Pepatah kuno berkata: Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak ada gunanya. Pepatah ini masih sangat relevan sampai saat ini didalam semua hal, agar tidak salah pilih, baik terhadap pasangan hidup, pasangan kerja dan lain-lain. Karena jika salah pilihan maka berbagai macam bencana akan tertuai.
Pilihan berhubungan dengan sikap dalam mengambil keputusan, jika salah mengambil keputusan juga akan menuai bencana. Jika saja rakyat salah memilih pimpinannya maka rakyat akan menderita, demikian juga gereja, salah memilih pimpinannya, salah memilih penatuanya akan berakibat buat jemaatnya.
Jabatan memang sesuatu yang patut dibanggakan, namun bagi kebanyakan orang bukan sekedar kebanggaan, tetapi bisa berubah menjadi kekuasaan atau kesombongan. Dalam situasi yang lain, jabatan dapat digunakan untuk mencari uang . Tetapi bagi mereka yang punya kesadaran, jabatan akan digunakan untuk tujuan pengabdian. Jabatan atau kekuasaan keduanya selalu berdampingan. Kekuasaan biasanya sangat ditentukan oleh jabatan, tetapi jabatan yang diperoleh dengan cara persaingan, inilah yang menjadi persoalan. Untuk situasi gereja, seharusnya jabatan dihayati sebagai tugas panggilan dan bukan hasil perjuangan.
Menurut Max Webert kekuasaan merupakan kemampuan untuk melaksanakan kemauan sendiri dalam suatu hubungan sosial, sekalipun harus mengalami perlawanan. Senada dengan pandangan ini, Van Doorn juga mengemukakan pendapatnya bahwa kekuasaan merupakan kemungkinan untuk menguasai alternatif-alternatif bertindak seseorang atau kelompok sesuai dengan tujuan. Apa yang dikemukakan Max Webert dan Van Doorn tentang kuasa dalam usaha untuk mencapai tujuan, tidak terlepas dari keinginan pribadi seseorang atau kelompok. Apakah itu dengan memanfaatkan kekuasaan dalam arti bertindak meskipun harus menggunakan kekerasan atau menggunakan uang.
Jabatan selaku Pendeta, Penatua, Majelis ataupun Guru Jemaat adalah merupakan panggilan untuk melayani. Bukan sebaliknya :”Jabatan digunakan untuk melampiaskan kekuasaan atau untuk menyampaikan rencana atau tujuan sendiri”. Dan tidak pula untuk mencari kehormatan.
Dietrich Bonhoeffer, Simartir yang dengan keras menentang Hitler mengatakan: When Christ calls a man, He bids him come and die . Ungkapan ini boleh jadi akan menakutkan . Betapa tidak ! Bila seseorang terpanggil untuk menunaikan tugas panggilannya,maka daripadanya dituntut pengorbanan sekalipun harus berhadapan dengan kekerasan bahkan kematian.
When Christ calls a man, He bids him come and die, ungkapan ini tidak hanya slogan semata, tetapi nyata. Tepatnya sembilan April Satu Sembilan Empat-empat, Dietrich Bonheeffer, harus mengahiri hidupnya ditiang gantungan, ia memilih kematian ketimbang penyangkalan terhadap Yesus, benar apa yang dikatakan Yesus dari Nazaret itu: “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku”. Ungkapan ini memperhadapkan seseorang kepada pilihan. Tidak hanya menyangkal dalam arti meninggalkan perbuatan lama dan memulai perbuatan seperti yang diperbuat Yesus, tetapi juga memikul salib, yang berarti rela menanggung derita demi pelayanan, bukan sebaliknya mencari nama dan uang.
Salib memang berat, tetapi harus dijadikan sahabat. Kosuke Koyama mengatakan ‘Tak ada gagang pada salib’. Maksudnya tidak ada alat yang efisien untuk menguasai sesuatu, sesuai dengan keinginan kita. Lihat saja Yesus anak tukang kayu, Ia tidak mengusahakan alat yang lain untuk dapat membawa salib itu kemana-mana, seperti seorang pengusaha untuk menenteng tasnya. Mestinya salib harus diletakkan diatas pundak. Dalam kesempatan lain Yesus berkata: “Kuk yang kupasang itu enak dan beban Ku pun ringan”. Firman ini bernada menghibur, sekalipun merupakan pernyataan. Memilih salib disatu pihak merupakan beban dan dipihak lain merupakan sukacita.
Salib lambang kemenangan. Kemenangan yang telah lebih dahulu diperjuangkan Yesus. Kemenangan yang diperjuangkan dengan cara penyerahan. Jika demikian, bagi mereka yang memiliki lambang kemenangan, daripanya dituntut penyerahan kepada Yesus.
Ada satu ceritera dimana suatu ketika diadakan perlombaan menghabiskan sepiring bubur kacang hijau dengan menggunakan sebuah sendok yang panjangnya satu meter, setelah hitungan dimulai para peserta berusaha untuk menghabiskannya, tetapi sampai selesai tidak ada yang jadi pemenang, hanya tertawaan dari para penonton yang menjadi pemenang, sebab pemenang hanya ada jika diantara mereka ada kerja sama, seharusnya keinginan untuk jadi pemenang secara pribadi harus diurungkan. Jika ingin menjadi pemenang, maka kerja sama dengan seorang teman harus dilaksanakan. Oleh karena itu tidak perlu ngotot dan tetap bertahan pada keakuan menanggung bebanmu. Tidak perlu mancari jalan yang tidak benar untuk menjadi pemenang. Rasul Paulus berkata kepada jemaat Galatia 6:2 :”bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu, demikian kamu memenuhi hukum Kristus”. Sejalan dengan ucapan Paulus, Dietrich Bonhoeffer mengatakan: “seperti Kristus menanggung beban kita, demikian jugalah kita harus menanggung beban saudara-saudara kita”.
Memilih kerjasama berarti berusaha menghindarkan atau paling tidak mengurangi persoalan atau beban. Memilih kerjasama berarti mengutamakan kebersamaan, yang juga mengutamakan tugas panggilan. Dalam melaksanakan tugas panggilan, perlu ada kerjasama untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.
Pilihan , ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian seseorang. Dalam hubungan dengan jabatan di Gereja, pilihan juga melibatkan kepribadian Yang Maha Kuasa, caranya: ‘pilihan Dia percayakan kepada orang-orang pilihanNya’. Mungkin saja kita bertanya..! siapa gerangan orang-orang kepercayaanNya..? tentu mereka adalah orang-orang yang percaya kepadaNya. Karena itu:
1. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan untuk menentukan pilihanmu, lihat kepada diri anda..? tanyakanlah…mampukah saya..? pantaskah saya..?
2. Jika saudara telah terlibat didalam perlombaan, berhati-hati pula untuk mengambil keputusan, sebab keputusanmu bisa berakibat fatal bagi banyak orang. Amin.
Pdt. R.H.L. Tobing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar