagal untuk mengikut
Kristus dalam arti yang sesungguhnya karena kita sering gagal untuk menolak
berbagai keinginan duniawi. Padahal seseorang yang sedang memikul
palang salib senantiasa berjuang dan berupaya sedemikian rupa untuk tetap tegar
menuju ke tempat eksekusi! Jadi seharusnya setiap orang Kristen yang ingin
memperoleh kehidupan sebagai manusia baru di dalam Kristus harus
bersedia menyalibkan manusia lamanya dengan jalan senantiasa mau
menyangkal diri. Tapi kehausan kita untuk serakah, egois, iri-hati
dan memperoleh sebanyak-banyaknya kenikmatan duniawi yang menyebabkan kita
tidak tahan untuk berjalan memikul palang salib di belakang Kristus.
Perkataan
Tuhan Yesus yang menyatakan: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan
kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
memperolehnya” (Mat. 10:39) sering disalahpahami maknanya. Dalam hal ini Tuhan
Yesus tidak mengatakan bahwa hidup atau nyawa seseorang itu tidak bernilai
sehingga tidak perlu diperjuangkan dan dipertahankan. Sebab yang
dimaksudkan oleh Tuhan Yesus justru mau menegaskan bahwa hidup atau nyawa
manusia begitu bernilai, karena itu janganlah hidup itu dipertahankan dengan
cara-cara yang merugikan nilai dan martabat dirinya. Karena betapa sering
manusia berupaya untuk “mempertahankan nyawa” (hidupnya) dengan cara-cara yang
tidak etis, tidak bermoral dan bersifat egosentris. Karena keadaan yang sulit,
seseorang merasa berhak untuk merampas hak milik orang lain. Karena kemiskinan,
seseorang merasa berhak melakukan perbuatan tercela. Karena merasa dirinya kuat
dan berkuasa, maka seseorang sering merasa berhak untuk menindas dan menekan
sesamanya yang lemah. Sikap mereka secara duniawi tampaknya
berhasil mempertahankan hidup, tetapi sesungguhnya mereka telah
menghancurkan nilai-nilai dan makna dari hidupnya yang paling esensial. Mereka
gagal total menghargai kehidupan atau nyawanya sendiri dengan cara merebut atau
merampas hak hidup orang lain. Itu sebabnya mereka tetap hidup sebagai manusia
lama yang tetap dibelenggu oleh kuasa dosa. Tetapi hidup mereka akan berubah
secara drastis dan dapat menjadi manusia baru di dalam Kristus, ketika mereka
mau menanggalkan pola hidupnya yang lama dengan cara mempersekutukan diri
secara personal dengan Kristus; yaitu ketika mereka bersedia kehilangan nyawa
karena Kristus. Mereka bersedia menolak godaan dan tawaran duniawi dengan tetap
konsisten berjalan di belakang Kristus. Jadi dalam persekutuan dengan Kristus,
seseorang yang kehilangan hidupnya secara duniawi justru bertujuan supaya
mereka dapat mengalami suatu kehidupan yang bermakna dan otentik.
Jika
demikian, apakah saudara saat ini secara pribadi telah memiliki persekutuan
dengan Tuhan Yesus? Ataukah saudara masih menempatkan Kristus sekedar sebagai
guru moral atau pengajar yang bijaksana, tetapi saudara belum memiliki hubungan
yang personal dengan Dia? Apabila kita belum memiliki hubungan yang personal
dan khusus dengan Tuhan Yesus, maka kasih kita kepadaNya tidak pernah melebihi
kasih kita kepada orang-orang yang kita cintai. Mereka terlalu kita cintai,
tetapi pada sisi yang lain sebenarnya kita telah menjerumuskan hidup kita dan
orang-orang yang kita cintai kepada kuasa dunia ini. Tetapi
sebaliknya ketika kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap
hati dan kasih kita kepadaNya melebihi semua hal di dunia ini, kita justru akan
dimampukan untuk mengasihi secara benar setiap orang yang ada di sekitar kita.
Bagaimanakah sikap saudara sekarang? Amin. Dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar