Senin, 08 September 2014

Khotbah Minggu 28 September 2014 Nats : Matius 21:23-32 Thema :MENYAKINI KUASA YESUS KRISTUS


I.                   Pendahuluan
Dalam buku Injil ini si pengarang tidak menyebut namanya. Namun “Injil Matius[2]” yang biasanya dipakai, hanya berdasarkan satu tradisi yang tua. Matius adalah seorang pemungut cukai di Kapernaum, tetapi ia dipanggil oleh Yesus dan dijadikan muridNya (Mat. 9:9-134). Injil ini di tuliskan untuk orang-orang Yahudi sezamannya.  Kitab ini hanya mempunyai satu maksud yaitu: membuktikan dengan jelas, bahwa Yesus adalah Mesias yang sekian lamanya dijanjikan oleh Allah. Di dalam Yesus segala nubuat dalam Perjanjian Lama telah digenapi. Tidak kurang dari 47 kali Matius mengutip nats-nats dari Perjanjian Lama, hal itu untuk membuktikan, bahwa dalam diri Yesus telah digenapi apa yang dulu dituliskan oleh para nabi. Tujuan dari maksud Matius ini adalah agar orang-orang Yahudi pada masa itu, membaca nubuat lama dengan teliti, dan melihat bahwa seluruh hidup Yesus adalah penggenapan dari apa yang telah lama dinubuatkan. Jelas, kalaupun Matius adalah seorang pemungut cukai namun dia tetap paham tentang hal-hal yang tertulis dalam Perjanjian Lama.
Para Ahli Perjanjian Baru menduga, bahwa Injil Matius ini baru dikarang oleh Matius kira-kira tahun 80, dengan dua alasan:
1.      Pada tahun 70 terjadi satu peristiwa yang penting. Pada Tahun itu Bait Allah yang indah di Yerusalem dibakar habis oleh tentara Romawi, ketika orang Romawi mengalahkan oran Tahudi, yang telah memberontak terhadap pemerintahan Romawi. Ahli-ahli pada umumnya menganggap hal itu sebagai suatu tanda bahwa injil Matius dikarang setelah pembakaran Bait Allah yang terjadi pada tahun70. Justru oleh sebab pembakaran Bait Allah sudah terjadi maka Injil Matius menekankan “pembakaran kota” sebagai hukuman Tuhan terhadap orang yang tidak mendengar peringatan dari Tuhan
2.      Orang Yahudi yang masih hidup, setelah Bait Allah dibakar dan setelah banyak orang Yahudi yang dibunuh oleh tentara Romaawi, tidak dapat lagi mengejar tujuan politis lagi. Mereka memusatkan perhatian kepada suatu reorganisasi rohani di bawa pimpinan ahli-ahli Taurat.

II.                Pembahasan
Ayat 23-24: Dikatakan diayat ini, bahwa Yesus masuk ke Bait Allah dan Ia hendak mengajar. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwanya Yesus sedang mengajar ketika para pemuka agama datang menghampiri Dia, namun Markus katakan Yesus sedang berjalan di Bait Allah lalu para pemuka-pemuka mendatangi Dia, dapat penafsir simpulkan bahwa kemungkinan Yesus mengajar sambil berjalan, lalu para pemuka-pemuka agama datang menhampiri Dia serta bertanya kepada Ia: “dengan kuasa manakah Engkau melakukan-hal-hal itu? ”. “Hal-hal itu”  yang dimaksud oleh para pemuka-pemuka agama itu dalam pertanyaannya adalah apa yang telah dilakukan Yesus dalam dunia pelayananNya. “dan siapakah yang yang memberikan kuasa itu kepadaMu”, dalam hal ini, apa yang di persoalkan orang-orang para pemuka agama adalah bukan mengenai benar atau tidaknya apa yang telah dilakukan Yesus, namun yang menjadi masalahnya adalah “otoritas kuasa” siapa yang digunakan Yesus dalam dunia pelayanNya , yang dalam sepengetahuan mereka “pemuka-pemuka agama” bahwa Yesus bukanlah iman dan ahli Taurat.  Yang jelas isi dari pertanyaan para pemuka agama itu adalah hanya untuk mencari kesalahan Yesus di hadapan rakyat dan di muka pemerintah Romawi serta para pemuka-pemuka agama ingin menghentikan pengajaran yang sedang dilakukan Yesus di Bait Allah. Sebanarnya apa yang dilakukan oleh Yesus sudah sangat jelas siapa yang ber-otoritas dalam pelayananNya, dalam mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus menunjukkan Ke-Illahian Yesus dan itulah otoritasNnya.
Setelah para pemuka agama Yahudi menanyakan suatu pertanyaan kepada Yesus dan Yesus-pun tidak langsung menjawab apa yang menjadi pertanyaan mereka, dan Yesus berbalik bertanya kepada kepada para pemuka-pemuka agama itu. Sikap yang ditunjukkan oleh Yesus adalah sikap rabi-rabi Yahudi yang sering menjawab pertanyaan dengan mengajukan suatu pertanyaan pula. Memang jelas dalam nats ini, Yesus membuka ruang untuk berdialog kepada para pemuka-pemuka agama Yahudi pada saat itu.
Ayat 25-27: “Megapa Yesus menanyakan mengenai Yohanes Pembaptis?”. Pertanyaan yang diajukan Yesus memang tepat pada tempatnya, karena ada hubungan yang erat antara Yesus dan Yohanes. Yohanes telah menjadi perintis jalan untuk Yesus, dan Yesus sendiri telah dibaptis oleh Yohanes (Mat.3:13). Yohanes adalah orang yang mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah (Yoh. 1:32-34), hasil dari jawaban pertanyaan Yesus ini merupakan inti dari pertanyaan yang disampaikan para Ahli-ahli Taurat kepada Yesus mengenai “ dengan kuasa manakah Engkau melakuka hal-hal itu”. Dalam hal ini Yesus ingin tekankan “siapa kah yang berkuasa akan baptisan Yohanes”. Pertanyaan Yesus membuat dilema bagi seluruh ahli-ahli Taurat dan para Imam yang mendengarkan pertanyaan itu. “Jika mereka katakan dari sorga, maka Yesus akan bertanya lagi kepada mereka ‘mengapa kalian tidak mempercayainya?’”, dan “jika mereka mengatakan manusia, maka orang banyak akan menganggap Yohanes adalah nabi”. Para Imam dan ahli Taurat tidak mampu memjawab pertanyaan Yesus dengan realita apa yang mereka saksikan, sehingga mereka menjawab “kami tidak tahu”. Dengan jawaban para Ahli Taurat itu, Yesus-pun tidak menjawab pertanyaan yang mereka sampaikan sewaktu Yesus mengajar di Bait Allah.
Setelah Yesus berdialog dengan para Imam dan ahli taurat maka Yesus kembali bercerita kepada para pemuka agama Yahudi mengenai “Perumpamaan dua orang anak”.
Ayat 28-30 ““Penyesalan merupakan awal untuk masuk ke dalam kerajaan sorga[3]”, ayat ini dilatarbelakangi dari ayat sebelumnya, dimana para pemimpin agama Yahudi menanyakan kekuasaanNya, Yesus mengajukan kepada mereka dua pilihan yang sangat sulit untuk dipilih, Apakah Yohanes pembaptis berasal dari Allah atau manusia. Para pengecam menunjukkan betapa kurangnya iman mereka dengan berpura-pura mengatakan bahwa mereka tidak tahu. setelah itu Yesus meneruskan percapakan dengan anggota-anggota pemuka agama, Ia menyerang mereka dalam sebuah perumpamaan. Dan Yesus menyampaikan kepada para pemuka Agama Yahudi itu mengenai gambaran iman mereka, Yesus mengambarkan bagaikan anak yang pertama yang menjawab bapanya dengan sopan namun tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya[4], sedangkan anak yang kedua yang menolak suruhan bapanya namun melaksanakannnya setela ia menyesali diri, ini diwakili oleh orang-orang non Yahudi yang sering digambarkan sebagai anggota masyarakat yang berdosa yang diasingkan dari komunitas masyarakat Yahudi. Namun Yesus dalam ini, menitikberatkan kepada sebuah penyesalan. Sering orang-orang Yahudi mengatakan secara khusus bahwa mereka menyebut diri mereka sebagai orang yang benar, yang patuh dan menurut, itulah mengapa Yesus mengatakan kepada mereka bahwa mereka adalah gambaran anak yang pertama.
Ada  apa dengan istilah penyesalan, sehingga menyesal menjadi hal yang amat penting dalam kaitannya kepada kerajaan sorga? (ayat 31-32), Menyesal dapat disamakan dengan istilah dalam Bahasa Yunani “metanoia” yang kemungkinan lebih tepat dikatakan sebagai “bertobat” atau mengubah jalan pikiran yang mengarah kepada jalan yang benat dan jalannya Tuhan. Namun diakhir ayat 31 ini, Yesus mengatakan “mendahului kamu” yang artinya adalah bahwa para tokoh Yahudi belum tertutup harapannya untuk merasakan kerajaan Sorga, asalkan mereka mau bertobat dan mau merendahkan diri.
Dalam ayat 32 ini, peranan Yohanes pembaptis disinggung, karena ia melakukan tugasnya melalui baptisan pertobatan yang ternyata banyak orang bersama pemungut cukai yang membaptiskan diri dan mengaku/menyesali dosa-dosanya serta betobat.
Yohanes datang dengan “jalan kebenaran”, yang berarti hidup sebagai seorang yang adil, dan hidup dalam kebenaran Allah. Adalah mereka pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal, yang percaya kepada Yohanes; mereka mengaku dosanya dan menerima baptisan Yohanes sebagai materai pengampunan Tuhan, dan mereka memulai suatu kehidupan yang baru (Mat.3). Dulu mereka menentang Allah, tetapi mereka menyesali semua dosa-dosa mereka, sama seperti anak laki-laki yang kedua itu. Namun para pemimpin agama itu puas dengan ucapan-ucapan yang saleh saja, tetapi tidak menghormati Yohanes pembaptis sebagai utusan Allah dan tidak mau dibaptis olehnya. Ada dua hal yang boleh diajarkan perumpaan ini kepada kita yakni: 1.) kata-kata yang bagus dan saleh tanpa perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan ucapan merupakan suatu sikap yang munafik. 2.) orang yang menentang Tuhan dengan  terus terang, kadang-kadang lebih cepat bertobat dari pada orang-orang yang memakai kata-kata yang bagus,




III.             Renungan
Seorang yang disebut sebagai orang Kristen adalah orang yang mengakui Yesus Kristus Jurus’lamat (dapat dikatakan orang yang telah bertobat dan orang yang mengakui kuasa Allah). Banyak orang yang dahulu berbuat jahat atau yang dulunya hidup dalam kegelaan, namun sekarang telah mengenal jalannya Tuhan bahkan firman Tuhan telah menjadi standart dalam hidupnya. Orang yang hidup di dalam Tuhan adalah orang yang mengarahkan hati dan pikirannya hanya kepada Allah. Firman Tuhan menjadi yang menggerakkan hati manusia untuk menyatakan kesalahannya, dan oleh karena Roh Allah manusia saat ini dikuatkan untuk memperbaharui hidupnya sehingga apa yang kita hidupi sekarang ini adalah kehidupan yang dianugerahkan Allah kepada kita.
Manusia menyakini kuasa Allah maka manusia disatukan didalam cinta kasih Tuhan, dan oleh karena firmanNya kita dikembalikan kepada kepercayaan yang menyatakan bahwa Allah yang berkuasa dalam kehidupan ini, bukan ada allah lain. 


[1] Dibawakan dalam sermon Wilayah Jabodetabek, pada tanggal : 08 September 2014, di GKPI Jemaat Khusus Rawalumbu
[2] Matius Septuaginta Bahasa Yunani: Ματθαίος, Matthaios adalah seorang Kristen yang hidup pada abad pertama Masehi dan termasuk dalam keduabelas murid Yesus, yang dicatat dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen. Ayahnya bernama Alfeus, dan ia pernah bekerja sebagai seorang pengumpul pajak di Kapernaum.  
[3] Matius  lebih menggunakan Kerajaan Sorga daripada Kerajaan Allah sebab sifatnya yang lebih ke arah Yahudi. Injil ini memberitahukan  kita bahwa Kerajaan Sorga sudah mendekat dengan kedatangan Yesus. Yesus datang bukan untuk memimpin pasukan pemberontak melawan Roma. Yesus adalah sosok yang lemah lembut dan rendah hari, dan Ia mengatakan bahwa orang yang demikian yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Jalan masuk ke dalam Kerajaan Sorga adalah kasih karunia sebagaimana menurut perumpamaan “Tentang dua orang anak”. Maka dari itu, di sini sangat ditekankan tentang kasih karunia dan bukan karena perbuatan manusia yang begitu berjasa.  Matius menggambarkan bahwa Kerajaan Sorga adalah sesuatu yang sudah ada dan akan datang. Sudah ada saat Yesus datang ke dunia untuk mati dan menebus dosa manusia.  Akan datang yaitu saatØ Anak Manusia datang untuk kedua kalinya. Pada saat inilah akan terjadi waktu menuai dan akhir zaman (Mat.13:30;39) di mana orang yang setia dan tidak setia akan dipisahkan untuk memperoleh kebahagiaan kekal dan hukuman kekal. Yesus banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan untuk mengajar. Namun Matius-lah yang mencatatnya paling banyak dibanding Injil-injil Sinoptis yang lain. Frasa “hal Kerajaan Sorga seumpama …” ditemukan 12 kali dalam Injil Matius.  Menurut Penafsir, perumpamaan itu digunakan oleh Matius sebagai jawaban atas setiap permasalahan yang sedang dihadapi oleh Yesus pada masa pelayananNya.
[4] Dalam bahasa Yunani anak yang pertama itu menyapa bapanya dengan “kurie” yang diterjemahkan dalam terjemahan indonesia LAI kata “bapa”, yang menunjukkan suatu gelar penghormatan

Khotbah Minggu 21 September 2014 Nats : Yunus 3:10-4:11 THEMA :" ALLAH MENGASIHI SEMUA BANGSA"

 Pendahuluan
Yunus, yang namanya berarti “merpati”, diperkenalkan sebagai putra Amitai (Yun 1:1). Ia disebut dalam (2Raj 14:23-25) sebagai 1) nabi kepada kerajaan Utara Israel semasa pemerintahan Yerobeam II (793-753 SM); 2) Ia berasal dari Gat-Hefer, tiga sampai lima kilometer Utara Nazaret di Galilea. Pelayanan nubuatan Yunus terjadi tidak lama sesudah masa pelayanan Elisa (2 Raj 13:14-19), bertumpang tindih dengan masa pelayanan Amos (Am 1:1) dan diikuti oleh pelayanan Hosea (Hos 1:1). Walaupun kitab ini tidak menunjukkan penulisnya, beberapa ahli teolog Perjanjian Lama menyatakan bahwa kita ini ditulis oleh Yunus sendiri, sekitar tahun +760M.
Yunus dipanggil Allah untuk mengingatkan Niniwe tentang hukuman Allah atas kota itu karena dosa-dosa mereka. Niniwe adalah ibukota Asyur, suatu bangsa yang amat fasik, kejam dan dursila (Nah 1:11; 2:12; 3:1,4,16,19). Israel membenci  orang Asyur dan memandang mereka sebagai ancaman besar. Niniwe terletak sekitar 800 KM Timu laut Galilea
kitab ini ditulis dengan tiga tujuan yaitu: 1) untuk menunjukkan kepada Israel dan bangsa-bangsa lainnya betapa besarnya dan luasnya kasih sayang tindakan Allah yang menyelamatkan melalui pemberitaan pertobatan, 2) untuk menunjukkan melalui pengalaman Yunus betapa jauhnya Israel telah jatuh dri panggilan missioner yang semula menjadi terang bagi orang-orang yang tinggal dalam kegelapan; dan 3) untuk memperingatkan Israel yang berpaling dari Allah bahwa Allah dalam kasih kemurahanNya telah mengutus bukan hanya satu tetapi banyak nabi untuk menyampaikan berita pertobatannya agar menghindarkan hukuman dan dosa yang tidak bisa dielakkan. Tetapi berbeda dengan Niniwe, Israel telah menolak nabi-nabi Allah dan tawaranNya untuk bertobat dan menerima kemurahanNya
Penjelasan
I. Kemarahan Yunus atas tindakan Allah yang mengampuni orang-orang Niniwe (3:10-4:5)
          Ketika Yunus pergi ke Niniwe, ia berseru: “40 hari lagi Niniwe akan ditunggangbalikkan!”  Mendengar berita itu orang-orang Niniwe begitu terkejut dan ketakutan.  Itu artinya akan ada malapetaka besar yang akan membinasakan mereka.  Setelah itu, mulai dari rakyat jelata sampai raja Niniwe mulai bepuasa.  Mereka menyatakan mau berbalik dari segala kejahatan mereka.  Para prajurit mungkin berjanji bahwa mereka tidak akan lagi menyiksa tawanan perang dengan sangat kejam.  Atau seluruh rakyat mungkin berjanji bahwa mereka tidak akan lagi menyembah berhala.  Ketika Allah melihat respons mereka, Allah yang penuh kasih itu menunjukkan belas kasihan-Nya.  Allah membatalkan hukuman dan mengampuni dosa mereka. 
          Yunus tidak senang ketika ia melihat pengampunan Allah bagi orang Niniwe.  Dalam hatinya Yunus bertanya-tanya: “Mengapa Yahweh harus mengampuni orang-orang yang jahat itu?  Lalu Yunus merasa kesalsehingga ia marah.  Kemarahan Yunus ini seperti api yang menyala-nyala.
          Kemudian ia berdoa: “Ya TUHAN, aku tahu bahwa Engkau adalah Allah yang pengasih dan penyayang.  Aku tahu bahwa Engkau mengasihi umat-Mu.”  Yunus tahu benar siapa Allah yang ia layani.  Lalu apa masalahnya?  Kemudian Yunus berkata lagi: “Mengapa sekarang Engkau juga menunjukkan kasih-Mu kepada orang-orang Niniwe itu?  Mereka itu tidak pantas dikasihani, seharusnya mereka dihukum karena kejahatan mereka!  Aku tidak ingin melihat mereka diperlakukan sama seperti Engkau memperlakukan umat-Mu.  Kalau begini jadinya, lebih baik aku mati daripada hidup!”
          Setelah itu, Allah kemudian bertanya kepada Yunus: “Layakkah engkau marah?”  Yunus tidak menjawab pertanyaan Allah.  Mungkin Yunus merasa dia berhak marah kepada Allah karena menurutnya Allah telah salah bertindak.  Namun sebenarnya Yunus tidak mempunyai hak untuk marah.  Kalau Yahweh adalah Allah yang pengampun dan Yunus hanyalah hamba-Nya, apa haknya untuk marah terhadap tindakan Allah? 
II. Pelajaran dari Allah bagi Yunus (ay 6-11)
Yunus tidak tahu bahwa Allah, Sang Pencipta sedang mempersiapkan suatu pelajaran bagi dirinya.  Allah akan memakai ciptaannya-Nya supaya Yunus bisa memahami kasih Allah kepada orang Niniwe.  Allah menumbuhkan sebatang pohon jarak di dekat pondoknya.  Yunus terkejut dan sangat gembira melihat ada sebatang pohon jarak yang sangat rindang.  Yunus sudah membayangkan betapa sejuknya ketika ia berada di dalam naungan pohon itu khususnya di siang hari yang sangat panas.
            Keesokan harinya, ternyata ada dua buah kejutan bagi Yunus.  Ketika fajar menyingsing, Allah mengirimkan seekor ulat kecil untuk merusak batang maupun akar pohon itu.  Memang pohon jarak ini tampak kokoh dan sangat rindang.  Namun ternyata pohon ini mudah patah bahkan rusak walaupun oleh kerusakan ringan pada batangnya.  Pada akhirnya daun dan pohon itu layu sebelum matahari terbit. 
Belum hilang rasa terkejut dan kebingungan Yunus, datanglah kejutan berikutnya.  Allah mengirimkan angin timur dari arah gurun.  Angin timur atau sirocco ini terkenal dengan temperatur panasnya yang menyengat.  Sungguh Yunus begitu tersiksa dengan kondisi ini.  Ia menjadi sangat dehidrasi, lemas, dan lesu.  Lalu kemarahanitu berkobar kembali seperti api yang menyala-nyala dalam hati Yunus.  Yunus merasa ia tidak sanggup lagi bertahan hidup.  Ia berharap supaya ia mati saja. 
          Pada saat itu, untuk yang kedua kalinya Allah bertanya “Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?”  Kali ini dengan sisa-sisa kekuatannya Yunus menjawab: “Selayaknyalah aku marah sampai mati.”
            Kemudian Allah berkata kepada Yunus: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula.  Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”
          Saudara, memang Alkitab tidak mencatat apa reaksi Yunus terhadap perkataan Allah ini.  Namun tidaklah berlebihan jika kita menduga bahwa perkataan Allah ini seperti anak panah yang menancap tepat di hati Yunus.  Kalau dirinya saja begitu sayang pada pohon jarak, apalagi Allah, Sang Pencipta tentunya lebih lagi menyayangi ciptaan-Nya.  Rupanya Yahweh tidak hanya mengasihi Israel sebagai umat pilihan-Nya, tetapi Ia juga mengasihi semua manusia dari bangsa manapun.
Saudara, bukankah Yesus juga mengasihi semua orang?  Sesungguhnya, tidak ada seorangpun yang layak untuk dikasihi oleh Tuhan Yesus karena semuanya adalah manusia berdosa.  Namun, Ia datang ke dunia ini untuk mencari orang-orang berdosa (Luk. 5:31-32).  Karena kasih-Nya, Yesus rela mati untuk orang-orang yang sebenarnya tidak layak untuk dikasihi ini.  Justru karena ketidaklayakkan itulah maka Ia menganugerahkan kasih-Nya kepada manusia berdosa.  Allah tidak ingin Yunus terjebak dalam pemahamannya yang salah sehingga Allah menggunakan cara yang tepat untuk mengajari hamba-Nya ini.
Renungan
sering sekali kita manusia membentuk Allah seperti konsep pola pikir kita sebagai manusia. Jika manusia berbuat baik kepada orang yang baik kepadanya, maka “harusnya” Allah juga hanya peduli kepada orang-orang yang memperhatikan orang yang setia kepadaNya. Konsep pikiran manusia membuat manusia gagal memahami eksistensi Allah. Kita mengenal Allah, kita bekerja untuk Allah, kita hidup di rumah Allah tapi kita oleh pikiran kita menjadi tidak mengenal Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih, di mana kasihNya melampaui dosa manusia, sehingga memberi AnakNya yang tunggal untuk manusia, supaya manusia berdosa bisa beroleh keselamatan, tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh3:16-21)
Kasih Allah tidak terbatas, tidak berkesudahan dan tidak pilih kasih. Meskipun kita ingin lebih diutamakan Tuhan dan membatasi  kasihNya kalau boleh menghukum orang yang berbuat jahat pada kita, tapi kasih Alllah tidak dapat dimonopoli. Kalau sebelumnya Allah Israel melihat Allah, sebagai Allah mereka, dan mereka adalah bangsa Allah, Kitab Yunus membuka tabir keuniversalan Allah, bahwa Allah terbuka secara luas bagi semua orang, bahkan kepada orang yang tidak tahu membedakan tangan kanan dan tangan kirinya sekalipun.

kecemburuan, egoisme, dan sombong diri membuat kita lebih hebat dari Allah, sehingga keputusan Allahpun harus sesuai dengan keinginan kita. Maunya, Allah menyesuaikan kehendakNya kedalam kehendak kita, buka kita yang menyesuaikan kehendak kita kepada kehendakNya. Manusia membatasih Allah seukuran dengan pikirannya. sudaut pandang yang berbeda inilah menjadikan kita lebih mencintai pohon jarak dari hidup manusia. Maka sebagai umat pilihan, marilah kita menunjukkan kepedulian kita bagi semua orang (Luk, 18-19), cinta alam, tapi lebih cinta pada manusia. Menjadi umat yang pro-kehidupan.  Amen

Khotbah Minggu, 14 September 2014 Roma 14: 1-12 Thema: "Hidup atau Mati kita Milik Tuhan"

Orang-orang percaya di Roma berselisih paham tentang pantangan-pantangan makanan dan hari-hari khusus. Beberapa diantara mereka berpendapat bahwa makan daging adalah dosa, sehingga mereka hanya makan sayur-sayuran. Yang lain berpendapat bahwa tidak merayakan hari-hari suci Yahudi adalah dosa. Karena itu Paulus menjelaskan bagaimana orang-orang percaya dapat berbeda pendapat tentang hal-hal yang tidak penting kerena itu,
Setelah mengerti konsep tentang kasih yang berkait dengan kebenaran dan kesucian (ay. 8 s/d 14), Paulus mengingatkan agar kita yang sudah mengerti tidak boleh sombong dan merasa diri hebat lalu menghina orang lain. Apa yang Paulus ingatkan ini dipaparkannya pada pasal 14 ayat 1-12. Tiga ayat pertama mengajarkan untuk mengerti pendahuluan tentang perintah jangan menghakimi. Lalu, sembilan ayat sisanya merupakan alasan perintah jangan menghakimi itu.
Di ayat 1, Paulus mengingatkan jemaat Roma, “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.” Kata “lemah iman” diterjemahkan dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Orang yang tidak yakin akan apa yang dipercayainya” Berarti, “lemah iman” identik dengan orang yang tidak yakin akan apa yang dipercayainya. Kepada orang ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma untuk menerima mereka. Apa artinya menerima? Apakah berarti kita tidak peduli dengan kelemahan imannya? Ataukah kita berkompromi iman? Tidak. Kalau kita mengerti konteksnya, ayat ini dan keseluruhan surat Roma tidak ditulis bagi semua orang, tetapi hanya bagi umat Tuhan, sehingga kita mengerti lingkup pembahasan Paulus, yaitu hanya bagi umat pilihan-Nya. Dengan kata lain, di dalam tubuh Kristus, ada anak-anak Tuhan yang (sementara waktu) kurang yakin akan imannya atau lemah imannya, mungkin dikarenakan kurangnya pengertian yang mereka peroleh. Lemahnya iman di sini tentu BUKAN berarti tidak memiliki iman dasar/primer yang penting, tetapi lingkupnya hanyalah iman sekunder bahkan tersier yang kurang penting (baca ayat selanjutnya). Oleh karena itu, Paulus mengajar jemaat Roma untuk menerima orang yang lemah imannya, mengapa? Karena umat Tuhan yang lemah imannya pun tetap adalah umat Tuhan yang perlu dibimbing, bukan dimusuhi. Bukan hanya diterima, Paulus mengatakan bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan pendapat orang-orang yang lemah imannya itu. Apa artinya? Apakah berarti kita masa bodoh terhadap pandangan mereka? Di dalam NIV, pernyataan “mempercakapkan pendapatnya” bisa diterjemahkan memberikan penghakiman atas pendapatnya. Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah, “jangan ke dalam perselisihan-perselisihan pendapat-pendapat.” Dari kedua terjemahan ini, kita bisa mengerti bahwa maksud Paulus bukannya kita cuek dengan pendapat orang yang lemah imannya itu, tetapi kita tidak perlu mempermasalahkannya pendapat orang yang lemah imannya itu sampai ribut dan bertengkar/berselisih.
Mengapa Paulus berkata bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan pendapat tersebut sampai ribut? Karena alasannya jelas, yaitu, hal-hal yang dipermasalahkan adalah hal-hal sekunder yang tidak mutlak (ay. 2). Orang yang terlalu mempermasalahkan hal-hal sepele sampai ribut adalah orang yang kurang dewasa dalam iman. Mengapa? Karena orang itu tidak bisa membedakan mana hal yang primer dan mutlak dengan hal yang sekunder dan tidak mutlak. Bagaimana dengan kita, khususnya kita yang sudah belajar theologi? Banyak dari kita yang sudah mempelajari banyak theologi merasa sombong. Jika ada yang berbeda hal-hal sepele dengan apa yang kita imani, kita langsung marah dan tidak segan-segan, kita mencap mereka yang berbeda sebagai bidat (sesat).
Lalu, orang yang lemah iman seperti apa yang Paulus maksudkan? Di ayat 2, ia menjelaskan, “Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja.” Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan orang yang lemah imannya di dalam ayat ini adalah orang Yahudi yang bertobat. Di dalam tradisinya, orang-orang Yahudi yang berpedoman pada hukum Musa tidak memakan daging binatang (baca: Imamat), meskipun mereka telah menerima Kristus.  Orang Kristen Yahudi yang masih makan sayur dan tidak makan daging tidak membuktikan diri mereka saleh, begitu juga orang Kristen non-Yahudi yang makan segalanya tidak membuktikan diri mereka saleh. Jadi, makan sayur atau tidak bukan kriteria seseorang diselamatkan. Bagaimana dengan kita? Di dalam Kekristenan sendiri, ada beberapa golongan yang memutlakkan hal-hal yang relatif, seperti kasus makanan yang Paulus paparkan ini. Ada beberapa golongan Kristen kontemporer yang memutlakkan baptisan selam. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa orang Kristen yang tidak dibaptis selam tidak masuk sorga. Maka, berbondong-bondonglah orang Kristen yang sudah dibaptis percik lalu dibaptis selam, biar aman (afdhol). Padahal Alkitab TIDAK pernah mengajarkan ajaran tidak bertanggungjawab itu. Baptis hanya satu kali (Ef. 4:5), tidak perlu berulang kali apa pun alasannya! Baptisan selam, percik, atau apa pun adalah hanya sekadar cara upacaranya, yang penting intinya jelas yaitu bukti seseorang masuk ke dalam persekutuan tubuh Kristus. Baptisan selam ataupun percik TIDAK pernah menyelamatkan, yang menyelamatkan adalah Kristus saja!
Di dalam ayat 3, Paulus mengulang kembali peringatannya di ayat 1, “Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.” Paulus mengatakan bahwa bukan hanya kita menerima orang yang lemah imannya saja, tetapi kita harus menerimanya dan tidak perlu menghakiminya, mengapa? 1. Karena Allah telah menerima orang itu/kita. (Ay. 1-3) 2. Allah menjaga milikNya sendiri (Ay. 4) 3. Yesus Kristus adalah Tuhan ( ay. 5-9). 4. Yesus Kristus adalah Hakim (ay. 10-12). 

Penerapan:
Secara tidak sadar kita seringkali menjadi hakim atas orang lain, entah itu dia saudara kita, teman kita, pacar kita, dll. Akan tetapi dalam pembacaan kita di atas, Paulus hendak mengingatkan kita untuk tidak menghakimi saudara kita. Tetapi penghakiman apa yang hendak ditekankan Paulus pada perikop ini? Penghakiman yang dimaksud Rasul Paulus di sini adalah penghakiman kepada orang lain untuk membenarkan diri sendiri.
Rasul Paulus menunjukkan ajaran ini kepada Orang Kristen Yahudi dan Orang Kristen non-Yahudi yang ada di Roma yang sedang mengalami perdebatan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Mereka saling membenarkan diri dan saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Orang Kristen Yahudi masih menjalankan Hukum Taurat [khususnya mengenai makanan yang boleh/tidak boleh dimakan (ayat 2) serta mengenai hari-hari tertentu yang dianggap suci (ayat 5)]. Mereka menganggap orang Kristen non-Yahudi tidak benar karena tidak menjalankan Taurat, dan demikian sebaliknya orang Kristen non-Yahudi mengangap orang yang menjalankan Hukum Taurat itu bersalah. Inilah sikap menghakimi orang lain dan membenarkan diri sendiri.
Dari perikop ini ada 4 poin penting yang bisa kita petik dan kita renungkan bersama:
Paulus mengajarkan supaya kita bisa menghargai perbedaan yang ada di antara kita.
Kita semua yang percaya kepada Kristus adalah milik BAPA di Sorga, hidup atau mati kita milik Tuhan. Setiap kita yang percaya kepada Kristus telah ditebus oleh darah-Nya yang tercurah dari kayu salib.
Semua manusia tanpa terkecuali akan dihakimi dan mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Sang Hakim yang Agung.
Kita percaya setiap kita yang hidup di dunia ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan pengalaman yang berbeda-beda pula. Akan tetapi perbedaan tersebut jangan menjadi batu sandungan bagi kita, sebaliknya perbedaan itu hendaknya kita hargai. Jangan menganggap orang lain yang berbeda dengan kita salah atau tidak layak untuk bergaul dengan kita. Itu adalah pemahaman yang salah dan tidak dibenarkan di hadapan TUHAN. Kita percaya bahwa kita semua adalah ciptaan TUHAN, baik orang lemah maupun orang kuat, baik kaya maupun miskin, itu semuanya berasal dari TUHAN. Untuk itu hargailah orang yang berbeda dengan kita.
Ilustrasi:
Ada suami istri yang sudah lama menikah dan belum dikarunia anak. Suatu ketika sang suami merasa ada sesuatu yang aneh yang terjadi dalam keluarganya, sebab setiap kali dia menanyakan sesuatu kepada istrinya, menurut dia istrinya tidak menjawab apa-apa meskipun sebenarnya istrinya menjawab setiap apa yang ditanyakan oleh suaminya. Sang suami suatu waktu mendatangi dokter spesialis telinga dan memberitahukan apa yang sedang dia alami. Dia menceritakan kepada dokter tersebut bahwa istrinya seringkali tidak menjawab ketika ditanyakan sesuatu hal dan dia menganggap bahwa istrinya tuli. Dia menanyakan kepada dokter solusi apa yang tepat untuk menangani penyakit sang istri. Dokter kemudian memberi solusi kepada sang suami bahwa untuk memastikan sang istri tuli apa tidak sang suami harus bertanya pada jarak tertentu, yaitu pada jarak 10 meter, 5 meter dan 1 meter. Sang suami pulang dan melakukan tips yang diberikan oleh dokter tersebut. Sesampainya di rumah sang suami bertanya kepada istrinya sesuai tips yang diberikan oleh dokter tersebut:
Suami            : Ma…mama lagi ngapaen? (jarak 10 meter)
Istri               : lagi masak nasi Pa (sang suami tidak mendengar)
Suami            : Ma…mama lagi ngapaen? (jarak 5 meter)
Istri               : lagi masak nasi Pa (sang suami tidak juga mendengar)
Suami            : Ma…mama lagi ngapaen (Dengan suara keras)? (jarak 1 meter)
Istri               : Sudah 3 kali saya katakan saya lagi masak nasi Paa…..(dengan suara keras)
Teryata yang ada masalah dengan pendengaran bukan sang istri melainkan sang suami.
Dari ilustrasi di atas kita bisa belajar bahwa jangan cepat menghakimi orang lain salah, dan menganggap diri benar. Jangan-jangan kita yang salah dan orang lain yang kita anggap salah itu memang benar. Untuk itu kita harus belajar untuk mengoreksi diri dulu sebelum mengoreksi diri orang lain. Amen, dari berbagai sumber.


Rabu, 03 September 2014

Khotbah Minggu 07 Sep 2014 Yehezkiel 33:7-11 Thema: "Diutus Untuk Memberitakan Pertobatan"


 Kebanyakan orang kalau diingatkan akan kesalahannya tidak akan mau, apalagi yang mengingatkan itu adalah seorang yang lebih muda atau seorang yang lebih rendah kedudukannya dalam lembaga atau dalam sistem masyarakat. Bisa-bisa orang yang mengingatkan kesalahan orang lain itu akan dibenci atau dimusuhi. Contoh: Ada seorang pemuda gereja yang protes terhadap kinerja majelis gerejanya yang kurang memperhatikan Komisi Pemuda, dalam suatu kesempatan pemuda itu menyampaikan keluhannya dan mengingatkan kepada majelis bahwa para pemuda juga adalah warga gereja yang harus diperhatikan, para pemuda juga merupakan warga gereja yang memiliki hak dan tanggungjawab yang sama dengan warga gereja yang lain. Tetapi apa yang pemuda ini dapatkan, bukanlah suatu ucapan terimakasih maupun jawaban yang memuaskan, tetapi sebuah statement yang mengecewakan. “Anak muda kok crewet, sudah tahu, apakah kalian tidak tahu bahwa pekerjaan majelis banyak.” Akibatnya si pemuda tadi jarang dilibatkan dalam kegiatan gereja, karena takut banyak bicara dan dianggap crewet. Tetapi inilah yang terjadi bahwa sebenarnya manusia itu memiliki kecenderungan tidak mau diingatkan oleh orang lain.
Di sisi lain pada jaman sekarang ini banyak juga orang yang enggan mengingatkan kesalahan orang lain; acuh-tak-acuh; bukan urusan saya; yang penting saya aman, saya tidak salah, dsb, atau karena takut mengingatkan, budaya ewuh-pekewuh (segan). Contoh: Ada seorang warga gereja yang menjadi pejabat pemerintah, orang ini baik hati, suka menolong orang lain, ramah, rajin ke gereja. Tetapi orang ini juga terkenal sebagai pejabat yang korup. Pada suatu waktu orang ini akan menyumbang kepada gereja untuk pembangunan gedung. Apa sikap gereja terhadap orang ini? Di satu sisi orang tersebut adalah koruptor, tentu saja kekayaannya juga berasal dari hasil korupsinya dan itu adalah dosa. Dan kalau gereja mau menerima uang itu berarti gereja memaklumi akan tindakan korupsi, bisa dikatakan sebagai money laundry. Sedangkan ketika gereja mau menolak dan mengingatkan orang itu, majelis merasa segan dan takut karena ia pejabat tinggi. Di sisi lain gereja juga membutuhkan banyak uang untuk pembangunan. Lalu apa yang harus dilakukan oleh gereja?
Jemaat yang terkasih di dalam Tuhan,
Nats Firman dari  Yehezkiel 33:7-11 mengingatkan akan tugas panggilan kita sebagai hamba-hamba Tuhan untuk mengingatkan saudara-saudara kita yang hidup di dalam dosa supaya kembali bertobat. Dalam bacaan ini Yehezkiel diberi tugas oleh Allah untuk menjaga umat Israel dari kejatuhan dalam dosa dan ketidaktaatan. Ia diperintahkan untuk memperingatkan umat Israel yang berbuat jahat supaya bertobat, dan ketika mereka tidak bertobat mereka akan mati, tetapi ketika umat Israel berbuat jahat dan Yehezkiel tidak memperingatkan mereka sehingga mereka tidak bertobat, maka orang jahat itu akan mati dan Yehezkiel pun dimintai pertanggungan jawab atas kematian itu.
Dari sini kita belajar bahwa kita sebagai umat Allah supaya saling menjaga, yaitu dengan saling mengingatkan. Kalau ada saudara kita yang berbuat salah, berbuat dosa, menjauh dari kehidupan dengan Tuhan, maka sudah menjadi kewajiban kita saudara seiman untuk mengingatkannya. Tentu dalam kapasitas sebagai manusia biasa yang tidak terluput dari kesalahan juga, artinya kita pun bisa jatuh dalam kesalahan dan dosa yang sama. Dan bukan berarti juga seorang yang mengingatkan memiliki kedudukan yang lebih tinggi, atau lebih suci. Oleh sebab itu dalam kita mengingatkan orang yang berdosa itu bukan dalam rangka menghakimi mereka, tetapi menyelamatkan mereka, yaitu supaya mereka terbebas dari penghukuman karena dosa-dosa mereka  sebab  Tuhan berkata:
“Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup”. Ini adalah Firman Tuhan bagi umatNya yang hidup dalam dosa. Tuhan menetapkan Yehezkiel menjadi penjaga umat Israel, yaitu memperingatkan mereka agar berpaling dari dosa untuk menerima keselamatan dari Allah.
Pertobatan menjadi pintu keselamatan bagi umatNya yang masih hidup dalam keberdosaan, karena Tuhan tidak begitu saja melupakan umatNya yang walaupun hati mereka telah berpaling dari Tuhan. Seruan pertobatan tidak lain adalah kasih Allah yang begitu besar kepada umatNya, betapapun besar dosa umatNya namun keselamatan terbuka bagi mereka. Ini menjadi tugas Yehezkiel untuk memastikan bahwa semua umat Israel menerima peringatan ini. Dalam seruan pertobatan kita dapat melihat betapa besar kasih Allah kepada umatNya, supaya umatNya tidak binasa dalam keberdosaanNya.
 Demikianlah kita juga setiap orang yang telah percaya kepada Kristus, kita menerima kasih Allah yang besar melalui pengorbanNya di kayu salib, telah membuka bagi kita keselamatan Tuhan.
Melalui nas ini kita akan memasuki lebih dalam lagi makna kasih Allah yang dicurahkanNya kepada kita orang-orang percaya, seperti perintah Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39). Jika kita telah menerima kasih Tuhan, maka orang lain juga memerlukan kasih Tuhan agar kita sama-sama diselamatkan. Kasih itu tidak egois yang hanya memikirkan keselamatan diri sendiri tetapi keselamatan orang lain.
Tuhan mencurahkan kasihNya yang besar bagi kita supaya kita juga dapat mengasihi sesama kita. Sehingga bagaimana mungkin kita hanya memikirkan keselamatan diri sendiri tanpa perduli keselamatan orang lain. Kasih Allah yang perduli kepada kita orang yang berdosa haruslah kita nyatakan dalam kehidupan kita, supaya kita juga menyatakan kasih kita bagi mereka yang masih hidup dalam dosa yakni bagi mereka yang langkah-langkah kehidupannya masih jauh dari perintah Tuhan. Tuhan Yesus mengajarkan bagi kita dalam Lukas 17:3 “Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia dan jikalau ia menyesal ampunilah dia”. Ini adalah perintah Tuhan Yesus yang harus kita nyatakan dalam kehidupan kita ketika kita mendapati bahwa ada saudara kita yang hidupnya telah menjauh dari perintah Tuhan.
Sehingga makna kasih jauh lebih dalam lagi yang tidak sekedar mematahkan sikap negatif dan mencurahkan sikap yang positif bagi orang lain, sebab jauh lebih dari itu bahwa Tuhan memakai hidup kita menjadi “penjaga” saudara kita agar tidak menjauh dari perintah Tuhan. Seperti halnya Yehezkiel yang ditugaskan oleh Allah memberitakan keselamatan bagi orang yang berdosa, demikian halnya kepada kita diberi tugas untuk senantiasa menegor saudara kita jika jalan hidupnya telah jauh dari Tuhan. Dalam Galatia 6:1 Paulus menyampaikan:
“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus MEMIMPIN ORANG ITU KE JALAN YANG BENAR dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan”.
Tuhan menuntut kasih kita nyata bagi orang lain. Supaya kita jangan justru senang melihat orang jatuh ke dalam dosa dan merasa diri lebih benar dari orang lain. Namun baiklah kita dapat saling menolong dalam kelemahan saudara-saudara kita. Sehingga kita memiliki tanggungjawab untuk menegur saudara kita yang melakukan dosa, bukan sebaliknya menjadi bahan pembicaraan (gosip) yang tidak membangun kerohanian satu dengan yang lain. Teguran itu adalah karena kasih kita kepada saudara kita bukan sebaliknya dengan sengaja menyampaikan teguran justru adalah karena wajud kebencian dan kemarahan untuk menjatuhkan seseorang.
Ada beberapa kendala yang mungkin akan kita hadapi ketika memberikan teguran kepada saudara kita yang melakukan dosa:
Takut menegur karena dapat menyebabkan kesalahpahaman yang membuat hubungan kita tidak baik dengannya.
Perbuatan dosa yang dilakukannya adalah tanggungjawabnya sendiri dan bukan tanggungjawab kita
Kita tidak tahu bagaimana caranya untuk menegur dengan baik
Kita merasa percuma memberikan teguran, karena tetap saja tidak akan ada pengaruhnya
Ada status dalam sosial maupun adat yang mungkin membuat kita sulit memberikan teguran
Untuk menyampaikan teguran maupun peringatan memang memiliki seni tersendiri, bagaimana kita dapat memasuki kehidupan seseorang dengan tata krama yang sopan dan santun yang dilandasi oleh kasih. Yang pasti bahwa kita mesti memiliki keperdulian terhadap sesama, ada motivasi dalam diri ingin menyatakan kasih kepada sesama kita. Sehingga kita membangun persekutuan yang saling menopang dan membangun di dalam kebenaran Tuhan. Dengan demikian Tuhan perintahkan kita bukan untuk saling menghakimi, justru sebaliknya untuk saling menolong dan mendoakan untuk hidup bersama di dalam kebenaran dan kasih Tuhan.
Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik
Ibrani 10:24. Amen