Selasa, 20 April 2010

"PERSAUDARAAN YANG RUKUN"

“DAMAI ITU INDAH”


Saya mengawali khotbah ini dengan sebuah ceritera dongeng, suatu hari dewa wisnu, yang sudah bosan mendengarkan permohonan seorang penyembah, lalu ia menampakkan diri dan berkata: “ Sudah kuputuskan . Aku akan memberikan kepadamu 3 hal, apapun yang kau minta. Sesudah itu, tidak ada sesuatupun yang akan kuberikan kepadamu lagi. Dengan gembira, penyembah itu mengajukan permohonan yang pertama. Ia meminta isterinya mati krn sangat cerewet, supaya ia dapat menikah lagi dengan wanita yang lebih muda dan baik. Permohonannya dikabulkan dengan segera. Tetapi ketika teman-teman dan sanak saudaranya dating menghadiri pemakaman isterinya, mereka memuji-muji kebaikan isterinya itu, mendengar semua pujian itu ia mengingat kembali sifat isterinya. Kemudian ia menyesal karena telah bertindak gegabah. Saat itu ia menyadari bahwa dulu ia buta terhadap segala kebaikan isterinya. Maka ia memohon, agar dewa menghidupkan kembali isterinya itu. Sesuai dengan janji, sang dewa mengabulkan permintaannya dan isterinya hidup kembali. (namanya pun dongeng). Kini kesempatan hanya tinggal satu. Dia bermaksud tidak melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, karena ia sudah tidak sempat memperbaikinya lagi. Lalu ia meminta nasehat dengan bertanya kemana-mana. Beberapa kawan menasehatkan agar ia meminta diluputkan dari kematian. Semula ia setuju dengan itu, tetapi seorang teman mengatakan, untuk apa hidup terus kalau sakit, karena itu lebih baik memohon kesehatan. Ada yang menasehatkan bahwa yang paling penting dalam hidup adalah uang. Uang dapat mengatur segala-galanya kata temannya itu.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu tanpa ada keputusan mengenai apa yang harus dimintanya. Akhirnya, ia menyerah dan berkata kepada dewa: “ berkenanlah kiranya dewa memberi nasehat, dewa tertawa dan berkata: hai manusia, mintalah hati yang damai, entah apapun yang terjadi, yang penting ada damai”.
Begitu pentingnya “damai itu”. Aplikasi dan implikasi ceritera diatas menunjukkan bahwa; tua atau muda, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, dokter atau pasien, sama-sama membutuhkan hati yang damai.
Ingat orang muda yang kaya dalam Mateus 19: 16-26. Dia masih muda dan kaya. Namun dia tidak merasakan damai di hatinya. Itulah sebabnya dia datang kepada Yesus dan bertanya: “Guru yang baik, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal..?” Dalam pertanyaan

itu tersirat kehausan akan damai dan kepastian akan keselamatan. Karena tidak adanya jaminan keselamatan, maka hatinya tidak aman dan tidak damai.
Ingat juga tentang Zakeus dalam Lukas 19: 1 – 10, Zakeus adalah kepala pemungut cukai yang sangat kaya. Tetapi rupanya ia tidak bahagia dengan segala kedudukan dan kekayaannya itu. Karena itu, dia mencari hati yang damai. Ketika Yesus lewat dari kotanya Yeriko, Zakeus berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu. Dia sudah mendengar tentang segala pekerjaan dan keajaiban yang dilakukan Yesus. Karena dia pendek dia memanjat pohon supaya dapat melihat Yesus secara langsung. Disini harga diri sudah ditinggalkan, gengsi tidak perlu lagi dipertahankan, yang penting “penyakit” dapat disembuhkan. Tanpa di sangka-sangka Yesus

menawarkan kepada Zakeus, lebih dari yang ia cari, Yesus berkata: Zakes, segeralah turun, sebab hari ini, Aku harus menumpang di rumahmu”. Pucuk dicinta ulam tiba, sesudah Yesus dating dan makan dirumahnya, Zakeus berubah menjadi manusia baru. dst
Ingat juga ceritera tentang Simeon yang tua, yang benar dan yang soleh itu ( Luk 2: 21-40). Ketika Maria dan Yusuf membawa Yesus ke bait Allah, sesuai dengan hokum Musa, Simeon menantang anak itu sambil berkata:”sekarang, Tuhan, biarkanlah hambaMu ini pergi dalam Damai Sejahtera, sesuai dengan FirmanMu, sebab mataku telah melihat Keselamatan yang dari padaMu”. Jadi Simeon yang sudah sangat tua itu juga mencari Damai di hati, dan hanya dia peroleh setelah bertemu dengan Yesus.
Jadi, sekali lagi, kita tanpa kecuali: tua atau muda, kaya atau miskin, pelacur, penjahat, perampok, orang percaya atau tidak percaya, semua membutuhkan hati yang damai.

Pada sat Gusdur menjabat Presiden, dalam pembukaan Konfrensi tentang Rekonsiliasi pernah mengatakan:
“Prinsip mendasar dalam merekonsiliasi adalah pengampunan terhadap lawan politik. Dengan adanya pengampunan, segala masalah dapat diselesaikan dan bersama-sama membangun masa depan suatu bangsa.”
Bahwa dasar rekonsiliasi adalah pengampunan, dan hal ini sudah terbukti ampuh. Di Afrika Selatan ketika Nelson Mandela, yang disiksa lawan-lawan politiknya selama berpuluh-puluh tahun terpilih menjadi presiden, dia justru mengampuni musuh-musuhnya itu, Pengampunan terhadap lawan-lawan politik seperti itu, di praktekkan juga di Korea Selatan, segera sesudah Kim Da Jung terpilih menjadi presiden, dia memberikan grasi kepada dua mantan

presiden yang pernah menindas dan memenjarakannya. Tindakan pengampunan kepada musuh-musuh yang dilakukan kedua pemimpin diatas sangat penting artinya dalam rangka rekonsiliasi.
Agama Kristen dapat menyumbangkan ajaran tentang Pengampunan (forgiveness) sebagai prasarat rekonsiliasi, apalagi di tengah-tengah gereja. Hannah Arendt, seorang ahli filsafat politik Jahudi menegaskan bahwa: “The discoverer of the role of forgiveness in the realm of human affairs was Jesus of Nazareth” ( penemu ajaran tentang pengampunan dalam hubungan antar manusia adalah Yesus dari Nazaret). Salah satu inti pengajaran Yesus adalah pengampunan (Mat 6: 12). Kuasa pengampunan yang diajarkan Yesus itu memang luar biasa, ini dapat kita lihat sewaktu Yesus disalibkan. Disekitar bukit tengkorak (Golgata) tempat Yesus disalibkan, serdadu-serdadu itu mengolok-olok Dia, Pemimpin Jahudi mengolok-olok mengejek Dia (Luk 23:35). Tetapi pada puncak penghinaan dan penderitaan itu Yesus mengucapkan sebuah doa kepada BapaNya “ Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Mendengar doa yang “aneh” ini seorang penjahat yang tersalib di sebelah kananNya langsung berubah (bertobat), dan memohon kepada Yesus, “Yesus, ingatlah akan daku, apabila Engkau dating sebagai Raja.” Mengapa penjahat itu berubah( bertobat)…? Dia terharu karena Yesus mendoakan musuh-musuhNya. Bagi orang Jahudi dan bagi peradaban dunia pada waktu itu, hokum yang berlaku adalah hokum pembalasan: mata ganti mata, gigi ganti gigi (Kel 21:24). Tetapi Yesus mengajarkan hokum yang baru:..” Kasihilah musuhmu, berbuat baiklah kepada orang yang

membeci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (Luk 6: 27-28).

Jika ajaran Yesus ini dapat kita terapkan dalam persekutuan gereja dan persekutuan dalam pekerjaan, alangkah indahnya PERSAUDARAAN YANG RUKUN, sebagai mana diungkapkan pemazmur dalam Maz 133: 1 . Tugas kesaksian (marturia) gereja tidak terlepas dari kualitas persekutuan (koinonia). Dalam nats ini kehidupan persekutuan dan persaudaraan yang rukun digambarkan dengan menggunakan 2 zat cair; yaitu minyak yang baik dan embun gunung.
Penggunaan minyak sering kita jumpai dalam Perjanjian Lama, dipakai untuk melaksanakan pengurapan dalam peristiwa ibadah kepada seseorang yang akan memangku jabatan istimewa. Misalnya dalam 1 Samuel 10:1; Samuel menuangkan minyak atas kepala Saul ketika ia memangku jabatan sebagai raja. Minyak juga dipakai untuk menahbiskan seseorang untuk jabatan imam. Itu berarti bahwa

minyak dipakai sebagai lambang pengurapan dari Roh Kudus, sehingga melalui minyak yang dituangkan dalam persekutuan ibadat menandai kehidupan yang diurapi sebagai seorang hamba Tuhan ditengah-tengah jemaat.

Kerukunan tidak akan dapat terwujud dalam kehidupan manusia, jika kehidupan persekutuan kita belum menjadi kehidupan yang diurapi oleh Tuhan Allah.
Embun gunung secara umum dipakai untuk menggambarkan kesegaran dalam kehidupan ini. Bukankah kini banyak orang setelah melewatkan hari-hari kerja yang penat, ingin

berekreasi di daerah pegunungan yang sejuk…? Sapuan embun gunung dapat memacu semangat dan kesegaran untuk melanjutkan tugas yang baru. Dalam Hosea 14: 6; Allah digambarkan sebagai embun bagi Israel, yaitu: Aku akan seperti embun bagi Israel, maka ia akan berbunga seperti pohon hawar.” Berarti, embun gunung juga mempunyai fungsi untuk menyuburkan tanaman. Dalam konteks ini kerukunan tidak akan dapat terwujud, jika masing-masing individu tidak mampu hadir seperti embun gunung. Sering kehadiran kita seperti panasnya api atau bara api; sehingga dalam setiap kali kehadiran kita, jusstru membawa Suasana antipati. Di tengah-tengah persekutuan kita sering tidak mampu untuk membawa perasaan dan suasana yang segar. Kehadiran kita menjadi kehadiran yang tidak diharapkan orang lain. Itulah sebabnya dengan keadaan yang demikian, kehadiran kita tidak mungkin dapat menghasilkan sesuatu yang membangun dan produktif bagi kehidupan sesama.

Kerukunan dalam persekutuan persaudaraan juga tidak akan dapat terwujud, jika kita kurang rendah-hati. Kita perlu belajar dari kecenderungan gterak minyak maupun embun gunung. Kedua-nya senantiasa bergerak “turun”. Disebutkan dalam ayat2-3, bahwa minyak yang baik diatas kepala meleleh ke janggut… dan leher jubah Harun. Dan embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion.

Kita mengetahui bahwa umat Israel terdiri dari duabelas suku. Jumlah suku tersebut dapat dipakai untuk mengambarkan kemajemukan (pluralitas) dalam kehidupan persekutuan umat Allah. Jika hidup kita merupakan kehidupan yang diurapi dan membawa kesegaran bagi sesame, maka kita akan mampu hidup bersama secara

rukun dalam kemajemukan. Bik kemajemukan dalam pandangan hidup, adapt-istiadat, pendidikan, keyakinan agama, maupun usia dan pengalaman. Sebab masaing-masing insane bersedia untuk saling mengakui dan menerima keunikan dan keberagamaan itu dihayati sebagai bagian yang utuh dari kehidupan ini. Amin
Pdt. R.H.L. Tobing.

Tidak ada komentar: