Senin, 21 Februari 2011

"Membangun Kehidupan yang Inklusif di tengah-tengah Bangsa."



Roma 13: 8-10
KASIH ADALAH SESUATU YANG TIDAK HANYA DIDIFINISIKAN.NAMUN KASIH HARUS DIWUJUDNYATAKAN. ORANG YANG HANYA BERTEORI TENTANG KASIH ADALAH PEMBUAL BESAR. TETAPI ORANG YANG MEREALISASIKAN KASIH ADALAH ORANG YANG BERPENGARUH BESAR DALAM KEHIDUPANNYA
PENGANTAR
Damai dan kedamaian adalah kebutuhan tertinggi dari jiwa manusia. Kebutuhan ini mendorong setiap orang untuk mengusahakannya. Dalam upaya menggapai kedamaian ekonomi, orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai upaya melindungi kedamaian sosial, orang mengupayakan ketentuan budaya (adat istiadat) yang menjaga hubungan-hubungan. Mewujudkan tanggungjawab menjaga kedamaian dan ketenteraman sipil, masyarakat, negara dan pemerintah menegakkan hukum.
Albert Camus, menggambarkan hidup penuh konflik seperti mitos Yunani Le Mythe de Sisyphe, kegigihan Sisyphus yang terus menerus mendorong batu kepuncak gunung dengan tersenyum dan habis-habisan, setiap kali batu itu didorong, menggelinding lagi ke bawah. Sampai akhirnya dapat membawa kepuncak. Analogi perjuangan Sisyphus, merupakan suatu upaya yang dilakukan secara tulus, gigih dan tanpa henti untuk memenaj kehidupan yang penuh konflik untuk mewujudkan perdamaian.
Mengikuti cara kerja Albert Camus, para tokoh agama, dan sebagai pemimpin gereja sudah seharusnya kita aktif menggerakkan lintas agama dari sejak dini, kita harus menjadi pioner dalam membangun kesadaran bersama (commond goods) baik secara individu maupun kolektif.
Secara individual, masing-masing harus memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan diantara kita. Kesadaran bahwa kita beda, lalu diteruskan melalui dialog lewat kohesi sosial untuk bisa saling memberi dan saling menerima dalam kesetaraan. Lewat kesadaran individual masing-masing kita mencoba untuk mencari dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan sosial tanpa harus kehilangan jati diri, karakteristik masing-masing. Ego dan super ego untuk selalu berkuasa akan terakomudasi melalui kesepakatan sosial yang terbangun dalam bentuk commond goods.
Secara kolektif, secara terus menerus membangun komitment persatuan dan kesatuan dan persaudaraan dengan menumbuhkan rasa saling percaya, rasa memiliki dan rasa kita adalah bersaudara, sehingga tidak ada dusta diantara kita. Merevitalisasi nilai kearifan lokal masih relavan untuk dikembangkan, membangun kohesi sosial, solideritas sosial, kepedulian sosial dan interkasi sosial yang intens, hal ini penting dilakukan untuk menghindari tumbuhnya sikap individulistis dan eklusivisme dikalangan kelompok-kelompok sosial.
Melalui tindakan komunikatif dengan bersandar pada rasio subjektif, disamping akan menggugah ruang dialog, bersamaan dengan itu akan terbangun rasa saling kesepahaman, saling mengerti akan keberadaan kita masing-masing. Keberadaan akan berada, apabila ada ditengah-tengah keberadaan yang ada. Jadilah kita ada ditengah keberadaan itu, dan jadikan keberadaan itu menjadikan kita ada bersama-sama. Membangun ”rumah” bersama sebagai wahana komunikasi, interaksi diantara kita menjadi penting dikembangkan. Oleh karena, tidak ada seindah hidup berdampingan secara damai.
BAGAIMANA KITA SEBAGAI WARGA KRISTEN MEMBANGUN MORAL BANGSA
Change We Need! Inilah slogan Barrack Obama ketika berkampanye. Visi perubahan yang didengungkan terbukti menarik simpati orang banyak sehingga ia terpilih menjadi presiden. Ini menunjukkan bahwa orang-orang Amerika sedang jenuh dengan keadaan dan mengharapkan adanya perubahan.
Tidak hanya di Amerika, kita - rakyat Indonesia - juga menginginkan perubahan. Kita tidak puas dengan keadaan sekarang. Kita jenuh dengan krisis multidimensi. Krisis-krisis yang sebenarnya hanyalah manifestasi dari krisis yang lebih dalam, yaitu krisis karakter bangsa.
Sebagai orang yang ber-wawasan dunia Kristen (Christian worldview), perubahan yang kita inginkan tidak hanya terletak dalam narasi sempit kejayaan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, kita memandang perubahan itu dalam narasi yang lebih besar. Narasi itu adalah inaugurasi Kerajaan Allah, yaitu hadirnya Allah yang secara aktif memerintah sehingga itu muncul dalam berbagai manifestasi di antaranya shalom dan pembebasan dari penindasan.
Tiap pengikut Kristus dituntut berpartisipasi dalam menghadirkan suasana pemerintahan Allah. Artinya, mereka harus mempraktikan karakter-karakter tandingan yang menjadi terang di tengah bangsa yang gelap ini dan akhirnya bisa menjadi garam yang mempengaruhi karakter (moral) masyarakat.
Sebagai Pemimpin di tengah-tengah gereja yang mempunyai wawasan luas, , bagaimana seharusnya kita berperan dalam pembangunan moral bangsa?
Landasan dari pembangunan moral bangsa adalah adanya kesepakatan mengenai sebuah visi etis tentang bagaimana hidup berdampingan dengan orang lain. Dalam ilmu sosial, ini dikenal dengan modal sosial (social capital). Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai
“...seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka...mencakup nilai-nilai seperti berkata jujur, menunaikan kewajiban, dan taat pada asas timbal balik.

Renungan
Menurut Anda mana yang benar: kasih dan hukum adalah alternatif dalam etika Kristen, atau kasih dan hukum adalah dua sisi dari satu kenyataan yang sama? Dalam pengalaman Anda sendiri, sungguhkah kasih dan hukum berjalan serasi dalam perilaku keseharian Anda?
Nasihat Paulus merupakan gema dan uraian lanjut dari ajaran Tuhan Yesus sendiri. Jika orang sungguh mengasihi Allah dan sesama manusia, maka ia pasti menggenapi semua hukum Allah baik yang mencakup relasi dengan Allah maupun dengan sesama (ayat 8-9). Inti dari hidup kudus dan benar adalah kasih kepada Allah dan sesama. Sebaliknya, inti dari semua perbuatan dosa adalah tidak mengasihi. Lebih tajam lagi, semua pelanggaran hukum Allah terhadap sesama disebabkan oleh kasih yang timpang; kasih yang ditujukan hanya kepada diri sendiri, tetapi tidak didampingi oleh kasih kepada sesama. Sehingga terjadilah hutang kasih, ketimpangan kasih! Karena kasih ditujukan hanya pada diri sendiri, kasih merosot menjadi egoistis dan penuh hasrat liar yang merendahkan orang lain. Karena egoistis, orang melakukan berba-gai perbuatan yang adalah lawan dari kasih kepada sesama. Maka terjadilah pelanggaran hukum dalam wilayah sosial.

Jawaban untuk kejahatan sosial tidak cukup dengan law enforcement (pelaksanaan hukum secara tegas), tetapi harus didorong oleh love enforcement (memberlakukan kasih secara gigih). Hukum bukan sumber etika, tetapi rambu atau kerangka etika. Nafas yang menghasilkan kehidupan etis adalah kasih kepada Allah dan sesama seperti kepada diri sendiri. Apabila kita menekankan pelaksanaan hukum tanpa motivasi kasih, kita akan "kudus" tetapi munafik atau "benar" tetapi legalistis. Sebaliknya menekankan kasih tanpa peduli hukum akan menciptakan kekacauan moral dan kemerosotan kasih menjadi kasih yang egoistis atau hasrat pemuasan nafsu secara liar. Etika Kristen memberi jawaban indah dan kuat. Kita harus melunasi hutang kasih kita kepada sesama; kasih yang lengkap dan utuh ini serasi dengan perilaku manusia terang! Sebagai anak Tuhan, semua dituntut untuk melakukan perbuatan kasih dalam setiap sendi kehidupan bagi sesama manusia. Siapapun itu! Tidak terbatas pada kalangan sendiri, melainkan pada semua orang yang “kebetulan” membutuhkan sentuhan kasih melalui tindakan yang nyata.
Nas perikop ini mengingatkan kita untuk jangan sekali-kali mempertentangkan antara Taurat dengan kasih, melainkan memahaminya sebagai kelengkapan. Orang percaya memang dituntut untuk melaksanakan sesuatu “lebih daripada yang biasanya”, dalam hal ini misalnya mengasihi sesama seperti diri-sendiri setiap hari dan tanpa mengenal batasan eksklusivitas. Sulit? Memanglah. Tapi keyakinan bahwa Roh Kudus yang ada di dalam diri kita pasti mampu memberi kekuatan dalam melaksanakan semua yang menjadi tuntutan. Tentunya di dalam rambu-rambu kasih yang mendasari segala sesuatunya. Amin
Pdt. RHL. Tobing, S.Th. MA
Pertanyaan untuk di bahas dalam Kelompok.
1. Apakah Anda cukup mempercayai orang-orang di sekitar Anda? Apakah mereka dapat dipercayai? Apakah mereka mempercayai Anda? “… Yesus sendiri tidak mempercayakan diri kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua” (Yohanes 2:24). Semua pertanyaan ini dapat menjurus kepada mendorong sikap mencurigai orang yang ada di sekitar kita. Tentu saja tidak. Orang berpandangan bahwa mencurigai itu salah. Ini benar. Tetapi apakah sikap tidak cepat percaya juga mutlak salah? Sebaliknya, apakah sikap cepat percaya itu mutlak benar? Mari kita pertanyakan terus. Apakah Anda dapat mempercayai orang begitu saja?
2. Apakah Anda mau mempekerjakan orang yang tidak dikenal dengan serta merta?
Apakah untungnya percaya dan tidak percaya kepada orang yang ada di sekitar Anda? Apakah kita memahami sejauhmana mempercayai seseorang, bagaimana mempercayainya dan sejauh mana pula dampak dari mempercayai itu bagi diri serta kepemimpinan Anda? Firman Allah menegaskan: “ Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan. Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus TUHAN kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Roma 5:10).

Tidak ada komentar: