Pengantar
Motivasi seseorang untuk dibaptis dan mengaku percaya kepada Kristus pada prinsipnya memiliki alasan dan latar-belakang yang berbeda-beda. Namun satu hal yang sangat mendasar dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dari berbagai motivasi tersebut apabila baptisan dan sidi dilakukan karena kesadaran akan panggilan Kristus. Memang benar, menjadi umat percaya sesungguhnya karena panggilan Kristus. Kita mengikut Kristus bukan semata-mata karena keinginan atau cita-cita manusiawi diri sendiri.
Motivasi seseorang untuk dibaptis dan mengaku percaya kepada Kristus pada prinsipnya memiliki alasan dan latar-belakang yang berbeda-beda. Namun satu hal yang sangat mendasar dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dari berbagai motivasi tersebut apabila baptisan dan sidi dilakukan karena kesadaran akan panggilan Kristus. Memang benar, menjadi umat percaya sesungguhnya karena panggilan Kristus. Kita mengikut Kristus bukan semata-mata karena keinginan atau cita-cita manusiawi diri sendiri.
Pada tataran iman disadari bahwa
Kristus memanggil dia walaupun sesungguhnya dia semula enggan untuk
meresponNya. Namun panggilan Kristus tersebut begitu kuat, menyentuh hati dan
membuka suatu kesadaran rohaninya. Saat itulah kita mengalami pencerahan
berupa “spiritual awareness” (kesadaran rohani). Sehingga akhirnya kita
bersedia mengikut Kristus dengan segala konsekuensinya. Namun sayang
sekali kesadaran rohani tersebut sering tertutup dan terhambat. Karena
orang-tua telah beragama Kristen, maka anak-anak mereka sering dipaksa untuk
mengikuti katekesasi dan mengaku percaya. Seharusnya anak-anak kita dibimbing
untuk mengenali iman Kristen dari lubuk hatinya yang paling dalam. Mereka perlu
dibimbing dengan penuh kasih untuk mengenal Kristus secara pribadi dan bukan
sekedar diajar mengenal seperangkat ajaran atau doktrin Kristen. Sehingga pada
waktu yang tepat, mereka dengan kesadaran rohani yang cukup matang dapat
merespon panggilan dari Kristus. Jadi tanpa kesadaran rohani yang dihayati
sebagai panggilan Kristus, seseorang tidak akan berani menanggung segala
konsekuensi untuk mengikut Kristus. Dia hanya dapat secara formal menjadi
anggota jemaat, tetapi sesungguhnya dia tidak dapat mengikut Kristus. Bukankah
sangat menyedihkan jikalau mayoritas anggota jemaat kita ternyata hanya
menghayati kekristenan sebagai keanggotaan organisasi gereja, tetapi mereka
tidak mengikuti panggilan Kristus secara pribadi? Jadi betapa bermaknanya kata
sebuah “panggilan” dalam kehidupan kita. Tanpa dilandasi oleh dimensi spiritual
“panggilan”, maka sesungguhnya kehidupan kita hanya berada di level rohani yang
sangat dangkal. Tepatnya kehidupan kita sebatas hadir di tingkat permukaan
saja!
Sebaliknya semakin kita mau membuka diri
untuk menerima panggilan yang ilahi yaitu Kristus, maka kehidupan kita akan
terus-menerus bergerak ke arah “kedalaman” (in depth). Kita dapat menemukan
makna hidup yang otentik. Orientasi hidup kita tidak lagi terarah kepada
hal-hal yang sifatnya fisik, ekonomis dan menguntungkan secara duniawi. Sebab
mata batin kita makin terbuka untuk mengalami “spiritual awareness”
(kesadaran rohani) yang mendorong kita untuk melakukan karya Allah. Kesadaran
rohani tersebut bukan sekedar suatu dorongan dari perasaan religiusitas, tetapi
suatu dorongan untuk melakukan tindakan yang diyakini dikehendaki oleh Allah;
yaitu panggilan hidup yang diyakini sungguh suci. Itu sebabnya makna
“panggilan” yang tepat bukan diterjemahkan dengan istilah “calling”. Seharusnya
panggilan hidup lebih tepat diterjemahkan sebagai “vocation”, yang sebenarnya
berasal dari perkataan “vocare” dari bahasa Latin yang artinya: “suara yang
memanggil”. Dalam Longman Dictionary of Contemporary English, pengertian
“vocation” diterjemahkan dengan: 1). A job which one does because one thinks
one has a special fitness or ability to give service to other people, 2). A
special call from, or choosing by, God for the religious life. Namun
sayangnya pengertian “vocation” dalam sehari-hari sering dipersempit sekedar
untuk menunjuk suatu lapangan pekerjaan yang sifatnya khusus, misal pekerjaan
di bidang apoteker, dokter, desain interior, pengacara, hakim, pendeta, pedagang,
musikus, dan sebagainya. Padahal di balik pekerjaan yang bersifat khusus
tersebut sesungguhnya terkandung makna sebuah “panggilan dari Allah”.
Tepatnya karena kita tersentuh dan terdorong karena panggilan dari yang
Ilahi, maka kita bersedia untuk melakukannya dengan tekun, rajin dan setia
bahkan rela menanggung segala risikonya. Jadi karena dihayati sebagai panggilan
dari Kristus, maka kita akan rela untuk mempertaruhkan nyawa demi sesuatu yang
suci yaitu karya keselamatan Allah. Itu sebabnya seorang yang “terpanggil”
untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu akan bersedia melakukannya dengan
segenap hati. Dia tidak pernah memperhitungkan untung dan rugi dalam
melaksanakan suatu pekerjaan, atau parameter yang sifatnya ekonomis dan
materialistis.
Peka Dan Sigap Merespon
Kepribadian seorang pemimpin umumnya
terbentuk oleh proses waktu dan pengalaman. Pernyataan tersebut tidaklah
keliru. Tetapi kepribadian atau karakter seorang pemimpin juga terlihat sejak
awal sebagai benih-benih potensi rohani yang kelak dapat mendukung proses
pembentukannya. Di kitab I Sam. 3
mengisahkan pemanggilan Allah kepada Samuel yang masih belia. Saat
Samuel tidur, Allah memanggil namanya: “Samuel, Samuel!”. Dengan sigap Samuel
segera berlari ke arah imam Eli karena dia menyangka dipanggil oleh imam
Eli. Tetapi imam Eli menjawab bahwa dia tidak memanggil Samuel. Sampai 3
kali Allah mengulang panggilanNya kepada Samuel, dan 3 kali pula Samuel selalu
sigap memberi respon dengan datang dan bertanya kepada imam Eli walau telah dijawab
bahwa imam Eli tidak memanggil dirinya. Barulah imam Eli mengetahui bahwa Allah
yang memanggil Samuel, karena itu dia memberitahu Samuel, apabila Allah
memanggil namanya kembali, dia harus memberi jawab: “Berbicaralah, TUHAN, sebab
hamba-Mu ini mendengar" (I Sam. 3:9). Sikap Samuel yang selalu
sigap memberi respon dengan bertanya kepada imam Eli, “Ya, bapa, bukankah bapa
memanggil aku?" (I Sam. 3:5,6) menunjukkan Samuel seorang yang
memiliki kepekaan diri yang sangat tinggi. Walau dia dalam keadaan tertidur
lelap, dia tetap peka dengan suara yang memanggil dirinya. Bandingkan saat kita
tertidur pulas, umumnya kita tidak lagi mampu mendengar suara orang yang
memanggil dan menggerak-gerakkan tubuh kita. Samuel bukan sekedar peka
dan terbangun dari tidurnya, tetapi kepekaan diri tersebut senantiasa diikuti
dengan sikap yang sigap bertindak agar tidak ada tugas yang terlalai.
Jelas sekali Samuel tidak membuat “tafsiran” sendiri dengan hanya membuat
perkiraan subyektif, tetapi dia lebih memilih segera bertanya kepada imam Eli
kebenarannya. Jadi dalam peristiwa ini telah terlihat bakat Samuel untuk
menjadi seorang pendengar yang baik dan taat, sehingga sepanjang hidupnya
Samuel terbukti selalu belajar mendengar suara dan kehendak Allah untuk
dilakukannya dengan setia.
Panggilan Allah sesungguhnya juga
terjadi dalam setiap kehidupan kita. Tetapi belum tentu kita memiliki sikap
yang peka dan sigap seperti Samuel.
Mungkin berulangkali Allah memanggil kita, namun kita sering lebih memilih
tidak peduli dan mengeraskan hati. Kita sering lebih disibukkan dengan berbagai
pikiran dan perasaan kita dari pada kesediaan diri untuk selalu mau terbuka dan
peka dengan panggilan Allah. Itu sebabnya yang paling dominan dan berpengaruh
dalamseluruh langkah kehidupan kita adalah pendapat, pikiran dan kemauan kita
sendiri. Tetapi kehendak dan rencana Allah sering terabaikan. Atau yang kerap
terjadi adalah sepertinya kita melakukan kehendak dan rencana Allah, tetapi
intinya kita sedang memaksakan kehendak dan kemauan kita sendiri. Kita
sering menyebut-nyebut sedang melakukan kehendak dan rencana Allah, tetapi
semua ungkapan tersebut kita pakai hanya untuk membenarkan diri kita sendiri.
Kita sering cukup lihai dan taktis untuk mempermanis sesuatu yang sebenarnya sarat
dengan berbagai ambisi dan kepentingan diri. Bukankah lebih indah apabila kita
menyebut “mempermuliakan Allah” padahal sebenarnya kita sedang mempermuliakan
diri sendiri. Sangatlah saleh saat kita menyebut sedang melakukan “pelayanan”,
padahal kita sedang getol memperbesar ambisi-ambisi diri yang terselubung.
Lebih mengesankan saat kita menyatakan kepada orang banyak bahwa hidup ini kita
“persembahkan” kepada Kristus padahal sebenarnya kita sedang memanipulasi nama
Kristus untuk menutupi berbagai kepentingan diri yang egoistis. Semua sikap
tersebut terjadi karena kita kurang peka, tidak mau mendengar dan melakukan
panggilan Allah. Tepatnya kesadaran rohani (spiritual awareness) kita kurang
berfungsi sebagaimana seharusnya. Sehingga walaupun Allah telah memanggil
kita berulang-ulang, kita selalu mengabaikan suaraNya sampai akhirnya ajal
menjemput kita. Akibatnya selama hidup kita belum pernah melakukan apa yang
menjadi kehendak dan rencana Allah. Betapa vital dan berharganya makna kepekaan
hati-nurani dan iman, karena tanpa kepekaan hati-nurani dan iman kita akan
kehilangan kesempatan untuk memperoleh keselamatan dan membagikan keselamatan
kepada orang-orang di sekitar kita.
Sikap Etis Menyadari Kehadiran Tuhan
Bagi umat percaya kita mengimani
kehadiran Allah yang tak terbatas dan senantiasa melingkupi segala sesuatu.
Allah adalah maha-hadir (omnipresent),
sekaligus Dia adalah Allah yang maha-tahu (omniscient).
Keyakinan iman itulah juga yang dialami oleh pemazmur di Mzm. 139.
Dia berkata: “Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti
pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring,
segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan,
sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN” (Mzm. 139:2-4). Allah yang
maha-hadir pada hakikatnya berada di semua tempat baik yang sifatnya fisik
maupun non-fisik (mental), sehingga Dia selalu mengetahui segala jalan dan isi
pikiran kita. Allah yang maha-tahu telah mengetahui terlebih dahulu apa yang
akan kita katakana atau ucapkan. Itu sebabnya di hadapan Allah tidak ada yang
tertutup dan tersembunyi. Seluruh aspek kehidupan kita terbuka secara jelas dan
transparan di hadapanNya. Karena itu manusia tidak mungkin dapat lari dan
bersembunyi dari hadapan Allah. Namun dalam realita hidup
sehari-hari kita sering mencoba berdusta dan menyembunyikan segala
kesalahan dan dosa kita di hadapanNya. Tepatnya manusia memiliki kecenderungan
untuk membangun “benteng” diri setinggi mungkin agar dosa-dosanya terlindung
dan tidak diketahui oleh siapapun termasuk Allah. Kita sering tanpa sadar
mencoba untuk mendustai Allah dengan menganggap Dia tidak “maha-tahu”. Tetapi
tidaklah demikian sikap pemazmur. Itu sebabnya di Mzm. 139:2, dia berkata:
“TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku”. Pemazmur justru mohon agar
Allah berkenan untuk menyelidiki dan mengenal dirinya yang paling dalam. Dia
menempatkan kemaha-tahuan Allah pada tempat yang seharusnya, dengan tujuan etis
yaitu agar Allah menerobos dan menguduskan seluruh kegelapan dosa
yang terdapat di dalam dirinya. Bukankah sikap pemazmur tersebut
mencerminkan sikap kerendahan-hati seorang yang beriman? Dia tidak mencoba
untuk menutup-nutupi dosanya, tetapi justru membuka dan menyingkapkan diri apa
adanya. Sikap spiritualitas pemazmur tersebut justru akan membawa dia kepada
kesadaran rohani (spiritual awareness) yang semakin jernih dan mendalam. Dia
makin dimampukan untuk lebih peka terhadap seluruh keberadaannya di hadapan
Tuhan. Jadi sikap pemazmur tersebut makin menunjukkan bahwa dia seorang yang
peka secara etis akan makna kehadiran Allah yang maha-tahu dan maha-hadir dalam
kehidupan ini.
Kebanyakan kita selaku anggota
jemaat juga mampu mengamini kemaha-hadiran dan kemaha-tahuan Allah. Namun
seringkali keyakinan tersebut sekedar suatu kepercayaan doktrinal belaka, sebab
gagal kita wujudkan dalam tindakan
etis-moril. Kita percaya Allah
adalah maha-tahu dan maha-hadir,
tetapi sering kehidupan kita tetap duniawi.
Keyakinan akan kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran Allah tersebut ternyata
sering tidak disertai oleh rasa takut akan Allah, sehingga
hidup kita tetap mengikuti keinginan daging dan hawa-nafsu duniawi.
Di I Kor. 6 rasul Paulus menjumpai bahwa beberapa anggota jemaat ternyata tetap
hidup dalam percabulan dan perzinahan. Sebagai anggota jemaat, mereka tentunya
orang-orang yang percaya akan kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran Allah; tetapi
ternyata mereka tidak berusaha menjauh dari dosa seksual tersebut. Mereka lebih
memilih untuk mengikuti kebiasaan orang-orang Korintus yang pada waktu itu
menganggap hubungan seks secara bebas merupakan hal yang biasa. Sehingga
mereka juga melupakan satu aspek teologis yang sangat mendasar bahwa Kristus
telah menebus dosa-dosa mereka dengan harga yang lunas di atas kayu salib.
Mereka tampaknya hanya disadarkan akan kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran Allah
secara umum, tetapi mereka mengabaikan kehadiran Allah yang khusus dan
sungguh-sungguh nyata di dalam Kristus yang telah menyelamatkan diri mereka
dari kuasa dosa. Tepatnya karya keselamatan Allah di dalam penebusan Kristus
tidak dihargai oleh beberapa jemaat Korintus secara etis-moril.
Padahal di dalam iman kepada Kristus, tubuh mereka kini bukanlah milik
mereka sendiri tetapi milik Allah. Sebab karya keselamatan Allah di dalam
Kristus telah berkenan menjadikan tubuh mereka sebagai Bait Roh Kudus (I Kor.
6:19). Bukankah sikap anggota jemaat Korintus tersebut menunjukkan
ketidakpekaan mereka terhadap makna “kebertubuhan” dirinya sebagai tempat atau
bait dari Roh Kudus? Sikap ketidakpekaan anggota jemaat Korintus tersebut juga
menyiratkan bahwa mereka telah gagal mengintegrasikan secara etis makna
keyakinan akan kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran Allah dengan kehadiran Allah di
dalam penebusan Kristus.
Peka Dalam
Mengikut Yesus
Saat Tuhan Yesus berangkat ke
Galilea, Dia berjumpa dengan Filipus. Perjumpaan tersebut ternyata mengubah
perjalanan hidup Filipus, karena dia merespon saat Tuhan Yesus berkata: “Ikutlah Aku” (Yoh. 1:43). Sama seperti
Samuel yang dipanggil oleh Allah dan memberi respon yang positif, demikian
pula Filipus saat dia dipanggil oleh Kristus. Tampaknya peristiwa perjumpaan
dan pengalaman hidup saat Filipus mengikut Kristus begitu mengesankan, sehingga
ketika Filipus berjumpa dengan Natanael dia segera memberi kesaksian: “Kami
telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para
nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret" (Yoh.
1:45). Dasar kesaksian Filipus yang dikemukakan kepada Natanael
adalah bahwa dia telah menemukan Messias sebagaimana yang telah dinubuatkan
oleh Musa dan kitab para nabi. Karena di Ul. 18:15 dinyatakan oleh Musa, yaitu:
“Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti
aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu
dengarkan”. Salah satu tolok ukur untuk menilai Messias yang dijanjikan
Allah adalah Messias tersebut memiliki ciri-ciri kehidupan seperti Musa yang
melakukan karya keselamatan dan kuasa Allah melalui berbagai perbuatan
mukjizat. Apabila Musa dipanggil oleh Allah untuk membebaskan umat Israel dari
kuasa perbudakan Mesir, maka Messias yang dijanjikan oleh Allah tersebut akan
membebaskan umat manusia dari kuasa perbudakan dosa. Selama Filipus mengikut
Kristus, dia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah telah
menunjukkan kuasaNya yang begitu besar di dalam diri Tuhan Yesus. Itu sebabnya
saat dia bertemu dengan Natanael, dia segera mengajak Natanael untuk mengikut
Kristus. Tetapi tampaknya Natanael seorang yang memiliki sikap kritis dan tidak
mudah begitu saja percaya, apalagi disebutkan bahwa Yesus sang Messias berasal
dari kota Nazaret. Pertanyaan yang muncul dalam diri Natanael adalah bagaimana
mungkin dari kota yang tak ternama seperti Nazaret dapat muncul seorang yang
disebut Messias. Itu sebabnya dia berkata kepada Filipus:"Mungkinkah
sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" (Yoh. 1:46).
Namun sangat menarik justru Tuhan Yesus tidak menganggap Natanael sebagai
seorang yang tidak peka atau buta secara rohaniah. Justru Tuhan Yesus berkata:
"Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di
dalamnya!" (Yoh. 1:47). Ini berarti sikap kritis yang membuat seseorang
tidak mudah percaya tidaklah senantiasa identik dengan sikap orang yang tidak
peka dengan kehadiran Kristus. Dalam kasus Natanael, sikap kritisnya justru
memperlihatkan jati-diri dariseseorang yang tidak memiliki kepalsuan atau
keyakinan iman yang munafik. Sebab yang menjadi landasan spiritualitas
dari orang-orang yang seperti Natanael adalah kegairahan untuk mencari
kebenaran dan keselamatan yang sejati. Manakala mereka pada akhirnya dapat
menemukan kebenaran dan keselamatan Allah yang dinyatakan dalam diri Kristus,
maka mereka akan secara total mempersembahkan hidup mereka kepada Allah. Itu
sebabnya hanya kepada Natanael, Tuhan
Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat
langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia"
(Yoh. 1:51). Tuhan Yesus menegaskan bahwa Natanael kelak akan melihat langit
terbuka dan para malaikat Allah turun-naik kepada Anak Manusia, yaitu Dia
sendiri. Natanael akan melihat kemuliaan Allah yang dinyatakan di dalam Kristus
seperti yang pernah dialami oleh Yakub saat dia tertidur dan bermimpi di Betel
(Kej. 28:12). Dengan demikian makna bersikap peka dalam mengikut Kristus
bukanlah identik dengan orang-orang yang mudah dipengaruhi secara doktriner.
Sebab orang-orang yang mudah dipengaruhi secara doktriner memang kelihatannya
mudah sekali dibawa kepada pengertian akan ajaran tentang Kristus, tetapi tidak
berarti mereka memiliki pola hidup yang lurus dan benar di hadapan Allah.
Sebaliknya makna dari seseorang yang peka dalam mengikut Kristus adalah
senantiasa mampu bersikap kritis, menguji segala sesuatu dan mau mencari
kebenaran dengan segenap hatinya serta mempraktekkan secara konsisten dalam
seluruh aspek kehidupannya. Tepatnya makna peka mengikut Kristus akan mendorong
seseorang untuk selalu mendengar isi hati dan kehendak dari Allah yang
dibarengi dengan sikap yang kritis. Kepekaan seorang beriman untuk mendengar
denyutan hati Allah (“heartbeat of God”)
tidak menutup fungsi hati-nurani yang selalu dibimbing oleh akal-budi.
Panggilan
Anak-anak imam Eli yakni Hofni dan Pinehas hidup di tengah-tengah kehidupan dan komunitas yang sarat secara rohani, tetapi mereka tidak pernah belajar peka mendengar dan mentaati firman Tuhan. Berbeda dengan sikap Samuel yang masih muda. Dia senantiasa peka dan sigap untuk melakukan tugas panggilannya. Itu sebabnya seluruh kehidupan Samuel ditandai oleh karakter yang tidak bercela. Dia selalu menjaga kehidupannya agar tetap etis dan berintegritas. Demikian pula panggilan hidup kita selaku umat percaya. Kita bukan hanya mampu mengamini kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran Allah, tetapi juga harus mampu mewujudkannya dengan hidup yang kudus. Sebab tubuh kita telah ditebus oleh Kristus dan dijadikan sebagai Bait Roh Kudus. Jika demikian, apakah kehidupan kita selalu peka dalam mengikut Kristus? Apakah kita hanya mudah terkesan oleh pengajaran tentang Kristus secara doktrinal saja, tetapi kita gagal untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam kehidupan kita? Dalam hal ini kita perlu memiliki sikap peka yang dibarengi dengan sikap kritis, khususnya sikap kritis terhadap diri sendiri. Amin.
Anak-anak imam Eli yakni Hofni dan Pinehas hidup di tengah-tengah kehidupan dan komunitas yang sarat secara rohani, tetapi mereka tidak pernah belajar peka mendengar dan mentaati firman Tuhan. Berbeda dengan sikap Samuel yang masih muda. Dia senantiasa peka dan sigap untuk melakukan tugas panggilannya. Itu sebabnya seluruh kehidupan Samuel ditandai oleh karakter yang tidak bercela. Dia selalu menjaga kehidupannya agar tetap etis dan berintegritas. Demikian pula panggilan hidup kita selaku umat percaya. Kita bukan hanya mampu mengamini kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran Allah, tetapi juga harus mampu mewujudkannya dengan hidup yang kudus. Sebab tubuh kita telah ditebus oleh Kristus dan dijadikan sebagai Bait Roh Kudus. Jika demikian, apakah kehidupan kita selalu peka dalam mengikut Kristus? Apakah kita hanya mudah terkesan oleh pengajaran tentang Kristus secara doktrinal saja, tetapi kita gagal untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam kehidupan kita? Dalam hal ini kita perlu memiliki sikap peka yang dibarengi dengan sikap kritis, khususnya sikap kritis terhadap diri sendiri. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar