Kamis, 25 Februari 2016

Arti Sebuah Oikumene
Di dalam satu ibadah, beberapa rekan keluar dari ruangan segera ketika acara memasuki bagian pujian penyembahan. Ternyata mereka tidak tahan berada di dalam, ibadah itu tidak sesuai dengan aliran dogma yang mereka pahami selama ini. Di kelompok agama mereka, mereka tidak pernah bernyanyi dengan tepuk tangan ataupun mengangkat tangan. Menurut mereka, ibadah haruslah khusyuk dan tenang. Mereka dulu pernah menyampaikan ke pengurus bahwa mereka kurang bisa menerima ibadah seperti itu, tapi tetap saja begitu terus setiap ibadah. Mereka pun berpikir, kenapa para jemaat itu melakukan ibadah yang tidak oikumene dan tidak mempedulikan pendapat kami?
Di satu ibadah lain, beberapa orang mengeluh setelah selesai mengikuti kegiatannya. Mereka merasa ibadahnya masih belum terlalu mengena ke hati setiap jemaatnya. Istilahnya, soulnya belum tersentuh. Seharusnya pujian penyembahannya lebih mengena lagi ke hati. Namun ketika tadi pada saat ibadah mereka berusaha mengekspresikan pujian mereka, jemaat lain justru memandangi dan melarang mereka melakukannya. Kenapa demikian? Kenapa para jemaat itu melarang kami? Mereka tidak melakukan ibadah yang oikumene?

Pertanyaannya, apa makna sebenarnya dari Oikumene?
Menurut Wikipedia, Oikumene adalah peningkatan kerja sama dan saling pemahaman yang lebih baik antara kelompok-kelompok agama atau denominasi di dalam agama yang sama.
Oikumene merupakan manifestasi (penampakan) persekutuan orang Kristen dalam satu tubuh antara sesama denominasi gereja yang memiliki latar belakang dogma dan theologia yang berbeda, baik di wilayah lokal, regional, nasional maupun internasional. Sebenarnya kata Oikumene berasal dari Bahasa Yunani yaitu Oikosyang berarti “rumah” dan “monos” yang berarti “satu”. Yang dimaksud dengan “rumah” adalah dunia ini, sehingga kata oikumene berarti dunia yang didiami oleh seluruh manusia. Karena itu oikumene juga dalam arti manifestasi persekutuan seluruh umat manusia yang memiliki latar belakang budaya, agama yang berbeda (majemuk).
 apa kaitan antara toleransi dengan oikumene?
Menurut saya kedua hal ini jelas sangat berkaitan erat. Oikumene merupakan sikap toleransi. Toleransi  atas adanya perbedaan dogma atau theologia di dalam satu agama yang sama. Toleransi ketika teman satu agama kita beribadah ataupun melakukan sesuatu hal yang sesuai dengan dogma yang diajarkan di kelompok agamanya.
Pertanyaan selanjutnya yang keluar adalah apakah kita benar-benar sudah melakukan hal ini? Memiliki toleransi terhadap rekan satu agama yang berbeda paham/dogma/theologia dengan kita? Apakah kita sudah menjunjung Oikumene?
Miris ketika di luar sana kita berkoar-koar menjunjung tinggi toleransi umat beragama dan pluralisme, tapi di dalam persekutuan kita sendiri, di agama kita, kita ternyata masih mengkotak-kotakkan dogma yang ada. Kita menggerutu ketika tata cara ibadah yang kita ikuti tidak sesuai dengan tata cara aliran kita. Kita kemudian mencap para pelaksana ibadah itu tidak oikumene, tidak mempedulikan aliran agama lain yang juga beribadah di sana. Terkadang kita juga menertawai sesuatu hal yang dilakukan teman kita yang berbeda aliran agama dengan kita. Mungkin kelihatannya itu menyenangkan, tapi bagaimanakah perasaan kita ketika kita yang diberlakukan seperti demikian?
Ketika kita menggerutu suatu tata cara ibadah tidak oikumene, sadarkah kita bahwa justru kita yang tidak oikumene? Atau ketika di suatu persekutuan yang khusyuk kita melihat ada orang yang bertepuk tangan, kita kemudian mencap dia tidak oikumene, sekali lagi, sadarkah kita bahwa kita yang saat itu tidak oikumene!!!
Menurut saya, oikumene adalah saat dimana di dalam satu persekutuan dengan tata cara ibadah aliran A, orang-orang dari aliran lain di tempat itu juga dapat beribadah dengan mengekspresikan diri sesuai alirannya, dan orang dari aliran A bisa menerimanya/menghargainya. Contoh, ketika beribadah di gereja karismatik, orang-orang dari aliran konservatif yang beribadah di sana tetap bisa bernyanyi dengan gayanya, dan demikian juga sebaliknya ketika beribadah dengan tata cara konservatif, orang yang beraliran karismatik tetap bisa beribadah dengan gayanya. Jemaat yang lain tidak boleh memaksakan tata cara alirannya kepada yang lain.
Apakah suatu aliran agama lebih baik dari aliran agama lain? Tentu tidak! Tuhan saja tidak pernah mengkotak-kotakkan aliran agama, bisa dibaca sendiri di Alkitab, apa hak kita sehingga kita bisa menghakimi aliran agama lain??!
Seperti doa Yesus yang tertulis di Yohanes 17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”, kiranya kita tetap satu dan tidak mengkotak-kotakkan.
Agar semua satu adanya, atau dalam bahasa latin, UT OMNES UNUM SINT!!


Tidak ada komentar: