Selasa, 04 Maret 2014

"BERJALAN DI DALAM KEBENARAN TUHAN" Kej. 9:8-17; Mzm. 25:1-10; I Petr. 3:18-22; Mark. 1:9-15

Pengantar Keselamatan yang dialami oleh Nuh dan anak-anaknya dari air bah menandai suatu era atau babak kehidupan yang baru. Bumi telah dibersihkan dari dosa. Umat yang berdosa telah menolak untuk bertobat dan berjalan di dalam kebenaran Tuhan, sehingga Allah memutuskan untuk membinasakan mereka dengan air bah. Saat Nuh dan anak-anaknya keluar dari air bah dan menginjak tanah, sesungguhnya mereka berada di bumi yang baru. Nuh dan anak-anaknya kini memiliki peran dan kemungkinan yang baru dalam episode sejarah keselamatan yang disediakan oleh Allah. Dengan respon iman yang tepat, Nuh mengawali episode baru tersebut dengan mempersembahkan persembahan syukur kepada Allah. Ketika Tuhan mencium persembahan yang harum itu, Dia berfirman: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan” (Kej. 8:21). Nuh dan anak-anaknya memilih untuk mengawali suatu babak kehidupan yang baru dengan sikap yang merendahkan diri dan mengucap syukur atas kasih-karunia Allah agar mereka dimampukan untuk berjalan di dalam kebenaran Tuhan. Mereka tidak menganggap keselamatan dari bencana air bah atau hukuman Allah tersebut sekedar dari suatu peristiwa kebetulan, tetapi dengan sadar dihayati sebagai wujud rencana Allah yang memanggil mereka untuk menjadi berkat dan keselamatan bagi umat manusia selanjutnya. Tidaklah mengherankan jikalau Allah mengawali babak kehidupan yang baru tersebut dengan mengadakan perjanjian keselamatan dengan Nuh. Yang mana perjanjian keselamatan Allah dengan Nuh tersebut didasarkan pada janji firman Tuhan, yaitu bahwa Allah tidak akan membinasakan lagi segala yang hidup walaupun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya. Perjanjan keselamatan Allah dengan Nuh sama sekali didasarkan pada anugerah pengampunanNya. Dalam konteks ini Allah lebih tampil sebagai seorang Penyelamat (redeemer) dari pada menjadi Pembinasa (destroyer) umat manusia. Tujuannya adalah agar seluruh umat manusia yang lahir dari keturunan Nuh dapat berjalan di dalam kebenaran Tuhan. Namun juga perlu diingat bahwa pemilihan Allah atas diri Nuh, karena selama ini Nuh terbukti mampu hidup benar di tengah-tengah masyarakat dan umat yang begitu jahat. Itu sebabnya di Kej. 6:9 menyaksikan: “Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah”. Pola kehidupan Nuh sangatlah kontras dengan pola atau cara hidup umat manusia sezamannya yang amoral dan melakukan berbagai kekerasan atau kejahatan. Nuh mampu bertahan dengan hidup suci dan tetap konsisten untuk berjalan di dalam kebenaran Tuhan. Pengaruh dan tekanan zaman berhasil dia hadapi dengan sikap penyerahan hidup yang selalu taat kepada firman Tuhan. Karena itu ciri yang menonjol dalam kepribadian Nuh adalah integritas dirinya, sehingga dia adalah satu-satunya orang yang “tamim” (Ibr.) yang artinya: hidup benar dan tidak bercela di hadapan Allah atau sesamanya. Nuh senantiasa hidup dalam prinsip-prinsip iman yang menempatkan kehendak Allah sebagai yang paling utama dan paling mulia. Pada sisi lain pola keteladanan hidup Nuh tersebut dalam kehidupan sehari-hari justru sering kita abaikan. Kehendak Allah dan firmanNya justru sering kita anggap hanya menjadi salah satu bagian yang melengkapi (sekedar suplementer) berbagai kebutuhan religius dan psikologi kita. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak menempatkan kehendak Allah dan firmanNya sebagai satu-satunya pondasi yang paling utama dan paling mulia? Kita sering terlalu cepat dan mudah untuk menyerap atau mengadaptasi setiap trend yang berkembang tanpa sikap yang kritis dan selektif. Apalagi bila trend tersebut didukung oleh banyak orang atau teman-teman di sekitar kita, maka umumnya kita juga cenderung untuk mengikuti perilaku mereka seperti: tindakan korupsi, penikmat gambar porno, sikap yang konsumtif, berfoya-foya dan seks bebas. Kecenderungan perilaku kita tersebut bukan hanya karena semua jenis dosa mampu memberikan berbagai “kenikmatan” atau “kepuasan daging”, tetapi juga karena kita juga tidak mau kehilangan “pengakuan” dan “pujian” dari orang-orang di sekitar kita. Sehingga tepatlah nasihat rasu Paulus yang berkata: “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” (I Kor. 15:33). Godaan terbesar bagi kita untuk berjalan di dalam kebenaran Tuhan adalah terbelenggu oleh lingkungan atau komunitas pergaulan yang buruk. Relasi Khusus Yang Diikat oleh Perjanjian Sendi-sendi kehidupan kita sesungguhnya dijalin, dipintal dan bertumbuh karena relasi yang eksistensial. Relasi eksistensial yang dimaksud meliputi: relasi dengan Allah, sesama atau orang lain, lingkungan atau alam dan dengan diri kita sendiri. Sehingga putusnya relasi kita dengan salah satu aspek dari keempat faktor tersebut akan menghambat atau merusak proses pertumbuhan dan sendi-sendi kepribadian kita. Akibatnya pertahanan diri kita akan rapuh dan mudah terbelenggu oleh pergaulan yang makin menyeret diri kita ke arah yang negatif dan destruktif. Hakikat relasi dengan Allah, sesama, lingkungan dan diri sendiri bukan sekedar suatu kebutuhan sosial dengan “pihak lain”, tetapi juga suatu fundamen untuk menciptakan pemaknaan terhadap hidup ini. Pemaknaan tersebut akan mendorong diri kita untuk menciptakan arah dan tujuan hidup tertentu. Itu sebabnya apabila relasi kita putus/retak khususnya dengan Allah,sesama dan diri sendiri maka kita akan kehilangan makna dan tujuan hidup ini. Pada saat itulah kita akan mengalami suatu kehidupan yang tanpa arti dan tanpa tujuan. Hidup terasa gelap dan kelam. Di posisi yang demikian setiap orang yang mengalami umumnya akan sangat mudah untuk ditarik ke dalam pusaran atau kawasan duniawi yang sebelumnya sangat dia tolak. Sekali dia memasuki kawasan duniawi, maka sangatlah sulit bagi dia untuk keluar dengan selamat. Dia merasa telah kepalang basah. Dengan pemahaman demikian, kita dapat mengerti mengapa seseorang yang telah terjebak dalam suatu perbuatan dosa sangatlah sulit untuk dinasihati atau dikritik. Jadi sangatlah keliru apabila kita berlaku kasar dan menyudutkan sesama atau saudara yang sedang jatuh dalam dosa agar dia bertobat dan menyesal. Karena dia akan makin mengeraskan hati dan membenamkan diri lebih dalam ke berbagai perbuatan dosa. Karena yang sangat dia butuhkan adalah relasi yang penuh kasih dan penuh pengertian sehingga dia sedikit demi sedikit dapat memulihkan relasi eksistensial yang terputus. Dalam konteks demikian, Allah berkenan menyatakan anugerah kasihNya sehingga relasi Allah dengan manusia diikat oleh perjanjian keselamatan. Di era baru setelah penghukuman air bah, Allah tidak lagi mengambil solusi hukuman yang membinasakan umat manusia tetapi mengikutsertakan manusia sebagai mitraNya dalam perjanjian keselamatan. Di Kej. 9:12-13, Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi”. Tanda perjanjian keselamatan Allah yang penuh anugerah dinyatakan melalui simbol busur (qeset). Semula dengan busur yang dilengkapi dengan anak panah dipakai oleh Allah untuk memanah setiap umat yang berdosa, sehingga mereka binasa. Tetapi setelah bumi dibersihkan dari perbuatan dosa, Allah mengambil keputusan untuk menempatkan kasih-karuniaNya yang membaharui kehidupan umat yang berdosa. Karena itu simbol busur (qeset) yang dilambangkan dalam wujud pelangi bermakna tumbuhnya pengharapan dan keselamatan yang baru. Busur Allah yang pernah membinasakan kehidupan umat kini berubah fungsi menjadi busur senjata Penebus dan Penyelamat bagi umat yang berdosa. Sebagai Penebus dan Penyelamat, Allah menggunakan busur dan senjataNya untuk menjaga dan melindungi umat agar mereka terjaga dari serangan kuasa maut. Itu sebabnya dosa umat yang begitu besar tidak lagi menghalangi kasih-karunia Allah terus bekerja dalam kehidupan ini, sehingga umat dikaruniai pengharapan dan kesempatan untuk bertobat. Sekaligus busur Allah yang ditampilkan dalam bentuk pelangi untuk mengingatkan umat agar mereka selalu ingat akan kasih karunia Allah yang menjaga dan melindungi mereka. Sehingga umat dapat menjaga diri dari dorongan dan daya tarik dunia seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang pada zaman Nuh. Namun dalam praktek hidup betapa sering kita melupakan dan mengabaikan perjanjian keselamatan Allah yang telah dianugerahkan dalam kehidupan kita. Itu sebabnya perjalanan hidup tidak lagi kita hayati sebagai suatu ziarah iman, tetapi sebagai rangkaian panjang petualangan akan dosa. Padahal relasi khusus yang diikat oleh Allah dalam perjanjianNya bertujuan agar kehidupan kita dapat menjadi suatu ziarah iman di mana kita selalu haus akan kebenaranNya. Tetapi ketika rasa haus kita tidak lagi terarah kepada kebenaran Allah, maka rasa haus kita akan berubah menjadi rasa haus akan kenikmatan dunia ini. Dalam situasi yang demikian, kita perlu bersikap seperti pemazmur yang berkata: “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari” (Mzm. 25:4-5). Jalan Tuhan Yang Transformatif Bagi kita umat yang hidup di era global, saat ini kita telah memiliki akses informasi yang tak terbatas. Sehingga sangat mudah bagi kita untuk memperoleh pengetahuan iman dan firman Tuhan seluas-luasnya. Karena itu kita dapat membuka situs dan “search engine” dari berbagai versi terjemahan Alkitab termasuk isi Alkitab dalam bahasa asli. Kalau perlu kita juga dapat membuka situs yang menyediakan ribuan film atau video yang menayangkan pemberitaan firman dalam berbagai bahasa atau bahasa yang paling kita kuasai. Tetapi apakah semua upaya dan fasilitas akses tersebut menjamin langkah kehidupan kita untuk terus berjalan dalam kebenaran Tuhan? Jadi apakah masih relevan jikalau pemazmur berkata kepada Tuhan, “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku”. Jalan kebenaran Tuhan tidaklah identik dengan tumpukan informasi dan luasnya pengetahuan kognitif kita. Sebab jalan kebenaran Tuhan pada hakikatnya menyangkut relasi personal yang telah diubahkan atau relasi yang ditransformasikan. Seseorang yang hidup dalam kebenaran Tuhan seharusnya akan terlebih dahulu mengakui bahwa: “TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat. Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati” (Mzm. 25:8). Karena itu relasi umat dengan Allah sangatlah menentukan. Apa artinya kita mengetahui banyak hal tentang Allah tetapi menjadi orang yang asing dan terbuang dari hadapan Allah. Apa artinya kita mampu mengakses atau begitu fasih membuka ribuan akses informasi tentang Allah dan karyaNya, tetapi Allah berpaling dari diri kita karena segala dosa yang terus menumpuk dan terpupuk? Jalan kebenaran Tuhan hanya dinyatakan kepada orang-orang yang rendah hati. Spiritualitas kerendahan hati itulah yang menjadi pintu atau akses utama bagi karya keselamatan Allah. Melalui karya penebusan Kristus, Allah mendamaikan diri kita yang berdosa agar dapat menjadi orang-orang yang dibenarkan. Surat I Petr. 3:18 berkata: “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh”. Karya penebusan Kristus bagi umat yang berdosa tidak dilakukan dengan cara menghukum atau membinasakan umat dengan air bah sebagaimana yang dilakukan Allah pada zaman Nuh. Tetapi dilakukan Kristus dengan cara menyerahkan diriNya untuk menjadi tebusan bagi umat manusia melalui kematian dan kebangkitanNya. Akar dosa tidak dipotong dengan mematikan kehidupan umat manusia, tetapi dengan cara mengorbankan diriNya. Tepatnya Kristus datang untuk memberi kehidupan agar umat yang berdosa dapat memperoleh hidup dalam kelimpahan rahmat Allah (Yoh. 10:10). Bahkan lebih jauh lagi surat I Petrus menyaksikan bahwa karya keselamatan Kristus juga menjangkau roh-roh manusia yang dahulu dibinasakan oleh Allah pada zaman Nuh. Surat I Petr. 3:19-20 berkata: “Dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu”. Karya keselamatan Kristus yang memberi hidup pada hakikatnya merupakan perwujudan dari busur (qeset) Allah, sehingga melalui kematian dan kebangkitanNya Dia telah mematahkan kuasa maut/kuasa dosa. Selain itu Kristus juga dengan kematian dan kebangkitanNya telah memanahkan ribuan “anak panah” kasih Allah yang menghancurkan setiap hati yang keras dan mereka yang terbelenggu oleh kuasa dosa. Dengan demikian melalui dan di dalam Kristus, kini terbukalah jalan Tuhan yang transformatif. Apabila umat manusia sejak semula selalu gagal untuk berjalan dalam kebenaran Tuhan karena dicengkeram oleh kuasa dosa, maka kini di dalam Kristus kita dimampukan oleh kuasa anugerahNya sehingga kita dapat hidup sebagai anak-anak Allah. Dipimpin oleh Roh Ciri hidup sebagai anak-anak Allah ditandai oleh kesediaan diri untuk dipimpin oleh Roh. Sebab karya penebusan Kristus pada hakikatnya bertujuan untuk membuka akses jalan kehidupan yang transformatif yaitu jalan kehidupan yang diperbaharui oleh anugerah dan kasih Allah. Ada 3 jalan kehidupan yang telah diteladankan Kristus bagi kita, yaitu: baptisanNya di sungai Yordan, pencobaanNya di padang gurun dan proklamasi pemberitaanNya yang pertama di Galilea (Mark. 1:9-15). Ketiga jalan kehidupan yang ditempuh oleh Tuhan Yesus tersebut pada hakikatnya merupakan jalan kehidupan yang dipimpin oleh Roh. Baptisan Kristus ditandai dengan penyataan Allah dari sorga dan hadirnya Roh Kudus dalam bentuk burung merpati. Setelah dibaptis, Yesus dibawa oleh Roh untuk dicobai oleh Iblis di padang gurun selama 40 hari. Kemudian dari padang gurun Tuhan Yesus kembali ke Galilea memberitakan Injil yaitu: "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Mark. 1:15). Umumnya kita mampu menghayati peristiwa baptisan sebagai sikap penyerahan diri kita sebagai anak-anak Allah. Tetapi apakah setelah dibaptis, kita bersedia menanggung berbagai pencobaan yang begitu berat? Kita sering membayangkan bahwa berjalan di dalam kebenaran Tuhan senantiasa akan membawa jalan hidup yang lebih lancar, mulus tanpa hambatan dan segala harapan kita menjadi kenyataan. Bagi beberapa orang, hal tersebut mungkin dapat terwujud dalam suatu kenyataan. Tetapi bagi sebagian orang ternyata tidaklah selalu demikian. Bahkan beberapa orang setelah dia dibaptis dan menjadi umat Allah, dia justru mengalami pencobaan dan permasalahan yang bertubi-tubi. Setelah dia dibaptis, justru dia menghadapi vonis dokter bahwa penyakitnya telah sangat kronis, sebagian orang kehilangan pekerjaan, sebagian lagi kehilangan orang-orang yang sangat dikasihinya; atau sebagian yang lain mengalami kegagalan dalam usaha atau rencana besarnya. Semua peristiwa pahit tersebut membutuhkan daya tahan dan kekuatan iman yang dianugerahkan oleh Roh. Kita tidak mungkin mampu menghadapi dengan kekuatan moril dan akal-budi kita semua peristiwa yang begitu pahit. Tetapi ketika kita dipimpin oleh Roh, maka kita dimampukan untuk berjalan dalam kebenaran Tuhan dengan melewati semua hal yang pahit dan menyakitkan itu. Semua peristiwa yang pahit dan sangat sulit tersebut sesungguhnya merupakan materi riel (“materi eksistensial”) yang memproses dan memurnikan diri kita sebagai anak-anak Allah. Karena itu dasar pemberitaan Kristus yang pertama di Galilea sungguh-sungguh lahir dari proses pergumulanNya sebagai manusia. Dia bukan sekedar seorang guru (rabbi) dan nabi Yahudi yang fasih memberitakan tentang pertobatan. Sebaliknya Kristus telah menggumuli secara eksistensial realitas kehidupan umat manusia yang terbelenggu oleh kuasa dosa, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh kitab Ibrani, yaitu: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Betapa sempurnanya sang Juru-selamat kita, Yesus Kristus. Dia telah dicobai hanya tidak berbuat dosa. Realitas ini makin meneguhkan, bahwa Kristus bukan hanya memiliki kekuatan moril yang sangat sempurna, tetapi juga seluruh hidupNya merupakan pengejawantahan dari kehadiran Roh Allah. Sehingga makna berjalan dalam kebenaran Tuhan tidaklah mungkin dapat dilepaskan dari relasi personal dan imaniah dengan diriNya. Lebih tepat lagi makna berjalan dalam kebenaran Tuhan sesungguhnya identik berjalan di dalam Dia. Sebab Dialah sang jalan dan kebenaran Allah itu sendiri (Yoh. 14:6). Jika demikian, perjanjian keselamatan Allah yang dinyatakan kepada Nuh telah terwujud secara sempurna di dalam diri Kristus. Melalui Kristus, Allah mengadakan perjanjian yang mendamaikan dengan seluruh umat dan seluruh mahluk. Bandingkan dengan kesaksian Injil Markus di bagian pasal terakhir dia menyaksikan: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mark. 16:15). Panggilan Makna berjalan dalam kebenaran Tuhan tidaklah cukup diperoleh melalui ritus, ritual atau pengajaran keagamaan. Kita semua sebenarnya telah tahu apa yang baik dan jahat. Apalagi kini kita telah mampu mengakses berbagai informasi dan pengetahuan yang tanpa batas melalui berbagai fasilitas multi-media dan alat komunikasi. Tetapi seluruh pengetahuan kita tersebut sama sekali tidak menyelamatkan dan menolong kita untuk berjalan dalam kebenaran Tuhan. Mereka sekedar alat penunjuk jalan, tetapi bukan jalan. Padahal kita membutuhkan jalan kebenaran yang sesungguhnya. Jalan kebenaran Tuhan yang sesungguhnya adalah sang Kristus. Sebab Dialah sang busur Allah di mana Allah telah mengungkapkan seluruh kasih karunia dan keselamatan di dalam namaNya. Dengan karya penebusanNya Kristus telah membinasakan dan menghancurkan seluruh kuasa dosa, sekaligus Dia menjaga umatNya sebagai gembala yang baik. Jika demikian, apakah kehidupan kita telah berpola kepada kehidupan Kristus yang mau merendahkan diri saat Dia dibaptiskan, mau diuji dan dicobai saat Dia berada di padang gurun dan mau memberitakan Injil keselamatan agar tercipta keselamatan yang utuh? Untuk itu kita perlu merespon panggilan Kristus untuk terus bertobat dan memberlakukan Injil dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin.

Tidak ada komentar: