Perdamaian sangat dibutuhkan pada jaman ini, bagaimana kita bisa berdamai dengan sesama, dengan Tuhan dan diri sendiri.Semua ini hanya dapat kita peroleh dari Dia dan FirmanNya sebagai Madu Surgawi.
Rabu, 12 Februari 2014
Khotbah Minggu 16 Februari 2014 "Ulangan 30 : 15 - 20"
Perjalanan kembara yang sangat berat dari bangsa Israel di padang gurun selama empat puluh tahun (!) sesudah mereka dibebaskan oleh Allah dari perbudakan di Mesir, di bawah pimpinan Allah melalui Musa, seolah-olah sudah hampir mencapai titik akhirnya, tujuannya. Mereka sudah tiba di daerah Moab, di sebelah timur sungai Yordan. Tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Allah itu, sudah berada di depan mata (Ulangan 1 : 1-8)! Lalu melalui Kitab Ulangan, Allah memberikan hukum-hukum kepada bangsa Israel untuk mereka wujudkan dalam rangka menegakkan dan memelihara hubungan perjanjian (covenant) antara Allah dan umat-Nya itu, yaitu hukum-hukum yang mencakup ranah-ranah peribadatan, kemasyarakatan, dan etika (Ulangan 12-26). Namun semuanya belum cukup. Di Moab itu juga, Musa, yang tahu bahwa dia tidak akan ikut memasuki Tanah Perjanjian dan akan digantikan oleh Yosua (Ulangan 31), berdiri sekali lagi di hadapan bangsa Israel, untuk memperhadapkan bangsa itu untuk mengambil pilihan yang paling menentukan bagi kehidupan mereka dan masa depan mereka.
Pilihan yang harus diambil oleh bangsa Israel bukan pilihan yang main-main, sebab kata Musa: "Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk" (ayat 19a). Mereka harus memilih antara "kehidupan" atau "kematian", antara "berkat" atau "kutuk" (lihat juga ayat 15: pilihan itu adalah juga antara "kehidupan dan keberuntungan" atau "kematian dan kecelakaan"). Mereka akan menerima kehidupan, berkat, dan keberuntungan, jika mereka "mengasihi TUHAN, Allah mereka, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya" (ayat 16a). Sebaliknya, mereka akan ditimpa kematian, kutuk, dan kecelakaan jika "hati mereka berpaling dan mereka tidak mau mendengar, bahkan mereka mau disesatkan untuk sujud menyembah kepada allah lain dan beribadah kepadanya" (ayat 17). Dengan pilihan kedua itu seolah-olah Musa hendak mengatakan kepada bangsa itu, "Kalian akan binasa jika kalian masih ingin kembali lagi ke ‘Mesir', kepada ‘perbudakan' dan penyembahan kepada dewa-dewa". Namun, Musa sekaligus berseru dan mengajak bangsa itu untuk mengambil pilihan yang benar: "Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya" (ayat 19b-20a).
Sekarang ini masih ada orang-orang beriman, anggota-anggota umat Allah yang baru ("Israel yang baru"), yang merasa sudah memasuki tanah Kanaan, Tanah Perjanjian itu, sebagai sesuatu yang sudah tuntas-tas. Mereka kira-kira berpikir begini, "Bukankah kalau aku sudah percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku, berarti aku sudah diselamatkan, lalu semuanya sudah beres-res?". Keyakinan ini tidak seluruhnya salah, sebab memang benar bahwa oleh anugerah Allah yang kita terima dengan iman kepada Kristus, kita sudah diselamatkan. Namun kebenaran ini belum lengkap seluruhnya. Mengapa? Karena, keselamatan di dalam Kristus yang kita terima dalam perjalanan hidup kita di dunia ini bersisi dua: "sudah" dan "belum". Kita memang sudah diselamatkan, namun selama kita masih menjadi musafir dalam kehidupan kita di dunia ini, keselamatan itu belum kita terima dan alami dalam wujud yang lengkap dan sempurna. Kelengkapan dan kesempurnaan dari keselamatan itu masih kita nantikan.
Itu berarti, kita bagaikan bangsa Israel di Moab itu, bahwa Tanah Perjanjian itu sebenarnya "sudah berada di tangan" namun "belum diterima dalam arti sepenuh-penuhnya". Karena itu, tantangan untuk melakukan pilihan antara "kehidupan" dan "kematian" itu juga berlaku bagi kita! Secara terus menerus! Bukankah kita yang sudah beriman masih dapat tergoda dan gampang terjatuh pada pilihan untuk meninggalkan Kristus yang kita imani itu, entah dalam situasi apa pun dan dengan alasan apa pun dan dengan cara apa pun? Selama kita masih dalam kembara kehidupan ini, setiap kali kita ditantang oleh Tuhan sendiri untuk membarui dan menyegarkan komitmen kita dalam percaya kepada Kristus dan menaati kehendak-Nya dalam kehidupan kita.
Saudaraku, dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari Anda, pilihan hitam-putih ini (karena memang tidak ada wilayah abu-abu) sungguh tidak mudah untuk dilakukan. Namun, tetap pilihlah kehidupan! Dengarlah dan ikutilah ajakan dan seruan dari Allah sendiri melalui Musa, "Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya"!
Keuntungan memilih jalan Tuhan atau kehidupan akan diberi berkat:
1. Pengkhotbah 6:3 Jika orang memperoleh seratus anak dan hidup lama sampai mencapai umur panjang, tetapi ia tidak puas dengan kesenangan, bahkan tidak mendapat penguburan, kataku, anak gugur lebih baik dari pada orang ini.
Untuk apa umur panjang jika tidak pernah merasa puas? celakalah mereka yang mendasarkan hidupnya kepada harta sebab walau umur panjang hartanya tidak memberinya kebahagiaan justru menjadi kebinasaan dan anak gugur lebih baik, lebih baik dia yang tidak pernah puas itu tidak usah lahir.Sebaliknya orang yang lanjut usia jika ia setia memilih jalan Tuhan meskipun di usia tuanya ia menjadi lemah tetapi selalu ada yang peduli kepadanya dan jika ia mati ada orang yang mengurus penguburannya.
2. Mazmur 37:25 Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti;
Daud melihat kehidupan panjang umur, sampai masa tua orang yang benar hidupnya tidak pernah di tinggalkan. Dia tidak kesepian, tidak ketakutan, atau dia akan tetap dalam situasi pesta sebab orang-orang akan duduk di sekitarnya. Apa alasan mereka tidak di tinggalkan? Apakah karena orang kasihan kepadanya? Apakah yang membuatnya menarik sehingga orang suka berkumpul di sekitarnya? Penampilannya tua, baunya bau minyak angin, jalannya lambat, makanannya bubur dll. Tapi ia tidak akan di tinggalkan sebab ada yang berharga di dalam dirinya yang tidak pernah padam juga oleh usia tua pun tidak padam iaitu kebenaran.
Yang paling luar biasa ia telah berhasil dengan kebenarannya membentuk anak dan anak cucunya menjadi anak-anak benar, maka hidupnya senantiasa penuh ucapan syukur. Amin
"PUASA YANG SEJATI" Yesaya 58: 1-12.
"Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?" Yesaya 58:3a
Pembukaan:
PUASA YANG SEJATI.
Nabi Yesaya bin Amos secara serius mengingatkan umat Yehuda agar kembali bertobat kepada TUHAN karena selama ini mereka mengalami kemerosotan moral yang hebat. Untuk itu ia bernubuat dengan suara lantang bagaikan sangkakala (58:1). Kondisinya semakin parah karena umat Allah (Yehuda) rupanya jatuh pada penghayatan agama yang legalistic – formalistic (mengutamakan formalitas sesuai dengan aturan/hukum agama yang berlaku), namun secara hakiki mereka jauh dari Allah (ay.2). Yesaya menegaskan bahwa PUASA yang tidak dilandasi oleh spiritualitas yang benar adalah sia-sia belaka (ay.3-4 "Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?" Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi)
Khotbah:
Puasa yang dikehendaki Allah adalah “merendahkan diri” dan “mewujudkan keadilan” kepada sesama (ay.6) ,mewujudkan “cinta kasih” dan kepedulian kepada sesama terutama kepada mereka yang menderita (ay.7). Bila hal itu dilakukan maka ada berkat TUHAN yang pasti diterima, yaitu:
• Ada pengharapan di tengah kesesakan dan pergumulan (ay. 8, 10)
• Ada relasi yang baik dengan Tuhan (ay. 9)
• Ada pengharapan di dalam Tuhan (ay. 10)
• Ada pertolongan Tuhan (ay. 11)
• Ada jaminan keberhasilan (ay. 12, 14)
Dari uraian tsb., kita bisa menarik kesimpulan bahwa PUASA bukan sekedar menahan diri dari makan dan minum. Puasa juga bukan sekedar memenuhi Hukum Agama.
Namun lebih dari itu semua bahwa Puasa adalah kesediaan untuk bertobat/merendahkan diri di hadapan Allah yang ditandai dengan mewujudkan keadilan, cinta kasih dan kepeduliaan terhadap sesama manusia.
Banyak orang berpuasa karena suatu tujuan tertentu. Namun ada yang berpuasa hanya karena terpaksa atau karena kewajiban yang harus dijalankan. Tapi pada intinya orang berpuasa selalu mempunyai tujuan agar mendapatkan sesuatu yang dia doakan karena merasa tidak cukup bila berdoa saja; mungkin juga karena terlalu beratnya pergumulan yang dihadapi sehingga perlu disertai puasa. Puasa adalah sesuatu yang kita lakukan sebagai bentuk merendahkan diri di hadapan Tuhan, memohon pertolonganNya. Puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga saja tapi juga nafsu kedagingan kita.
Seringkali kita tidak mengerti arti berpuasa yang sebenarnya, sehingga tidak jarang puasa yang kita lakukan itu menjadi sia-sia. Kita menjalankan puasa agar beroleh pujian dari orang lain, supaya kelihatan kita ini rohani. Dalam Matius 6:16 dikatakan, "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya." Hal lain yang membuat puasa kita menjadi percuma adalah apabila dalam hidup kita belum ada pemberesan dengan Tuhan, yaitu kita masih menyembunyikan dosa. Inilah yang menjadi penghalan hubungan kita dengan Tuhan sehingga puasa kita 'tidak sampai' kepadaNya. Ada tertulis"...yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2).
Selain itu, selama berpuasa hati kita masih dipenuhi kekuatiran, sehingga kita sendiri tidak yakin akan pertolongan Tuhan setelah puasa yang kita lakukan sekian lama seolah-olah tidak memberi hasil yang diharapkan. Akhirnya kita mereka-reka jalan sendiri dan mencari jalan pintas! Kita sendiri yang membatasi kuasaNya bekerja hingga puasa kita pun percuma, padahal "Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:9).
Tanpa pertobatan dan penyerahan penuh kepada Tuhan, puasa kita tidak akan membawa hasil.
Kesimpulan:
Dunia Membutuhkan Kebenaran dan Kasih
Yesaya 58:1-12 membicarakan bahwa Allah menuntun agar umat memperbaiki sikap dan perbuatan mereka yang tidak peduli, bahkan cenderung menindas sesamanya yang miskin/lemah. Sesudah itu barulah kemudian Allah akan memberkati umat-Nya.
Senada dengan seruan nabi Yesaya, Mazmur 112:1-10 juga memanggil umat untuk hidup benar (takut akan Tuhan). Hanya dengan itulah mereka akan bahagia, dan akan mendapat “berkat”. Berkat yang melebihi kekayaan materi, yaitu kekayaan rohani.
1 Korintus 2:13-16 membahas hal yang bersifat teologis, yaitu tentang manusia duniawi dan manusia rohani (mengetahui pikiran Kristus). Menurut Paulus bahwa manusia rohani pasti meninggalkan perbuatan-perbuatan duniawi; kecemaran, pertengkaran, keegoisan, perpecahan dan sebagainya, dan berusaha menjadi manusia rohani yang berfokus pada Kristus, yang melakukan perbuatan terang.
Matius 5:13-20 Yesus menuntut orang-orang percaya (gereja) untuk berfungsi sebagaimana hakikatnya, yaitu melakukan perbuatan yang benar dan perbuatan kasih.
Melalui keempat bacaan ini, kita dapat menemukan sebuah pesan yang sangat jelas tentang pentingnya kita berbuat benar, berbuat kasih; peduli akan keselamatan sesama manusia. Itulah kesalehan hidup yang mendatangkan berkat, “Kesalehan” dengan melakukan ritual agama beserta peraturan-peraturan agama adalah hal yang penting. Tetapi yang dibutuhkan dunia saat ini adalah pengikut Kristus yang berfungsi sebagai garam dan terang, melakukan kebenaran dan kasih. Amin
Langganan:
Postingan (Atom)