Rabu, 17 Maret 2010

BERPIKIR POSITIF

Khotbah Pembukaan Sidang MPL PGIW Jabar

Salah satu dari fakta paling penting dan kuat mengenai diri kita diekspresikan di dalam pernyataan berikut ini oleh William James, yang merupakan salah satu dari sedikit orang bijaksana yang pernah dihasilkan oleh Amerika. William James berkata: “Penemuan terbesar dari generasi saya adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan mengubah sikap pikiran mereka.” Sebagaimana Anda berpikir, begitulah Anda jadinya.
Jauh sebelum penemuan William James, mengubah hidup dapat dilakukan dengan pembaharuan budi seperti yang tertulis dalam Alkitab, Roma 12: 2; “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Artinya, dengan pembaharuan budi, sikap-perilaku kita akan berubah ke arah sikap-perilaku yang berkenan kepada Allah. Berkenan kepada Allah berarti sikap pikiran kita positif menerima keadaan kita dalam kondisi apapun di kehidupan ini. Sebagaimana Anda berpikir, begitulah budi Anda, begitu jugalah akhlak/watak/tabiat Anda, itulah gambaran siapa Anda sesungguhnya.
Secara teoritis, ungkapan ini memberikan pengertian bahwa budi – akal/nalar – merupakan pola pikir: alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; yang melahirkan sikap-perilaku. Sikap-perilaku ini akan tercermin dalam perbuatan dan tindakan, yang menggambarkan siapa kita sebenarnya. Secara praktis, pola pikir merupakan cara seseorang mengeluarkan (mengungkapkan) pendapatnya dalam ucapan, perbuatan dan tindakan untuk merespons lingkungannya dan orang lain di sekitarnyasuatu cara tindak (course of action) dalam menyampaikan sesuatu dalam ucapan (kata-kata), perbuatan dan tindakan. Oleh karena itu, seseorang dapat dinilai apakah ia baik, buruk, elegan, smart, bijak, keras kepala, sombong, egois, emosional, dsb dari sikap-perilakunyadari perbuatan dan tindakannya.
Kurt Lewis, seorang psikolog terkenal dari Amerika Serikat menyatakan: “Seseorang akan berperilaku menurut apa yang menguntungkan bagi dirinya untuk merespons keadaan lingkungannya dan orang-orang di sekitarnya.” Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pada dasarnya seseorang akan melakukan tindakan apa saja yang mendatangkan keuntungan bagi dirinya dan kelompoknya, dan ia juga akan berbuat apa saja untuk mempertahankan eksistensi dirinya maupun kelompoknya dari serangan luar (orang lain/komunitas lain di sekitarnya). Oleh karena itu, apabila ada seseorang menyatakan bahwa Si A bersalah, Si A akan berupaya berbuat dan bertindak menurut pola pikirannya sendiri untuk mengungkapkan bahwa ia tidak bersalah, walaupun sebenarnya ia bersalah. Dalam keadaan terjepit dan terpojok (mendapat kritikan atau serangan dari orang lain), Si A akan berupaya untuk mempertahan diri dengan mengemukakan kebenarannya menurut pola pikirnya. Dalam mengharapkan sesuatu atau dukungan dari orang-orang di sekitarnya, Si A akan memunculkan watak silumannya dengan menyembunikan watak aslinyamenunjukkan siapa ia dari sisi baiknya, bahkan bila perlu dengan menggunakan potensifund and forces yang ia miliki untuk menampakkan siapa dirinya bagi orang-orang di sekitarnya. Hal lain adalah, bila Si A tidak mendapatkan dari orang-orang di sekitarnya sesuai dengan apa yang diinginkannya dari mereka, Si A dapat bertindak apatis, menunjukkan tidak bersahabat, mengungkapkan sisi negatif mereka yang tidak disenangi tanpa instropeksi diri dengan bertanya pada diri sendiri: mengapa mereka tidak memberikan/mendukung/melakukan yang sesuai dengan keinginan saya? Hal inilah yang menciptakan ketidakharmonisan, saling curiga, ketidakpercayaan, kedengkian dan sebagainya di tengah pergaulan dan di kehidupan sehari-hari, juga di tengah organisasi (pekerjaan), yang pada akhirnya bermuara pada penghancuran kepentingan bersamakepentingan yang lebih besar dan utama.
Pola pikir dapat membawa kita ke arah keselamatan dan kebahagiaan di satu sisi, dan ke arah ketidaknyamanan dan kehancuran diri sendiri dan kelompok di sisi yang lain. Pola pikir yang membawa kita ke arah kedamaian dan kebahagian adalah pola pikir dengan prinsip “berpikir positif (positive thinking)”penuh kedamaian, persahabatan, care-ness, dan tidak impulsif. Sementara pola pikir ke arah kehancuran adalah berpikir negatifsarat dengan kecurigaan, tidak peduli, tidak bersahabat, dan impulsif.
Menurut Norman Vincent Peale, seorang pendeta dari Amerika Serikat, dalam bukunya “Berpikir Positif” (The Power of Positive Thinking)” – terjual lebih dari 15 juta eksemplar – menyatakan: “Pikiran yang damai menghasilkan kekuatan.” Kedamaian merupakan kekuatan (energi) yang memberikan kita suatu ketenangan batin dan kewaspadaan. Dalam keadaan batin/perasaan kita tenang, kita akan mampu mengkaji dan menganalisis suatu keputusan apa – perbuatan dan tindakan – yang sepatutnya kita lakukan. Konteksnya adalah: kita akan mampu memahami apa yang kita lakukan, bagaimana kita melakukan, dan memahami risiko apa yang mungkin muncul sebagai konsekuensi logis dari perbuatan dan tindakan kita tersebut bagi diri sendiri dan orang lain.
Sejalan dengan pemikiran Peale, Stephen R. Covey dalam bukunya “Kepemimpinan yang Berprinsip” menyatakan: “Orang-orang berprinsip menikmati hidup. Oleh karena rasa aman mereka datang dari dalam, tidak dari luar, mereka tidak perlu mengkotak-kotakkan orang dan menyamaratakan segala sesuatu dan semua orang dalam hidup ini untuk memperoleh rasa pasti. Mereka pada dasarnya tidak dapat dipengaruhi dan mampu untuk menyesuaikan diri pada hampir semua hal yang sedang terjadi. Salah satu prinsip baku mereka adalah fleksibilitas. Mereka menjalani kehidupan yang berkelimpahan.” Pernyataan ini sejalan dengan konsep berpikir positif. Artinya, banyaknya harta, kedudukan/jabatan yang tinggi, dan pekerjaan yang mapan bukan jaminan untuk mendapatkan kedamaian, rasa pasti, dan kehidupan berkelimpahan. Akan tetapi, untuk mendapatkan kesemuanya itu bersumber dari sikap pemikiran positif yang muncul dari dalambersumber dari pola pikir manusia yang positif dalam menyikapi (menerima) keadaannya.
Berpikir positif berarti memiliki sikap mental positif (SMP) dalam menanggapi dan merespons berbagai situasi/keadaan, apakah situasinya baik atau tidak, menyenangkan atau menyakitkan, bukan persoalan dan kendala yang tidak bisa diatasi bagi mereka yang berpikir positif. Seseorang yang berpikiran positif akan mampu menghargai pendapat orang lain dan tidak menganggap dirinya, pendapatnya, eksistensinya lebih berharga (lebih penting) daripada orang lain. Hal lain, orang yang berpikiran positif akan mampu menerima kritikan, dan menciptakan kritikan ini sebagai masukan (input) – sebagai stimulus – untuk memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, seseorang dengan pikiran positif berarti ia mampu bersikap kritis-positif, kreatif-inovatif, dan logis-realistis dalam berbuat dan bertindak. Akan tetapi, persoalannya terletak pada: bagaimanakah cara tindak (course of action) agar kita mampu berpikir positif?
Banyak para psikolog terkenal di dunia seperti Sigmund Freud, Gordon Allport (1897 – 1967), Carl Rogers (1902- ), Erich Fromm (1900- ), Abraham Maslow (1909 – 1970), Carl Jung (1875 – 1961), Viktor Frankl (1905- ), Fritz Perls (1893 – 1970) menggali penemuan mereka dengan bersumber dari pemahaman keagamaan dan pengalaman hidup mereka masing-masing. Penemuan mereka di bidang “psikologi pertumbuhan” atau “psikologi kesehatan” pada dasarnya bertujuan bukan untuk merawat korban-korban neurosis dan psikosis, tetapi untuk membuka dan melepaskan potesi manusia yang sangat hebat supaya mengaktualisasikan dan memenuhi bakat-bakatnya serta menemukan dalam kehidupan ini suatu arti yang lebih dalam. Singkatnya, penemuan ini berusaha memperluas, memperbesar, dan memperkaya kepribadian manusia, benar-benar suatu perubahan dari tekanan sebelumnya. Yang menarik dari penemuan-penemuan mereka adalah suatu simpulan bahwa sikap pikiran manusia tumbuh dan berkembang bukan oleh obyek perubahan yang terjadi di tengah kehidupan manusia. Akan tetapi, pertumbuhan dan perkembangan pola pikir manusia terjadi oleh karena manusia – sebagai subyek perubahan – harus menghadapi tantangan perubahan itu sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam menghadapi tantangan perubahan, pola pikir – sikap pemikiran – manusia harus bertumbuh dan berkembang mengikuti sesuai dengan perkembangan dari perubahan itu sendiri. Sebab, sesuatu hal yang terjadi dahulu tidak sama dimensi persoalannya dengan hal yang terjadi pada sekarang ini. Suatu sikap pemikiran yang tidak sesuai dengan perkembangan perubahan akan memetik buah kegagalan. Contoh faktual adalah kegagalan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang lahir dari pemikiran lama, tidak positif menanggapi perubahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Semakin banyak sarjana ekonomi bukan berarti perekonomian Indonesia semakin maju, malah semakin terpuruk ke dunia ketidakpastian. Semakin banyak sarjana hukum, bukan berarti sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia semakin baik, bahkan hukum bisa diperjualbelikan. Semakin banyak sarjana teknik, bukan berarti semakin banyak produk-produk teknologi Indonesia yang masuk pasar global, bahkan Indonesia sangat tergantung dengan teknologi bangsa lain. Contoh ini memberi bukti kepada kita bahwa sikap pemikiran yang tidak mau berubah mengikuti perkembangan perubahan akan terbelenggu oleh pemikiran itu sendiri.
Menurut Firman Tuhan, cara tindak untuk melahirkan pikiran positif ada tertulis dalam Injil Lukas 6: 31, 38; yaitu, ayat 31: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” Dan ayat 38: “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah keluar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”

Merujuk pada Firman Tuhan ini, bahwa untuk mendapatkan pikiran positif, ada beberapa “langkah tindakan” yang harus kita lakukan untuk membaharui sikap-perilaku kita ke arah sikap-perilaku positif, yaitu:
1). Berupayalah untuk selalu bersahabat dengan orang-orang di sekitar Anda, lingkungan Anda dan di manapun Anda berada;
2). Berupayalah untuk memahami mereka (orang lain di sekitar Anda) terlebih dahulu sebelum mereka memahami Anda;
3). Perbuatlah kepada mereka akan apa yang ingin mereka perbuat untuk Anda;
4). Berupayalah agar Anda tetap dalam keadaan terkontrolon going track, tidak mudah terpancing dan terpengaruh oleh hal-hal yang dapat merusak keadaan atau hal-hal yang menyakitkan bagi Anda;
5). Berupayalah untuk bersikap-perilaku bahwa mereka sangat penting bagi Andamereka sangat Anda butuhkan untuk mendapatkan keberhasilan bersama;

6). Berupayahlah untuk mengkomunikasikan tindakan dan perbuatan Anda adalah dalam rangka mendatangkan kebaikan bagi sesama, dan Anda harus terbuka untuk menerima kritikan dan menganggapnya sebagai masukan berharga untuk perbaikan; dan

7). Berupayalah untuk mengaplikasikan sikap pemikiran positif Anda dalam perbuatan dan tindakan sebagai (merupakan) pengejawantahan kasih, yakni suatu proses memberikan pencerahan bagi mereka untuk mendatangkan kekuatan dan keberhasilan bersamauntuk memperoleh kesuksesan sesuai dengan kepentingan dan tujuan bersama; the spirit of diversity.

Keberhasilan terapi ini sangat tergantung pada diri kita masing-masing, bukan pada orang lain. Akan tetapi, yang menjadi question mark-nya adalah: apakah kita mau berubah atau tidak? Apakah kita mau melakukan terapi tersebut? Hidup ini ibarat kita berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan binatang berbisa dan buas yang siap melumatkan kita sebagai santapannya. Apakah kita takut menghadapi keadaan seperti itu? Tentu, namun semuanya sangat tergantung pada kita. Jika kita ingin berhasil keluar dari dalam hutan tersebut dengan selamat, kita harus berpikir positif, karena dengan pikiran kita yang positif, kita akan mampu menyikapi keadaan lingkungan kita yang banyak dengan binatang berbisa dan buas. Berpikir positif dalam menyikapi keadaan berarti kita mampu mendatangkan kekuatan dari dalam yang membuat kita tidak takut menghadapi datangnya ancaman. Melalui kekuatan dari dalam inilah yang memampukan kita untuk mencari solusi cara tindak – perbuatan dan tindakan – yang sesuai dengan keadaan untuk keluar dari keadaan (ancaman). Sekali lagi, semuanya terpulang pada diri kita masing-masing. Dengan pikiran positiftenang menghadapi berbagai tantangan dan ancaman, akan muncul kekuatan pada diri kita yang memampukan kita untuk mencari solusi dalam menerobos hambatan sehingga terbuka peluang ke luar dari tengah hutan tersebut dengan selamat. Sekali lagi, semuanya terpulang pada diri kita masing-masing.
Akhirnya, jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena, Anda kemudian akan melihat betapa rendahnya gunung itu (Dag Hammarskjold).

RHL. Tobing

Tidak ada komentar: