Perdamaian sangat dibutuhkan pada jaman ini, bagaimana kita bisa berdamai dengan sesama, dengan Tuhan dan diri sendiri.Semua ini hanya dapat kita peroleh dari Dia dan FirmanNya sebagai Madu Surgawi.
Senin, 29 Oktober 2012
"Khotbah Minggu 04 Nop 2012 Markus 12:28-34"
Nats Khotbah ini diambil dari Injil Markus 12:28-33 di mana Yesus dicobai lagi oleh orang-orang Saduki. Kali ini mereka bertanya tentang “Hukum yang paling utama”. Harus diakui ada begitu banyak produk hukum dengan maksud untuk memberikan suatu rasa keadilan. Namun dapat kita saksikan ini, bahwa banyak produk hukum hanya untuk menjerat orang lain, yang kebetulan orang lain ini banyak yang”buta” hukum. Kalau semua produk hukum ini dimaksudkan untuk suatu keadilan yang sejati, pasti kita akan kembali kepada hukum yang paling utama yakni “hukum kasih”. Kita menyadari pula “hukum kasih” sering diselewengkan dengan “kasihan deh lho”. Namun demikian, hukum kasih sebagaimana Yesus sampaikan di setiap kesempatan merupakan hukum yang paling utama dan pertama. Kita akul yakin bahwa dari produk-produk yang dihasilkan dengan maksud yang baik untuk memberikan rasa keadilan yang sebenar-benarnya.
Mengapa kasih…? Allah mau menjadi manusia dasarnya adalah kasih. Allah mau menebus dosa-dosa manusia, dasarnya adalah kasih. Hubungan antara pasangan yang berbeda jenis, dasarnya juga kasih. Kita mau bekerja keras untuk keluarga, dasarnya juga kasih. Agar tidak terjadi konflik, dasarnya juga kasih. Toleransi di bidang agama, dasarnya juga kasih.
Jadi kalau kita renungkan dengan sungguh-sungguh, apa yang disampaikan oleh Yesus tentang “hukum kasih yang merupakan hukum yang utama dan pertama” benarnya adanya.
Iblis pada dasarnya juga tidak senang kalau ada kedamaian di hati orang. Iblis selalu mau menciptakan kekacauan. Jadi boleh jadi kekacauan yang ada di mana-mana, maka kita bisa mengkambinghitamkan iblis. Orang sudah tidak memiliki kasih lagi.
Banyak juga yang ikut berbicara tentang kasih, namun hatinya jahat. Dan kita tahu segala kejahatan di bumi bermula dari iblis yang menyebabkan manusia pertama jatuh dalam dosa. Ada begitu banyak agama di dunia, intinya adalah kasih, Allah mau menyelamatkan manusia. Karena Allah telah mengasihi manusia, maka manusia harus mengasihi satu sama lain. Karena kasih itu berasal dari Allah dan Allah itu adalah kasih.
Sudah sampai sejauh manakah, kita mengamalkan kasih itu baik itu untuk mengasihi Allah dan juga mengasihi sesama. Anda yang dapat menjawabnya sendiri.
1. Perintah ganda untuk mengasihi adalah merupakan hukum kodrat
Kalau kita meneliti sepuluh perintah Allah (Kel 20:1-17), maka kita dapat melihat bahwa hukum-hukum di dalam 10 perintah Allah adalah merupakan penjabaran dari hukum kodrat yang sempurna. Hukum kodrat ini adalah hukum atau peraturan yang terpatri di dalam setiap hati manusia. Dalam sepuluh perintah Allah, kita dapat melihat adanya perintah kasih dalam dua kelompok, yaitu hukum 1-3 adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan hukum 4-10 adalah perintah untuk mengasihi sesama. Untuk mengasihi Allah, kita harus melakukan tiga hal, yaitu: (1) Tidak boleh mempunyai Allah lain, yang dituliskan: Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepadaKu saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu; (2) Harus memberikan kepada Allah penghormatan, yang dituliskan:Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat; (3) Kita harus beristirahat di dalam Tuhan, yang dituliskan: Kuduskanlah hari Tuhan. Dan untuk membuktikan kasih kita kepada Allah, maka kita harus mengasihi sesama seperti yang dijabarkan dalam perintah 4-10, yaitu: (1) Kita harus mengasihi orang tua kita, yang dituliskan: Hormatilah ibu-bapamu; (2) Kita tidak boleh melukai sesama kita dengan perbuatan – baik dengan melukai seseorang, yang dituliskan: jangan membunuh; atau merusak perkawinan seseorang, yang dituliskan: Jangan berzinah; atau mengambil barang atau harta milik sesama, yang dituliskan: Jangan mencuri; (3) Kita tidak boleh melukai sesama kita dengan perkataan dan pikiran – melukai dengan perkataan, yang dituliskan: Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu; melukai sesama dengan pikiran, yang dituliskan: Jangan mengingini istri sesamamu dan Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Penjelasan yang lain dari 10 perintah Allah adalah, dalam mengasihi Allah, maka kita harus mempunyai (1) kesetiaan, (2) penghormatan, dan (3) pelayanan; dalam mengasihi sesama, kita harus (4) menjalankan tugas untuk wakil Tuhan di dunia ini dan menjalankan tugas untuk diri sendiri dan sesama dalam (5) melindungi kehidupan, (6) kemurnian, (7) harta milik, (8) kehormatan, (9 dan 10) melindungi kehidupan keluarga.
2. Mengapa harus mengasihi?
Kalau manusia diciptakan dengan kodrat untuk dapat mengasihi Allah dan mengasihi sesama, maka pertanyaannya adalah mengapa Allah menciptakan manusia dengan kodrat seperti ini? Jawabnya adalah karena kita menemukan kebahagiaan kita di dalam kasih kepada Tuhan, dan tidak di dalam hal-hal lain, seperti: uang, kehormatan, kekuasaan, kesenangan, bahkan juga kebajikan. Maka kalau kita ingin mendapat penghiburan dan kekuatan di dalam hidup ini kita harus kembali kepada Tuhan, kita harus mengasihi Tuhan.
Cobalah kita cari orang yang terlihat sebagai orang yang paling berbahagia di dunia: tiliklah, apakah dia mengasihi Tuhan? Sebab jika ia tidak mengasihi Tuhan, ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh berbahagia. Itulah sebabnya banyak di antara orang-orang yang demikian kemudian dapat melakukan hal-hal yang tragis dalam hidup mereka. Sedangkan sebaliknya, jika kita menemukan orang kelihatannya paling tidak bahagia di mata dunia, namun kalau ia mengasihi Tuhan, maka ternyata ia adalah orang yang paling bahagia, dalam arti yang sesungguhnya, dalam segala sesuatu. Maka sudah selayaknya kita berdoa memohon agar Tuhan membuka mata hati kita agar dapat mencari kebahagiaan di mana kita dapat sungguh menemukannya, yaitu di dalam Tuhan sendiri.
Alasan lain, mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan kodrat untuk mengasihi adalah karena tanpa kasih, manusia tidak dapat mencapai Sorga. Begitu pentingnya kasih, sehingga Yohanes mengatakan “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut.” (1Yoh 3:14b) Dari ayat ini, kita dapat melihat bahwa untuk mendapatkan keselamatan, maka tidak ada cara lain, kecuali mengasihi. Agustinus menegaskan bahwa sama seperti manusia mempunyai dua kaki untuk berjalan, maka kita harus mengasihi Tuhan dan sesama untuk dapat mencapai Sorga. Sama seperti burung mempunyai dua sayap untuk terbang, maka kita harus mengasihi Tuhan dan sesama untuk dapat terbang ke Sorga. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa sama seperti orang-orang kudus di Sorga mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya, maka kita juga harus melakukan hal yang sama di dunia ini untuk mendapatkan kebahagiaan. Dari sini, kita dapat melihat bahwa mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama sesungguhnya tidak terpisahkan. Injil Yohanes menegaskan hal ini secara gamblang “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20)
3. Tuhan memampukan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi
Perintah untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi adalah mengasihi Tuhan dengan keseluruhan diri kita, menempatkan Tuhan lebih utama dalam segala sesuatu, di mana saja, setiap saat dan dalam segala kondisi. Dan kalau bukti kasih kita kepada Tuhan dan tanda kita berdiam di dalam Allah adalah dengan menuruti segala perintah Tuhan (lih. 1John 2:3; 1Yoh 3:24), maka kita akan melihat bahwa sesungguhnya perintah ini sangat berat bagi manusia. Namun, Tuhan tidak akan memberikan perintah yang mustahil, karena Dia menegaskan bahwa kuk yang dipasang-Nya adalah enak dan ringan. (lih. Mat 11:29)
Kunci dari kemampuan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi serta mengasihi sesama adalah karena Allah telah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kita yang telah dibaptis telah menerima rahmat Allah yang begitu besar, seperti: menjadi anak-anak Allah di dalam Kristus, disatukan dalam Tubuh Kristus, dibebaskan dari dosa asal, menerima rahmat pengudusan.
4. Ajakan untuk mengasihi adalah panggilan untuk hidup kudus
Mengasihi Allah dan sesama merupakan hukum yang terutama bagi umat beriman, dan merupakan panggilan yang diserukan oleh Gereja kepada semua orang yang berkehendak baik.
“Tuhan Yesuslah Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan. Dengan kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan masing-masing murid-Nya, bagaimanapun juga corak hidup mereka: “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam,supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belaskasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12).
Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian sedemikian ini sebuah kehidupan yang lebih manusiawi dapat dimajukan di dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. Amen Dari berbagai sumber
Khotbah Nats: "Mazmur 126:1-6"
Pengantar:
Pengharapan Ditengah Penderitaan Mazmur 126:1-6 Setiap orang hampir tidak pernah luput dari persoalan kehidupan, baik yang sifatnya ringan sampai yang berat. Ketika menghadapi masalah yang sangat berat, seseorang dapat dilanda keputus asaan dan tidak tahu harus berbuat apa. Sehingga tidak sedikit orang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Menurut laporan, jumlah orang yang bunuh diri semakin meningkat. Jika anda sedang dilanda kondisi yang berat karena masalah yang sepertinya tidak ada jalan keluar, apakah yang harus dilakukan? Ada 3 nasehat yang diberikan oleh penulis kitab mazmur yaitu raja Daud: 1. Memiliki impian dan Pengharapan. Musuh dan lawan dari keputus asaan adalah impian dan harapan. Setiap orang harus memiliki impian dan harapan dalam hidupnya. Karena itulah yang membuat dia mampu bertahan dan berjalan terus ditengah-tengah kesulitan. Dikala anda kehilangan impian dan harapan, maka anda harus terlebih dahulu untuk kembali memiliki impian dan harapan tersebut. Impian dan harapan dimulai dengan pikiran. Isi pikiran anda dengan hal-hal yang baik, yang indha, yang mulia. Impian adalah hal-hal yang indah, yang mulia, yang besar yang kita inginkan. Pikirkanlah itu kembali. Jangan memikirkan tentang kegagalan atau ketidak mungkinan. Tetapai mulailah berpikir tentang hal-hal yang besar. Tuhan adalah sumber kita untuk dapat memikirkan hal-hal yang besar, yang indah, yang mulia. Tumbuhkan keyakinan dalam hatimu, bahwa Tuhan sanggup dan bis menolong anda untuk mewujudkan impian dan harapan anda tersebut. Karena Dia adalah Tuhan yang hidup, Maha Kuasa, dan tidak pernah berdusta. 2. Bersukacita Bagaimana kita dapat menghadapi penderitaan adalah dengan menjaga sukacita. Mungkin anda bertanya bagaimana bersukacita sementara saya sedang menderita? Bersukacita adalah pilihan kita, tidak dipengaruhi oleh situasi dan keadaan kita. 3. Menabur Kebaikan Ada hukum yang bersifat universal yaitu Hukum Tabur Tuai; apa yang kita tabur akan kita tuai. Dengan perkataan lain, apa yang kita harapkan untuk kita tuai maka kita harus menaburnya terlebih dahulu. Seorang petani yang mengharapkan dirinya akan menuai buah mangga, maka dia terlebih dahulu menanam biji mangga. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Bila kita mengharapkan kebaikan datang dalam hidup kita, ada pertolongan yang kita terima, atau kita mengharapkan keberhasilan dalam hidup kita, maka kita harus terlebih dahulu menaburkan benih-benih kebaikan tersebut dalam diri orang lain. Kita harus mau menolong orang lain terlebih dahulu, maka kita pun akan mendapatkan pertolongan orang lain. Kita perlu menghibur orang yang sedih atau berduka maka kitapun akan menuai penghiburan dari orang lain. Mari hadapi setiap situasi sulit atau penderitaan anda melalui ketiga hal ini yaitu memiliki impian dan pengharapan, tetap menjaga sukacita dan menabur kebaikan
Khotbah:
Mazmur 126 mengatakan kalimat ini: waktu perubahan hidup kami terjadi, peristiwa itu seperti mimpi adanya karena bagi kami mana bisa hal itu terjadi? Ayat ini hanya ingin mengatakan bukan karena kekuatan dan kemampuan kita bisa berhasil, tetapi ada tangan Tuhan yang perkasa yang melakukannya. Orang lain mengatakan perubahan itu tidak mungkin bisa terjadi di dalam hidupmu tetapi saya percaya Tuhan bisa merubah situasi yang buat orang mustahil adanya. Banyak di antara kita mungkin merasa mana bisa keadaan dan situasi hidup kita mengalami perubahan yang drastis? Itu bisa dan mungkin, sebab kita memiliki Tuhan yang sanggup mengadakan perubahan di luar dari apa yang pernah kita bayangkan dan pikirkan. Terlepas dari campur tangan Tuhan yang ajaib dan perkasa, Mazmur 126 juga mengajarkan kepada kita beberapa prinsip yang sangat indah dan sangat menarik.
Yang pertama, pemazmur menolak untuk give up kepada situasi hidupnya. Walaupun situasi hidupnya digambarkan dengan lukisan yang sangat menyedihkan sekali, bagaimana bisa tanah Negeb itu mendapat air? It is impossible. Kalau sdr belajar latar belakangnya, kita menemukan ini adalah salah satu tempat yang paling kering di atas muka bumi ini. Probabilitas terjadinya hujan, probabilitas ada air di situ kecil sekali. Itu situasi dia. Tetapi itu tidak membuat dia menjadi orang yang tidak attach dengan situasi, karena dicatat di sini dia menangis. Tetapi dia juga tidak terlalu attach dengan situasi itu, karena Alkitab mencatat dia berjalan maju. Itu perbedaannya. Kita tidak bisa merubah keadaan kita di belakang, kita tidak bisa merubah kondisi kita, tetapi yang bisa kita kerjakan dan lakukan adalah yang pertama, kita jangan mengambil posisi merasa sebagai korban. Diperlakukan boleh tidak adil, tetapi itu tidak boleh membuat kita menganggap diri sebagai korban. Situasi boleh mendatangkan kesulitan di dalam hidup kita, namun tetap kita tidak boleh menjadi orang yang mengasihani diri. Saya tidak bisa merubah warna kulit saya, saya tidak bisa merubah status saya, latar belakang saya, tetapi itu semua tidak boleh menjadi penghambat dan penghalang.
Yang kedua adalah bagaimana saya bereaksi dengan perasaan saya, itu sangat menentukan bagaimana saya menghadapi situasi hidupku. Bagaimana saya menempatkan perasaan yang tepat kepada situasi itu? Feeling memainkan peranan yang sangat penting sekali di dalam kita bereaksi. Yang saya ingin bicara adalah bagaimana kita menaruh feeling yang tepat, emosi yang tepat, perasaan yang tepat kepada situasi yang kita alami, ini yang kadang-kadang menjadi kesulitan di dalam hidup kita.
DR. Les Parrott mengatakan hal yang satu ini harus kita tangani lebih dulu, baru yang lain akan menjadi lebih mudah, yaitu attitude kita. Bagaimana kita bersikap, begitu kita sudah menaruh negative attitude maka semua yang kita lihat menjadi negatif. Kita bertemu dengan orang-orang yang seperti ini, orang-orang yang “enjoy” menikmati self pity, mengasihani diri sendiri, meletakkan perasaan yang negatif terus di dalam situasinya.
Waktu saya membaca mazmur ini saya menemukan pemazmur menaruh range emosi yang besar sekali. Di satu pihak dia penuh dengan joy dan happines tetapi di sisi lain dia menangis tersedu-sedu. Di dalam keadaan yang susah dan sulit, air mataku mengalir. Tetapi pada waktu Tuhan merubah situasi itu aku sungguh-sungguh bersukacita sehingga orang lain juga bisa melihat perbuatan Tuhan yang luar biasa itu kepadaku. Range emosi yang luar biasa. Tetapi di tengah-tengah range emosi itu dia mengajarkan kepada kita, kita boleh memiliki emosi, kita boleh bereaksi, tetapi apakah reaksi emosi itu tepat pada situasi yang tepat? It depends on bagaimana kita mengerjakan sesuatu di dalam emosi itu.
Dalam 2 Kor.4:8 Paulus mengatakan ”...kami ditindas namun tidak terjepit, kami habis akal namun tidak putus asa.” Dalam keadaan tertindas, dia tidak putus asa. Mzm.42:12 mengatakan “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah, Penolongku dan Allahku.” Kunci jawabannya ada di sini, how you put your feeling and emotion in your situation properly . Realita, dia kecewa, dia depressi, dia mengalami feeling seperti itu. Akibatnya hidupnya menjadi lumpuh. Tibalah saatnya kemudian pemazmur menyatakan cambukan dan cetusan itu kepada kesadaran dirinya sendiri dengan mengatakan, mengapa engkau tertekan? Mengapa engkau gelisah? Mengapa engkau terus stay di dalam negative feeling yang mengontrol hidupmu? Bangun! Berjalan! Dan bersandarlah kepada Allah. Bangun dan berjalan belum berarti mungkin bisa merubah situasimu. Tetapi di situ kita menemukan sesuatu kesadaran dari pemazmur itu mengatakan, you boleh kecewa pada waktu you tertekan. You boleh menangis pada waktu berada di dalam kekeringan yang tidak habis-habisnya. Tetapi kalau kemudian tangisan dan depresi itu mengatur dan mengontrol bagaimana engkau berpikir dan bagaimana engkau berprilaku dan bagaimana engkau bertindak, stop. Tetapi sdr perhatikan dia minta berhenti dengan merelasikannya dengan beriman. Di sini kemudian kita perlu belajar satu kebenaran yang tidak boleh habis di dalam hidup kita. Paulus mengatakan dia menjalani hidup ini bukan dengan melihat tetapi dengan beriman. Walk not by your sight but by your faith. Perjalanan iman Kristen kita tidak boleh melepaskan prinsip ini. Tetapi perasaan kita seringkali menyertai apa yang kita lihat. Perasaan kita menyertai apa yang kita alami. Tidak ada masalah, sebab kita memang manusia yang dicipta Tuhan memiliki perasaan seperti itu. Tetapi untuk mengalihkan dan mengalahkan dan untuk membuat dia tidak menjadi perasaan negatif yang mengontrol hidupmu, kita perlu mengambil sikap seperti ini: saya hidup bukan dikontrol oleh perasaan saya, tetapi saya hidup dikontrol oleh apa yang saya percaya. Karena itulah kita akan melihat bagaimana kekuatan pengharapan dan percaya itu menjadi hal yang penting sekali di dalam iman orang Kristen.
Dietrich Bonhoeffer di dalam suratnya di penjara menulis: saya bukan orang yang pesimis, yaitu berpikir bahwa segala sesuatu yang saya alami akan menjadi lebih buruk. Tetapi saya juga bukan seorang yang optimis yang percaya bahwa someday saya akan keluar dari penjara ini dan situasi menjadi lebih baik. Tetapi saya hidup hari demi hari dengan pengharapan. Artinya, di sini saya berjuang melakukan segala sesuatu di dalam kekuatan dan kemampuan yang saya bisa, tetapi saya tidak pernah melepaskan tangan Tuhan yang berdaulat untuk campur tangan di situ. Biblically speaking, berpengharapan berarti tidak melihat mungkin hal itu terjadi di depan tetapi itu tidak boleh melepaskan pengharapan kita, juga tidak boleh membuat hati kita kehilangan respons yang tepat di dalam bagaimana kita berespons. Ini yang paling penting. Hai jiwaku, mengapa engkau tertekan? Mengapa engkau kecewa? Mengapa engkau gelisah? Berharaplah kepada Allah dan Dia akan melepaskan engkau pada waktunya. Pemazmur bersukacita, pemazmur juga menangis. Di dalam range emosi ini dia terus berjalan dan berjalan. Dia berjalan karena dia punya pengharapan, tetapi dia berjalan dengan air mata. Dia berjalan dengan kesedihan tetapi dia menolak untuk berhenti dan tangannya tetap menabur benih. Dia berjalan di atas tanah yang kering dan tidak ada airnya. Kakinya hari demi hari menginjak padang pasir yang kering dan panas, tetapi itu tidak melunturkan hatinya untuk terus menabur karena dia percaya someday ada hasil dan buahnya. Itu perbedaannya. Dia bukan seorang optimis bangun pagi-pagi di tengah padang pasir lalu menyanyi ketawa -ketawa sambil melempar benih. itu orang optimis yang kebacut dan kebablasan.
Saya boleh menangis tetapi itu tidak boleh membuat saya terikat. Saya boleh bersukacita dengan sukacita yang dalam tetapi itu tidak boleh kemudian membuat saya melupakan Tuhan di dalam hidup saya. Ini adalah pengontrolan emosi yang penting, bukan dikontrol oleh emosi tetapi dikontrol oleh pengertian iman kita kepada Tuhan.
Gal.6:9 “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik karena apabila sudah datang waktunya kita akan menuai jika kita tidak menjadi lemah…” Kita boleh menangis, tetapi terus menabur. Tetapi di dalam proses perjalanan menabur itu mungkin akhirnya tidak sampai berhasil dan sukses sebab ada suatu kendala emosi terjadi di sini yaitu menjadi jemu.
Fil.2:14 “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan.” Bersungut-sungut kepada diri sendiri. Berbantah-bantah akhirnya menjadi clashed dengan orang lain. Gerutu dan jemu adalah reaksi emosi bukan karena kehilangan kemauan berjalan tetapi kehilangan sukacita berjalan. Filipi adalah salah satu jemaat yang terbaik. Paulus sendiri memuji jemaat ini karena mereka terus membantu Paulus di dalam mendukung pelayanan misi Paulus (Fil.4:10). Filipi dikatakan oleh Paulus sebagai jemaat setia, partnership dengan Paulus di dalam pemberitaan Injil. Bahkan di dalam Fil.1:30 dikatakan mereka rela menderita karena Injil. Tetapi di pasal 2 Paulus mengingatkan semua yang mereka lakukan itu jangan dilakukan dengan bersungut-sungut. Sdr lihat perbedaannya? Bukan mereka tidak melakukan, tetapi mereka bersungut-sungut dan menjadi berbantah-bantahan, kita bertemu di situlah bagaimana emosi kita mengontrol hidup kita. Mungkin kita pikir lebih baik berhenti di tengah jalan tidak melakukannya sebab kita bertanya buat apa saya melakukan hal ini.. toh tidak ada hasilnya?! Tanah ini kering. Buat apa saya terus keluar setiap hari, padahal tidak ada sukacita dan kegembiraan untuk itu? Ini ayat yang indah luar biasa. Kalau kita berada di dalam situasi seperti itu, buat apa menangis? Buat apa keluar menabur? Pemazmur tetap menangis karena itu memang sulit tetapi itu tidak mengontrol dia. Tempatkan emosinya dengan tepat. Orang mungkin bilang tidak ada gunanya. Mungkin memang tidak berhasil, atau mungkin hasilnya tidak kita lihat dengan mata kita, tetapi kita tidak boleh berhenti. Sebab sekali lagi, kita berjalan dengan kita beriman kepada Dia. Kita tidak bisa meragukan iman orang lain. Saya percaya sdr adalah anak Tuhan yang baik, sdr pergi kebaktian, sdr terus berdoa kepada Tuhan, sdr baca Alkitab, dsb. Tetapi bisa jadi di dalam kita mengerjakan dan melakukan semua itu kita tidak kehilangan pengertian dengan menaruh hati dan emosi yang tepat di dalamnya.
Yang kedua, orang yang beriman memiliki ciri dan bukti. Dalam Mzm.126 ini seolah terjadi pengulangan, tetapi di ayat 1 “Tuhan memulihkan keadaan kami…” Itu satu deklarasi, satu statement, satu pengakuan ini terjadi sebab Tuhan yang campur tangan. Sedangkan di ayat 4 “Pulihkanlah keadaan kami…” Ini adalah satu petition, satu permohonan dan satu doa. Perbedaan struktur kalimat ini membuktikan dua hal ini berbeda walaupun menyatakan hal yang sama. Orang yang percaya dan berjalan dengan iman menjadikan konsep kebenaran firman Tuhan yang mengontrol hidupnya walaupun situasi itu gampang meminta emosi kita bereaksi dengan berkelebihan. Orang yang berjalan dengan beriman tetap adalah orang yang dibuktikan oleh hidupnya tidak boleh melupakan aspek ini: kita tahu orang itu berpengharapan, kita tahu orang itu beriman karena kita menemukan bagaimana orang itu bersikap dan berdoa kepada Tuhan.
Dimana bedanya orang yang berdosa dan yang tidak berdoa? Orang yang tidak berdoa sudah tidak punya pengharapan. Orang yang berdoa sebab dia punya pengharapan. Dia berdoa, menyegarkan semangat hidupnya. Bedanya cuma itu. Maka menghadapi situasi hidupmu yang seperti itu, apakah kita give up, ataukah kita berdoa? Berdoa itu mungkin tidak mendatangkan perbedaan secara eksternal tetapi memberikan perbedaan internal hidup rohani yang sangat berbeda.
“Pulihkan keadaan kami…” menjadi satu cetusan doa bahwa tidak ada campur tangan lain lagi, tidak ada yang bisa mendatangkan air di padang pasir Negeb kecuali mujizat Tuhan menurunkan hujan. Tetapi karena hanya itu pengharapan saya maka menjadikan saya orang Kristen yang berlutut berdoa dan bersandar kepada Tuhan. Tahun ini mari kita juga merevolusi hidup doa kita di hadapan Tuhan. Kenapa itu semua bisa hilang? Kita bisa give up, kita bisa kecewa, kita bisa akhirnya membiarkan emosi kita membuat kita terhambat di tengah perjalanan. Atau mungkin kita terlalu ingin situasi kita bisa berubah secara mendadak dan tak terduga. Kita selalu bersukacita kalau kita melihat ada hal-hal yang tak terduga terjadi. Tetapi kalau kita menjalani semua ini lalu kemudian kita kehilangan sukacita itu, mungkin kita memerlukan kalimat ini: “kita bersukacita untuk hal-hal surprise terjadi, tetapi kita harus setia untuk hal-hal yang rutin.” Pemazmur bersukacita sebab Tuhan mendatangkan perubahan besar, tetapi itu tidak boleh melupakan kerutinan dia. Benih yang berlipat ganda datang bukan karena hujan yang dinanti akhirnya datang dengan berlimpah, tetapi di tengah air mata yang mengalir deras yang tidak bisa menumbuhkan benih karena asin, dia tetap berjalan menabur dan menabur. Yang perlu dikerjakan dengan rutin memerlukan semangat yang setia dan pengharapan yang pasti kepada Tuhan. Mari kita seperti pemazmur mengatakan, hai jiwaku, jangan tertekan, bersandar kepada Tuhan. Amen RHL
Minggu, 14 Oktober 2012
“JIKA DUA HATI BERTEMU”
Nats : Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1Raja-raja 19:13)
Bacaan : 1Raja-raja 19:1-14
Dua puluh enam tahuan yang lalu, saya ingat bahwa setiap kali saya pulang, anak saya yang berusia 2 tahun langsung tahu lebih dulu hanya dengan mendengar suara sepeda motor yang saya pakai. Ia akan segera lari keluar untuk menyambut ku dengan gembira. Bagaimanapun suasana hatinya saat itu, yang jelas ia selalu senang bertemu lagi dengan saya. Perasaan ini terjadi karena dua hati -- ayah dan anak -- bertemu.
Saat itu, Elia sedang lelah dan putus asa. Bahkan ia minta mati saja, "Cukuplah itu ... ambillah nyawaku" (ayat 4). Aneh memang. Elia yang baru saja melakukan pekerjaan besar bersama Tuhan, mengalami kelelahan dan keputusasaan hanya karena ancaman Izebel, seorang manusia belaka.
Lalu Tuhan datang menemui Elia. Bukan lewat angin besar yang membelah gunung dan memecah bukit. Bukan lewat gempa atau api. Dia datang lewat angin sepoi-sepoi basa. Tuhan menemui Elia bukan lagi lewat peristiwa dahsyat, melainkan melalui peristiwa biasa. Di situlah Elia keluar dan menemui Tuhan. Dua hati bertemu, dan Tuhan menggugah hati Elia dengan bertanya, "Apakah kerjamu di sini?" (ayat 13). Tuhan menyadarkan Elia pada tugasnya dan menguatkannya supaya tidak lagi kalah oleh ketakutan dan kecemasan.
Jika saat ini kita sedang takut dan cemas, serta begitu putus asa, Tuhan menggugah hati kita dengan pertanyaan, "Apakah kerjamu di sini?" Tuhan ingin kita bangkit. Hanya satu yang Dia inginkan, yakni agar kita bertemu dengan-Nya. Sekarang juga, temuilah Tuhan dalam keheningan doa. Utarakan segala pergumulan kita kepada-Nya. Dia akan meneguhkan kita kembali pada panggilan pelayanan yang sudah dipercayakan pada kita
DALAM KEHENINGAN DOA HATI KITA BERTEMU DENGAN HATI TUHAN
Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." 1 Raja-Raja 19:4b
Saudara tahu kisah tentang nabi Elia? Nabi Elia adalah salah satu nabi yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Ia pernah berdoa "...supaya hujan jangan turun, dan hujan pun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumi pun mengeluarkan buahnya." (Yakobus 5:17-18). Juga saat berada di gunung Karmel Elia mampu menumpas 450 nabi-nabi Baal. Luar biasa!
Tetapi saat kita mempelajari kisahnya lebih mendalam, apalagi membaca ayat nas di atas, pasti timbul pertanyaan dalam benak kita, "Mengapa seorang nabi besar sekaliber Elia kok tiba-tiba menjadi seorang yang rapuh, ingin segera mengakhiri hidupnya dan seolah-olah tidak memiliki harapan dalam hidupnya?" Bagaimana pun juga Elia adalah manusia biasa. Meskipun ada pelayannya (Elisa) yang selalu menemani di mana pun ia berada, dan juga ada ribuan orang yang percaya kepada Allah Israel, Elia tetap merasa sendiri (lonely). Bukankah terkadang kita juga merasakan hal yang sama? Kita merasa sendirian meski berada di tengah-tengah keluarga, teman atau kerabat. Kita berpikir tak seorang pun mempedulikan kita.
Jika saat ini Saudara merasakan hal demikian, segeralah sadar! Lupakah kita akan janji Tuhan? Dia berkata, "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meniggalkan engkau." (Ibrani 13:5b), bahkan "...Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20b). Oleh karena itu kita harus percaya bahwa janji Tuhan itu ya dan amin, tidak ada janjiNya yang tidak Dia genapi sebagaimana tertulis, "Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran." (Yohanes 14:16-17a).
Tetaplah melekat kepada Tuhan dan jangan pernah merasa sendiri, ada Roh Kudus yang senantiasa menyertai kita. Hal ini membuktikan bahwa Tuhan sangat peduli dan memperhatikan hidup kita, bahkan "...rambut kepalamu pun terhitung semuanya." (Lukas 12:7a). Jaminan penyertaan Tuhan tidak hanya sampai di situ, Dia juga telah menyediakan tempat bagi kita kelak yaitu di dalam Kerajaan Sorga. Saudara tidak sendirian!
Semua ini membuktikan bahwa Tuhan sangat mengasihi dan memperhatikan kita; kasihNya tak lekang oleh waktu, hari ini, esok dan sampai selama-lamanya!
"CITRA PENDETA DAN ETIKA PELAYANAN'
I. Pendahuluan
Sebagai pelayan Yesus Kristus, yang dipanggil Allah untuk mewartakan Injil dan beroleh karunia Roh Kudus untuk menggembalakan gereja, setiap pelayan membaktikan diri untuk menunaikan pelayanan harus sesuai dengan pedoman etis dan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam kode etik pelayanan, supaya pelayanan diperkenan di hadapan Tuhan, dan apa yang dikerjakan menjadi keuntungan bagi persekutuan Kristiani, dan hidup pelayan menjadi saksi bagi dunia.
Bagi seorang yang telah mengalami kelahiran baru di dalam Yesus Kristus, hidupnya tidak akan lepas dari apa yang disebut pelayanan. Pelayanan menjadi life style, gaya hidup, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Setiap orang percaya dipanggil untuk melayani (Galatia 5:13). Penggalangan kaum awam untuk melayani memiliki dasar yang kuat dalam Alkitab. Pelayanan bukan hanya monopoli hamba-hamba Tuhan yang menyerahkan segenap hidupnya melayani purna waktu (fulltime) melainkan juga milik jemaat awam (1 Petrus 2:9). Yang dibutuhkan disini adalah bagaimana kaum awam tersebut dilengkapi agar pelayanannnya mendukung pelayanan hamba-hamba Tuhan, dan bukan menghambat. Salah satu hal yang seyogianya dipahami oleh para pelayan Tuhan adalah etika pelayanan, yaitu sikap yang baik dan benar sebagai pelayan Tuhan terhadap Tuhan yang dilayani, terhadap manusia, dan terhadap sistem pelayanan yang ada.
II. Sikap Terhadap Tuhan
Untuk dapat memiliki sikap yang baik dan benar terhadap Tuhan, seseorang harus mengenal-Nya dengan baik sesuai dengan pernyataan Alkitab itu sendiri. Pengenalan ini tidak hanya didasarkan pada pengetahuan teoritis melainkan juga melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sikap Yesaya dalam pelayanannya sebagai nabi berubah ketika ia melihat Tuhan dalam suatu penglihatan yang maha dahsyat (Yes. 6:1-8). Sikap kita terhadap Tuhan dan pelayanan yang dipercayakan-Nya kepada kita akan berubah jika kita lebih mengenal-Nya. Dalam bukunya Knowing God, J.I. Packer memaparkan tentang Diri Allah , sifat-sifat-Nya, tentang rencana dan karya-karya-Nya. Beberapa sikap kita sebagai pelayan Tuhan terhadap Dia, Kepala Gereja, antara lain :
1. Mengagungkan dan meninggikan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam ibadah maupun dalam hidup sosial kemasyarakatan.
2. Bersyukur atas segala karya-Nya dalam hidup kita dengan percaya akan kasih-Nya yang pasti mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Kedewasaan rohani seseorang dapat dilihat dari sikapnya ketika menghadapi berbagai warna kehidupan yang Tuhan ijinkan terjadi.
3. Bersedia hidup dalam ketaatan akan perintah-perintah-Nya sebagai tanda kasih kepada-Nya (Yoh 14:15)
4. Hidup dalam kerendahan hati di hadapan Tuhan dengan menyadari bahwa segala kemauan dan kemampuan kita dalam pelayanan adalah pekerjaan Allah sendiri (2 Kor 3:5; Fil 2:13).
5. Bersedia terus menerus diperbaharui oleh Roh Kudus (Efs 4:21-24), dengan terus menjaga kemurnian hati (1 Tim 1:18).
III. Sikap terhadap Tugas Pelayanan.
Banyak orang keliru dalam memandang setiap tugas pelayanan yang dilakukannya. Ada yang menganggapnya begitu sepele sehingga tidak pernah serius melakukannya. Pelayanan dianggap sebagai sambilan dan pengisi waktu luang belaka. Ada pula yang melihat pelayanan sebagai ibadah formal keagamaan yang kaku sehingga cenderung merupakan beban. Beberapa sikap terhadap tugas pelayanan yang dikehendaki Tuhan antara lain :
1. Tugas pelayanan harus dipandang sebagai kepercayaan yang dianugerahkan Allah kepada kita (Kol 1:25)
2. Tugas pelayanan yang dipilih disesuaikan dengan talenta dan karunia Roh yang kita miliki; tak ada pelayanan yang tidak penting di hadapan Tuhan, semuanya penting dan saling melengkapi.
3. Sikap penuh disiplin dan setia terhadap tugas pelayanan yang dipercayakan sangat dihargai Tuhan (Mat 25:23).
4. Sikap menyeimbangkan pelayanan dengan karier dan keluarga juga harus diperhatikan; pelayanan tidak boleh menjadi alasan dan dikambinghitamkan untuk menutupi kekurangan dalam penanganan karier dan keluarga.
5. Sikap percaya bahwa setiap pelayanan yang kita lakukan tidak akan sia-sia selama kita melakukannya dengan hati yang mengasihi Tuhan (1 Kor 15:58); pelayanan kita bisa menjadi berkat bagi orang lain, dan kepada kitapun Allah telah menyediakan mahkota kebenaran (2 Tim 4:8)
IV. Sikap terhadap Rekan Sepelayanan
Sebagai anggota tubuh Kristus kita harus menyadari peran kita dan juga peran rekan sepelayanan lainnya. Dalam Alkitab dicatat adanya pelayanan yang kurang harmonis dalam kebersamaan karena ada motivasi yang kurang murni dalam melayani.
Beberapa diantaranya adalah :
1. Jemaat Korintus yang senang membentuk kelompok-kelompok; kelompok Kefas/Petrus, kelompok Apolos, kelompok Paulus, kelompok Kristus, sehingga tidak ada kesatuan (1 Kor 1:10-17).
2. Motivasi dari beberapa pemberita Injil yang justru bermaksud memperberat pemenjaraan Rasul Paulus. (Fil 1:17)
3. Motivasi pelayanan untuk lebih menyenangkan hati manusia daripada hati Tuhan (Galatia 1:10)
Oleh sebab itu kita harus memiliki sikap yang baik dan benar terhadap rekan sepelayanan kita, yakni :
1. Menghargai sesama rekan sepelayanan, apapun profesinya dan apapun bentuk pelayanannya, bahkan yang satu menganggap yang lain lebih utama (Fil 2:1-4)
2. Mempunyai sikap saling membutuhkan baik dalam saling tukar menukar informasi, saling mendoakan, saling menolong dan memberi penghiburan (Gal 6:2)
3. Mau bersikap terbuka tanpa takut terluka dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam pelayanan; bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf, dan juga bersedia mengampuni mereka yang bersalah.
4. Bersikap mau menegur dalam kasih apabila melihat atau mendengar ada rekan sepelayanan yang menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan (Amsal 28:23)
V. Sikap terhadap Organisasi dan Pemimpin Rohani
Demi tertibnya pelayanan dalam gereja Tuhan dibutuhkan adanya aturan organisasi. Hal ini tidak berarti mempersempit karya Roh Kudus atau bersifat duniawi, melainkan justru mendatangkan ketertiban asalkan tetap berazaskan Alkitab. Alkitab sendiri menghendaki segala sesuatunya berjalan dengan tertib (1 Kor 14:33, 40), bahkan Roh Kudus adalah Roh yang mendatangkan ketertiban (2 Tim 1:7)
Dalam organisasi yang baik biasanya ada orang-orang yang ditempatkan dalam struktur organisasi yang bertanggungjawab atas pelayanan yang dipercayakan kepadanya secara organisatoris. Seringkali dijumpai adanya miskomunikasi antara pemimpin ini dengan rekan sepelayanan yang dibinanya. Untuk itu perlu diperhatikan panduan berikut :
1. Menghormati pemimpin yang telah ditetapkan Allah (1 Tim 5:17). Daud yang terus dikejar-kejar oleh Raja Saul tetap menghormatinya sebagai raja Israel sampai Allah sendiri berurusan dengan dia.
2. Mau berbicara dengan terbuka akan berbagai kebijakan dalam pelayanan sesuai dengan status anak-anak terang. Sama sekali tidak dibenarkan adanya tehnik-tehnik adu domba, agitasi dan intimidasi, surat kaleng, dan sebagainya.
3.Usul-usul peningkatan pelayanan yang baik dapat disampaikan menurut tata tertib gereja yang ada
4. Promosi ke tingkat kepemimpinan harus dilakukan dengan tertib yang ada, penuh kerendahan hati dengan memahami waktu Tuhan (Pengkhotbah 3:11), dan rela mengalami penolakan seperti halnya Samuel (1 Sam 12:23).
5. Memahami pentingnya regenerasi dalam pelayanan secara struktural, agar menghasilkan atmosfer pelayanan yang sehat.
VI. Penutup.
Dengan telah dipahaminya prinsip-prinsip etika pelayanan dalam pelajaran ini tidak secara praktis menjadikan kita langsung melayani tanpa cacat. Kita masih akan masuk dalam pemproses hidup yang cukup panjang dalam pelayanan. Roh Kuduslah yang menjadi Penolong kita. Setidaknya dengan panduan etika pelayanan ini kita bisa lebih mengadakan koreksi dan evaluasi secara jujur di hadapan Tuhan & manusia. Akhirnya, “….mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa.” (1 Tim 3:13).
Disampaikan pada Konven Pdt2 POUK PGI Wilayah DKI di Lembah Nyiur Bogor.
Langganan:
Postingan (Atom)