Senin, 17 Januari 2011

"YAKOBUS 1: 22-27"



I) Mendengar Firman.

1) Yang dimaksud dengan mendengar, adalah mendengar Firman.

Orang kristen harus membedakan antara khotbah dan Firman, karena pada jaman sekarang ada banyak sekali khotbah yang hanya dipenuhi dengan lelucon, kesaksian, cerita dsb, dan sama sekali tidak menjelaskan Firman! Juga banyak khotbah yang sama sekali tidak didasarkan atas Firman, tetapi hanya didasarkan atas illustrasi, pengalaman dsb. Khotbah yang semacam itu tentu bukan Firman Tuhan!

2) Pada waktu mendengar Firman, kita harus mau mendengar teguran.

Memang Firman bisa menghibur kita pada waktu mengalami kesu¬karan / penderitaan, tetapi Firman juga berfungsi untuk menyatakan kesalahan / menegur (bdk. 2Tim 3:16). Ini penting untuk orang kafir maupun untuk orang kristen. Untuk orang kafir, supaya setelah ia sadar dosa, ia mau datang kepada Kristus; untuk orang kristen, supaya setelah sadar dosa ia bisa mengaku dosa dan menguduskan diri.

Dari ay 23-24 bisa kita dapatkan bahwa Firman digambarkan sebagai cermin. Sebagaimana cermin bisa menunjukkan kejelekan wajah kita supaya bisa kita perbaiki, demikian juga Firman bisa menunjukkan dosa / kesalahan kita supaya bisa kita perbaiki. Dan kalau kita mau membiarkan diri kita ditegur olah Firman maka Firman itu bukan hanya akan menegur, tetapi juga membebaskan kita dari dosa. Karena itulah maka ay 25 menyebut Firman sebagai ‘hukum yang memerdekakan’.

Cermin ada yang tidak terlalu rata, sehingga menunjukkan kesalahan yang seharusnya tidak ada dalam diri kita. Tetapi Firman disebut sebagai ‘hukum yang sempurna’ (ay 25), karena tidak ada salahnya! Karena itu, kalau hidup kita tidak sesuai dengan Firman, maka yang salah pasti adalah hidup kita!

3) Kita harus mau mendengar Firman yang rumit / sukar.

Firman itu amat dalam, dan sukar. Kalau kita hanya mau bela¬jar yang mudah, dan kita tidak mau mempelajari secara teliti dan mendalam, maka kita hanya akan mendapat kulitnya saja!

Karena itu kita harus mau belajar secara mendalam. Ini ditun¬jukkan oleh kata ‘meneliti’ dalam ay 25.

Illustrasi:

Kalau kita hanya mau mendapatkan batu yang tidak terlalu ber¬harga, kerikil dsb, maka kita tidak perlu bersusah payah. Tetapi kalau kita mau mendapatkan batu yang berharga, seperti intan dsb, maka kita harus menggali! Demikian juga kalau saudara tidak mau bersusah payah dalam belajar Firman, maka yang saudara dapatkan hanyalah ‘kerikil’, tetapi kalau sauda¬ra mau bersusah payah dalam menggali Firman, saudara akan mendapatkan ‘intan’!

4) Kita harus mendengar Firman dengan tekun (ay 25).

Orang yang betul-betul percaya kepada Kristus, pasti tekun dalam mendengar / belajar Firman Tuhan (Yoh 8:31 2Yoh 9).

2Pet 2:21 mengatakan bahwa lebih baik tidak pernah tahu kebenaran, dari pada setelah tahu lalu berbalik dari kebenaran itu.

Amsal 19:27 (NIV) - “Stop listening to instruction, my son, and you will stray from the words of knowledge” (= Berhenti¬lah mendengar instruksi, anakku, dan engkau akan menyimpang / tersesat dari kata-kata pengetahuan). Bdk. Amsal 21:16.

Karena itu jangan pernah berpikir bahwa setelah sekian lama belajar Firman, maka saudara sudah mempunyai cukup penger¬tian, dan saudara lalu tidak merasa perlu untuk belajar lebih banyak. Amsal 19:27 itu menjamin saudara akan tersesat kalau saudara melakukan hal seperti itu!

Penerapan:

• • apakah saudara tekun dalam belajar Firman Tuhan dalam kebaktian / Pemahaman Alkitab?

• • apakah saudara tekun dalam bersaat teduh / membaca Firman Tuhan setiap hari?

Kalau kita sudah melakukan 4 hal tersebut di atas, maka ada 2 hal lagi yang harus kita lakukan:

a) Kita harus mengingat Firman Tuhan (ay 25 - ‘tidak melupakannya’).

Penerapan:

• • apakah saudara berusaha menghafalkan ayat-ayat Kitab Suci yang penting?

• • apakah saudara mempelajari makalah-makalah yang diberikan dalam Kebaktian / Pemahaman Alkitab untuk lebih bisa mengingat Firman Tuhan?

b) Kita harus mentaati Firman Tuhan.

II) Mentaati Firman.

Pada waktu Yesus memberikan khotbah di bukit (Mat 5-7), maka setelah mengajarkan banyak hal mulai Mat 5:3 sampai Mat 7:23, Yesus menutup khotbah di bukit itu dengan suatu perumpamaan yang menekankan pentingnya ketaatan (Mat 7:24-27). Ini menun¬jukkan bahwa setiap Firman harus ditanggapi dengan ketaatan.

Mengapa kita harus taat?

1) Orang yang tidak taat adalah orang yang menipu dirinya sendiri (ay 22).

Kata ‘menipu’ dalam ay 22 ini sebetulnya berarti ‘menipu dengan argumentasi’.

a) Orang yang tidak taat sering mempunyai argumentasi untuk membenarkan diri.

Ada seorang yang mengatakan bahwa kalau seseorang berbuat dosa, seringkali dalam diri / pikiran orang itu lalu ada suatu ‘persidangan’. Dalam sidang itu ada terdakwa (yaitu orang itu sendiri), dan juga ada jaksa / penuntut (yang tentu saja adalah diri orang itu sendiri), yang menunjuk¬kan kesalahan orang itu. Lalu ada pembela (yang tentu saja juga adalah orang itu sendiri) yang lalu mengajukan pembe¬laan / alasan mengapa orang itu melakukan hal tersebut. Setelah perdebatan beberapa waktu, maka akhirnya hakim memutuskan perkara itu. Tetapi karena hakim itu juga adalah orang itu sendiri, maka biasanya diputuskan bahwa terdakwa ‘tidak bersalah’.

Ini merupakan tindakan menipu diri sendiri!

b) Menipu diri sendiri juga bisa terjadi dengan berkata: yang penting saya mau dengar / belajar Firman Tuhan. Tetapi perlu saudara ingat bahwa Tuhan ingin saudara belajar / mendengar Firman supaya saudara mentaati Firman itu!

2) Mendengar tanpa taat tidak ada gunanya (ay 23-24).

Ay 23-24 ini menggambarkan orang yang mendengar tanpa taat sebagai orang yang setelah melihat dirinya dalam cermin, tidak melakukan apa-apa untuk membetulkan apa yang salah di wajahnya. Lalu apa gunanya ia melihat pada cermin?

Kata ‘seorang’ dalam ay 23 sebetulnya adalah ‘a man’ (= seorang laki-laki). Mungkin sekali sengaja diambil orang laki-laki dan bukannya orang perempuan, karena orang perem¬puan pasti tidak akan bercermin dengan cara seperti itu.

Illustrasi:

Pada waktu saya sekolah Theologia, saya mempunyai seorang teman dari Taiwan yang selalu pergi kemana-mana dengan rambut yang awut-awutan / tanpa disisir. Kalau dinasehati supaya lebih merapikan rambutnya, ia berkata: ‘Yang menderita kan orang yang melihat saya. Saya sendiri tidak menderita dengan rambut seperti ini!’. Saudara mungkin menganggap dia sebagai orang gila, tetapi Kitab Suci di sini mengatakan bahwa kalau saudara hanya mendengar tetapi tidak melakukan Firman Tuhan, saudara sama dengan teman saya itu!

3) Karena mendengar tanpa taat bukan hanya tidak berguna, tetapi bahkan merugikan, karena akan mengakibatkan hukuman yang lebih hebat (Luk 12:47-48).

III) Contoh ketaatan (ay 26-27).

Kalau dilihat sepintas maka ay 26-27 ini kelihatannya tidak ada hubungannya dengan ay 22-25. Tetapi sebetulnya ada hubungannya karena dalam ay 26-27 ini, Yakobus memberikan contoh-contoh ketaatan:

1) Mengekang lidah (ay 26).

a) Ini menunjukkan bahwa kita tak boleh melakukan sesuatu yang negatif terhadap sesama kita.

b) Banyak dosa yang disebabkan oleh penggunaan yang salah dari lidah, seperti: dusta, sumpah palsu / sembarangan, kutuk, caci maki / omongan kotor / cabul, fitnah, gossip, menggunakan nama Allah dengan sia-sia, menggerutu / ngomel, berbicara secara munafik / menjilat, dsb.

c) Berdasarkan Mat 15:18 maka jelaslah bahwa berdasarkan kata-katanya kita bisa mengetahui hatinya. Kalau kata-katanya kotor / cabul, tidak mungkin hatinya baik!

d) Renungkan: bagaimana saudara menggunakan lidah saudara?

2) Mengunjungi yatim piatu dan janda-janda (ay 27).

a) Kalau tadi dalam ay 26 ditekankan bahwa kita tidak boleh melakukan sesuatu yang negatif terhadap sesama kita, maka sekarang dalam ay 27 ditekankan bahwa kita harus melaku¬kan sesuatu yang positif terhadap sesama kita!

Tidak cukup kalau saudara hanya tidak berbuat jahat kepada orang lain; saudara juga harus berbuat baik kepada orang lain!

b) ‘Yatim piatu dan janda’ di sini mewakili semua orang yang miskin / menderita dan yang membutuhkan pertolongan / kasih / penghiburan kita. Gampang untuk menolong orang yang kaya, karena bisa mendapatkan balasan, tetapi bagai¬mana dengan menolong orang miskin yang sama sekali tidak bisa membalas kebaikan kita?

c) ‘Mengunjungi’ mencakup juga menghibur, mendoakan, meno¬long semampu kita.

3) Menjaga supaya diri sendiri tidak dicemarkan oleh dunia (ay 27b).

a) Ini menunjukkan bahwa dunia mudah sekali mencemari kita, karena kalau tidak, untuk apa kita harus berhati-hati?

b) Ada orang yang menjaga dirinya supaya tidak tercemar dengan cara mengucilkan diri / hanya mau bergaul dengan orang kristen yang rohani. Ini adalah sesuatu yang salah! Tetapi memang bergaul tanpa batas juga adalah sesuatu yang salah (bdk. 1Kor 15:33). Jadi harus ada batasan-batasan tertentu, tetapi tidak boleh sama sekali tidak bergaul dengan dunia (bdk. Mat 5:13,16 Mat 10:16 Yoh 17:15).

c) Kita harus relah berkorban dalam melakukan penyucian diri itu.

Illustrasi:

Ada sejenis binatang yang berwarna putih bersih, dan terkenal sangat membenci kekotoran. Kalau pemburu mau menangkap binatang ini, yang mula-mula ia lakukan adalah mencari sarangnya lalu mengotorinya. Setelah itu ia mencari binatang itu dengan menggunakan anjing. Pada waktu binatang itu dikejar anjing, ia lari ke sarangnya. Tetapi waktu menjumpai sarangnya kotor, ia tidak mau masuk. Ia lebih baik mati dicabik-cabik oleh anjing dari pada membiarkan dirinya dikotori oleh kotoran yang ada di sarangnya.

Sampai dimana pengorbanan yang mau saudara lakukan untuk menjaga kebersihan / kesucian hidup sauda¬ra? Relakah saudara mati demi menjaga kesucian hidup saudara?
Penutup / kesimpulan:

Kita harus mendengar Firman dan taat pada Firman Tuhan! Kalau kita melakukan ini, maka kita akan berbahagia (ay 25), tetapi kalau tidak, kita akan menanggung akibatnya (bdk. Amsal 13:13)!
Maukah saudara mendengar dan taat pada Firman Tuhan?

-AMIN-

"MAKNA BULAN KELUARGA"


Apa Makna Bulan Keluarga...?
Rumah adalah tempat kita bertumbuh. Rumah adalah sekolah utama di mana seorang manusia menjadi manusia. Di situ kita dibentuk untuk mengenal apa itu kasih, kebenaran, dan keadilan. Di situ juga kita mengenal kebencian, kebohongan, dan ketidakadilan. Selain menjadi tempat bertumbuh, rumah juga merupakan tempat berteduh. Di situ kita mendapatkan rasa aman dari ancaman dan tantangan dunia. Memang, tidak ada tempat lain di dunia ini seperti rumah kita. Bagi orang percaya, rumah adalah tempat di mana Allah hadir untuk membentuk kita. Di sana Allah menyatakan kasih dan berkat-Nya. Di dalam kasih dan berkat Tuhan tersebut terdapat didikan dan teguran-Nya.
Kesadaran akan tanggungjawab manusia sebagai perpanjangan tangan Allah dalam pembentukan tatanan dunia yang teratur, damai dan sejahtera menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan dunia ini. Bahkan, itulah yang seharusnya menjadi titik berangkat pembentukan keluarga Kristen. Setiap keluarga Kristen dibangun dari pribadi yang bertanggungjawab kepada Allah sebagai alat pembentukan tatanan dunia (keluarga) yang teratur, damai dan sejahtera. Kesadaran yang demikian akan membentuk anggota keluarga yang juga bertanggungjawab terhadap anggota keluarga lainnya sebagai bagian dari dunia ciptaan Allah. Anggota keluarga yang memberi apresiasi terhadap pemahaman yang demikian niscaya akan memandang setiap anggota keluarga sebagai pribadi yang harus dihormati dan dibahagiakan. Dan itu dinyatakan atas kesadaran dan tanggungjawabnya sebagai ciptaan Allah yang istimewa.
Tanggungjawab tersebut dimulai melalui tanggungjawab pribadi yang dijalankan oleh setiap pribadi, kemudian oleh pasangan suami istri, serta bagaimana keluarga mampu membangun keluarga dalam iman kepada Tuhan lewat didikan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya, sehingga pada akhirnya keluarga akan menjalankan tanggungjawabnya di masyarakat dengan bekal dan didikan yang didapatkan melalui persekutuan dalam keluarga.
Mengapa Gereja Mencanangkan Bulan Keluarga?
Mari kita melihat sejenak sejarah perkembangan kekristenan. Tentu kita ingat bahwa bahwa gereja perdana bermula dari sebuah perkumpulan rumah tangga. Pada waktu itu belum ada gedung gereja. Orang berkumpul di rumah-rumah, maka disebut pula jemaat rumah (lihat Roma 16:5). Rumah bukan hanya tempat untuk berkumpul, tapi dalam rumah itu ada keluarga yang membentuk persekutuan berdoa dan belajar. Siapa yang hadir? Selain tuan rumah, hadir pula orang-orang yang bekerja di rumah itu, para tetangga dan sanak keluarga lainnya. Intinya adalah keluarga itu sendiri yaitu orang tua dan anak-anak mereka. Siapa yang memimpin dan mengajar persekutuan itu? Ayah dalam keluarga itulah yang memimpin. Hal ini meneruskan kebiasaan keluarga Yahudi dimana seorang ayah memberikan pendidikan iman kepada anak-anaknya.
Pada waktu itu belum ada kelas katekisasi seperti yang kita kenal sekarang. Keluargalah yang menjadi kelas katekisasi. Anak-anak belajar katekisasi di rumah mereka. Gurunya adalah ayah dan ibu mereka sendiri. Kehidupan keluarga sehari-hari dijadikan kelas katekisasi. Dengan demikian ayah dan ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan iman. Ayah dan ibu menjadi “guru dan pendeta” bagi anak-anaknya. Keluarga menjadi wadah utama pendidikan agama. Persekutuan keluarga tersebut juga menjadi wadah bagi orang-orang yang belum Kristen untuk mengenal pokok-pokok dasar ajaran Kristen. Dengan demikian keluarga menjadi sebuah gereja kecil.
Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa keluarga memiliki peran penting dalam kehidupan gereja. Kekristenan berkembang mulai dari gereja dalam keluarga. Dalam rangka mengingatkan kembali betapa pentingnya kehidupan keluarga dalam perkembangan gereja, maka diadakanlah masa penghayatan khusus yang disebut bulan keluarga.
Bagaimanakah Identitas Keluarga sebagai “Gereja Kecil”?
Sama seperti hakikat gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, demikian pulalah hakikat keluarga sebagai sebuah gereja kecil. Dalam penghayatan sebagai gereja kecil, keluarga Kristen seharusnya memiliki identitas sebagai berikuit:
a. Melakukan Kehendak Allah
Keluarga sebagai gereja kecil memiliki identitas melakukan kehendak Allah, yaitu dengan mendengarkan Firman Allah dan melakukannya. Identitas keluarga yang melakukan kehendak Allah penting untuk dihayati, teristimewa dalam menyikapi perubahan-perubahan jaman. Firman Allah menjadi dasar dalam menyikapi pelbagai tuntutan perubahan. Dalam rangka melakukan kehendak ALLAH, keluarga perlu membangun kedekatan relasi dengan TUHAN dan sesama.
Keluarga yang melakukan kehendak Allah juga bisa dilihat perwujudannya antara lain dalam komunikasi satu dengan yang lain serta solidaritas. Jika dalam keluarga tidak terjadi komunikasi yang baik, biasanya akan mudah muncul kesalahpahaman, saling mencurigai dan tidak mempercayai hingga terjadilah konflik yang berkepanjangan. Dengan demikian keluarga sebagai gereja kecil yang melakukan kehendak Allah perlu menerjemahkan kehendak Allah dalam komunikasi yang penuh kasih dan membangun, sehingga tercipta suasana hidup bersama yang akrab dan rukun. Dengan hidup dalam kehendak Allah, maka tiap anggota dapat saling memahami dan menghargai. Satu dengan yang lain akan dapat merendahkan hati, menempatkan kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingannya sendiri, sehingga semakin hari semakin menyerupai kehidupan Kristus (Filipi 2:1-8).
Dalam rangka melakukan kehendak Allah, maka penting pula keluarga membangun solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas itu tampak dalam segala peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan. Solidaritas terungkap antara lain dalam sikap empati dan murah hati. Hal ini bukan saja merupakan sikap kepada sesama anggota keluarga tapi juga berkembang dalam solidaritas kepada semua orang dalam rangka membangun persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati adalah wujud pelaksanaan perintah mengasihi Tuhan dan sesama (Matius 22:34-40).
Keluarga Kristen yang otentik adalah keluarga yang membuka diri dengan penuh cinta kasih dan komitmen baik kepada masyarakat maupun gereja. Dengan demikian, kehangatan kasih dan persaudaraan bukan hanya untuk anggota keluarga tapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Ini berarti keluarga tidak membangun persekutuan yang eksklusif tapi sebuah persekutuan yang inklusif. Dalam hal ini keluarga terbuka untuk siapa saja yang ingin melakukan kehendak Allah. Keterbukaan mau menerima dan menghargai siapa saja terwujud pula dalam penerimaan, penghargaan bahkan dialog dan kerjasama dengan keluarga-keluarga lain yang ada di masyarakat yang memiliki itikad baik untuk melakukan kehendak Allah dalam membangun dunia atau masyarakat menuju masa depan yang lebih baik, penuh damai dan sejahtera.
b. Berkumpul dan Menyebar
Dalam melakukan kehendak Allah, keluarga berada di tengah masyarakat yang sedang mengalami gejolak perubahan jaman yang pesat. Perubahan-perubahan jaman ini dapat digambarkan seperti persekutuan para murid yang berkumpul sebagai satu keluarga bersama Yesus. Dalam persekutuan itu para murid menikmati kedamaian dan kenyamanan hidup dekat dengan Sang Guru namun sewaktu-waktu juga menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan bahkan ada saatnya mereka harus meninggalkan kenyamanan persekutuan untuk menyebar dalam karya melakukan perintah Sang Guru (Matius 10:5-15). Mereka diutus untuk masuk dalam kehidupan masyarakat, mem¬beritakan kerajaan Sorga yang membawa kesembuhan, kebangkitan, pemulihan dan kedamaian. Mereka diutus untuk berkarya dalam masyarakat yang sedang menghadapi pelbagai persoalan. Mereka mengalami banyak tantangan dan kesulitan bahkan penolakan di perjalanan, namun tak menghentikan karya membawa kabar baik bagi dunia dan melayani orang lain.
Dalam gambaran kehidupan para murid ini ada dinamika kehidupan yang berkumpul dan menyebar. Hal ini memberikan inspirasi pada dinamika kehidupan keluarga yang berkumpul dan menyebar di dunia. Dalam panggilannya untuk melakukan kehendak Allah, keluarga dipanggil untuk bersekutu dengan Allah namun juga siap menyebar menjadi pelayan masyarakat, menunjukkan kasihnya pada sesama, menjadi garam dan terang dunia (Matius 22:37-39).
c. Solider Pada Yang Lemah
Keluarga tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab untuk hidup solider terhadap mereka yang lemah. Solidaritas bukan hanya bagi anggota keluarga yang lemah tapi juga semua kaum lemah di tengah masyarakat. Inilah keluarga yang menyatu dengan sesama. Kalau kita melihat kehidupan Yesus Kristus, maka kita melihat bahwa Kristus senantiasa memberikan perhatian dan pelayanannya pada mereka yang lemah.
Penghayatan identitas keluarga sebagai gereja kecil mestinya menyatu dalam kehidupan keluarga Kristen. Dalam bulan keluarga, kita diingatkan akan hal itu. Jadi penghayatan mendasar dalam bulan keluarga sebenarnya bukanlah sekedar senang membuat atau mengikuti rangkaian acara lomba, seminar dan bazar melainkan bagaimana gereja memampukan keluarga-keluarga Kristen hidup sebagai gereja kecil atau sebaliknya bagaimana keluarga menghayati hakikatnya sebagai gereja kecil. Acara-acara yang diadakan dalam bulan keluarga mestinya memberikan semangat baru bagi kita untuk membangun keluarga menjadi persekutuan gereja yang hidup.
Jika keluarga kita terbangun dengan baik, maka gereja pun akan maju dengan pesat serta menjadi berkat bagi masyarakat. Itulah hubungan yang erat antara keluarga dan gereja. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga besar.
Ketika bulan keluarga telah berlalu, masihkah Anda bersemangat membangun keluarga yang menyatu dengan TUHAN dan sesama?

Rabu, 05 Januari 2011

"Khotbah Minggu Advend"

“TUHAN AKAN DATANG
PERSIAPKANLAH JALAN BAGINYA”
Lukas 21:7-13
Bacaan:Jes 45:22-24


Tahun gereja merupakan suatu barisan yang teratur dari hari raya dan hari minggu yang tiap-tiap tahun berulang kembali.
Tahun gereja itu ditentukan oleh tiga hari raya yang terpenting di kalangan orang Kristen yaitu:
1. Hari Kelahiran Tuhan Yesus Kristus
2. Hari Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus
3. Hari Pentakosta atau turunnya Roh Kudus.

Tahun gereja tidak sama dengan tahun Negara yang memulai dari 1 Januari, tetapi tahun gereja dimulai dengan Minggu “Advent” yang pertama. Advent artinya “persiapan akan kedatangan”, empat minggu berturut-turut dipergunakan untuk menyiapkan Hari Kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Jadi Advent adalah masa persiapan menyambut datangnya Kristus, yang mempunyai dua makna: Pertama, Sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus dan kedua, sebagai penantian kedatangan-Nya kembali.
Kita diajak menghayati kedua makna itu sebagai pribadi dan sebagai jemaat melalui ibadah minggu-minggu Advent. Tiap minggu Advent dinyalakan satu lilin sampai minggu Advent keempat. Keempat lilin berturut-turut dinyalakan sebagai tanda semakin kuatnya iman, pengharapan dan kasih kita dalam berjuang menantikan kedatangan-Nya kembali. Dalam minggu Advent sebagai minggu permulaan Tahun Gereja, wajarlah setiap warga gereja mengetahui dan menghayati prinsip dasar dari gereja yaitu:

1. Bahwa prinsip dasar gereja bukanlah ciptaan atau buatan tangan manusia, melainkan Kasih Allah yang tak terhingga dan Anugerah Allah yang maha besar, yang dinyatakan pada manusia yang penuh dosa, penderitaan dan maut, agar setiap orang yang percaya beroleh keselamatan.
2. Setiap warga gereja harus menunjukkan rasa syukur dengan komitmen untuk tetap beriman kepada-Nya, karena kita adalah anak maka kita adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah.
3. Tuhan Allah, adalah Penyayang Ia tidak akan meninggalkan kita dan tidak akan melupakan perjanjian yang telah diucapkan-Nya, karena itu kita harus tetap berpengharapan dan beriman yang hidup akan kedatangan-Nya.

Dunia kita saat ini sedang DALAM BAHAYA, demikian kata Raplh. J. Bunche, kita sedang bergerak maju menuju suatu situasi dimana lebih banyak manusia hidup dalam planet ini, sehingga tidak dapat ditampung lagi. Dengan pertambahan penduduk dunia dua persen setahun, maka dunia ini akan semakin padat dan akan cakar-cakaran satu dengan yang lain. Benarkah dunia ini akan kiamat..? demikian pertanyaan yang timbul dalam pikiran banyak orang. Sebahagian orang percaya dan sebahagian lagi tidak percaya, bahkan lebih jauh ada yang menganggap bahwa kiamat itu hanyalah ceritera hayalan belaka. Namun bagaimanapun juga sebagai orang yang beriman kita harus percaya akan apa yang dikatakan firman Tuhan dalam II Petrus 3: 7 ; “ Tetapi oleh firman itu juga langit dan bumi yang sekarang terpelihara dari api dan disimpan untuk hari penghakiman dan kebinasaan orang-orang fasik”.
Sesungguhnya dunia ini sedang berada dalam krisis. Frank L. Bland, melihat gejala-gejala yang terjadi dalam dunia ini dan menamakannya sebagai “the lawless age” atau satu abad yang tidak beraturan. Apakah abad kita ini akan disusul oleh masa yang lebih baik dan lebih normal…? Tidak ada seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang pasti. Orang mengatakan bahwa kita hidup dalam satu generasi dan abad yang sangat berbahaya dalam sejarah. Segala keadaan dalam bumi ini tampaknya tidak dapat dikontrol. Didalam tangan manusia terdapat senjata-senjata untuk saling membunuh dan membinasakan tiap jejak kehidupan dalam dunia ini. Apa kata Alkitab tentang krisis dunia ini..? “Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut. Orang akan mati ketakutan karena kecemasan berhubung dengan segala apa yang menimpa bumi ini, sebab kuasa-kuasa langit akan goncang” (Luk 21:25-26). Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang, kejahatan semakin meraja lela, kedurhakaan, dan kasih akan semakin dingin. (Mat 24: 11-12),sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan, tetapi orang yang percaya akan tetap berpegang pada kebenaran. (2. Tim 3: 13-14). Yesus telah mengetahui segala peristiwa yang akan menimpa dunia ini, sehingga Ia berkata: “Tetapi segala perkara ini mulai berlaku, tegaklah kamu serta menengadah, karena kelepasan bagimu sudah dekat”. Karena itu daripada mengarahkan pandangan kita kepada segala daya tarik dunia yang penuh dosa ini, kita diminta agar memandang keatas, mencari Tuhan dan menantikan janji penghiburan-Nya, itulah “Adven” penantian akan janji, kerinduan akan kedatangan Kristus untuk membawa keselamatan. Keselamatan adalah hal yang meliputi segala kebutuhan kita dan meluas dari kekal sampai kekal. Di dalamnya termasuk pengampunan atas dosa-dosa daripada masa yang lalu, pembebasan dari pada kuasa dosa pada masa yang akan datang (Yudas 24,25). Keselamatan merupakan harapan pada masa mendatang dan kesenangan pada masa sekarang ini (Titus 2:11-13). Dan semua ini hanya dapat kita peroleh dengan “Pertobatan” dan “Beriman kepada-Nya”, pertobatan merupakan hal yang mendahului iman, Oleh karena kita melihat belas kasihan Allah sehingga Ia memberikan anak-Nya mati karena kita, maka kita didorong untuk bertobat dan mengakui dosa-dosa kita kepada-Nya. Iman bukan percaya hal-hal mengenai Kristus tetapi percaya akan Kristus itu sendiri. Iman bukanlah melangkah ke dalam kegelapan, tetapi iman didukung oleh Firman Allah yang kekal. Iman tidak sama dengan pengharapan, walaupun memang hal itu berhubungan. Pengharapan merupakan keinginan kita, iman merupakan alas (dasar) kita. Tanpa pengharapan kehidupan Kristen akan sangat membosankan, tanpa iman hal itu akan hancur. Pengharapan membawa kita ke masa depan dan kesabaran merupakan budaknya: “Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (Roma 8:25). Iman membawa masa depan kepada kita dan melalui ujian-ujian menimbulkan kesabaran: “Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan” (Jak 1:3).
Merayakan Advent ketiga dengan tekad agar lilin Advent pertama yang dinyalakan menjadi lambang kerinduan dan harapan kita yang semakin besar akan kedatangan Kristus, karena itu Persiapkanlah Jalan Bagi-Nya. Amen. Ds. R.H.L. Tobing.
1. Mengampuni Itu Indah
Seorang guru membawa sekeranjang kentang ke dalam kelas. Setiap anak diminta untuk mengambil kentang. Masing-masing satu kentang untuk setiap orang yang pernah membuat mereka sakit hati. “Bawalah kentang ini kemanapun kalian pergi; ke sekolah, ke gereja, mandi,tidur. Pokoknya jangan dilepas. Sampai minggu depan,” perintah sang guru.
Para murid melakukannya. Seminggu kemudia mereka kembali ke kelas. Sang guru bertanya, “bagaimana perasaan kalian dengan kentang itu?”. Para murid komplain. Ada yang bilang tidak enak. Bikin repot. Kentangnya jadi busuk dan berbau tidak sedap. Pokoknya semua murid sangat terganggu dengan kehadiran kentang itu. Gurunya berkata, “begitulah juga kalau kita terus memendam rasa sakit hati. Kita sendiri yang tidak enak. Seperti membawa kentang-kentang itu”.
Pernah dibuat kesal sama seseorang? Pernah merasakan sakit hati? Dikecewakan? Kebencian? Amarah yang sampai ke ubun-ubun? Pada saat seperti itu, kata maaf seolah lenyap dari kamus hidup kita. Tiada maaf bagimu. Seperti diungkap oleh grup musik Chicago: “It’s hard to say I’m sorry”. Tidak jarang yang terlintas malah keinginan untuk balas dendam. Bahkan kerap menggunakan istilah yang rohani: “biar Tuhan yang membalas semua perbuatan jahatnya”. Tuhan malah diajak “berkolusi” dalam dendam.
Kekecewaan, kesedihan, kebencian, amarah, dan sakit hati adalah rasa yang paling mengobrak-abrik jiwa. Ada sebuah ungkapan bernada canda dalam sebuah lagu: lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati. Sakit fisik seolah lebih mudah dihadapi daripada sakit batin. Konon orang lebih gampang kurus kalau makan hati.
Dalam doa Bapa Kami, ada bagian “dan ampunilah kami atas segala kesalahan kami, seperti kamu juga telah mengampuni yang bersalah kepada kami”. Mungkin saking terbiasanya orang mengucapkan doa Bapa Kami, termasuk bagian ini. Sehingga kurang terhayati. Terucap tanpa tekad untuk melaksanakan.
Tapi ada juga yang rada “sadar diri”. Karena masih punya dendam dengan sesama, masih tidak bisa memaafkan saudara, kolega, atau sahabatnya, maka ketika diajak mengucapkan doa Bapa Kami, dan sampai pada bagian tersebut, ia memilih tidak menyebutkannya. Biar tidak merasa berdosa kepada Tuhan.
Padahal megampuni adalah panggilan kita orang percaya. Mengapa? Karena Tuhan sudah lebih dulu mengampuni. Dengan kata lain, kalau saat ini kita tidak dapat mengampuni orang lain, maka pastikan dulu diri kita adalah orang yang sama sekali tidak pernah berbuat dosa.

"Menjadi Guru yang rendah hati"


Khotbah Persekutuan Guru-guru BPK Penabur Jakarta
Thema: “Menjadi Guru yang Rendah Hati” (modesty)
Matius 23:12 (Amsal 15:33) Amsal 29:23
Dalam Perjanjian Lama (PL), kerendahan hati (modesty) diperlihatkan dengan sikap menangis, berpuasa dan mengoyakkan jubah (1 Raj. 21:29; 2 Raj. 22:11-20; Amsal 3:34).
Kesombongan adalah lawan dari kerendahan Hati.
Karena itu tidak mengherankan jikalau dosa kesombongan merupakan jenis dosa maut nomor wahid alias nomor satu, karena kesombongan mampu menyelinap dalam berbagai hal yang tampaknya mulia dan suci umpamanya: Pendeta, Penatua, Guru dllsbg. Untuk mencari dan menemukan orang-orang yang sombong, kita tidak perlu pergi ke pusat perbelanjaan atau mall. Justru kita akan mudah menemukan orang-orang yang berlaku sombong dan tidak peduli dengan sesama, saat kita berada di tempat ibadat dan pelayanan. Karena di tempat-tempat ibadah itulah umat akan berupaya untuk menyembunyikan kesombongannya dengan berlaku rendah-hati dan penuh simpati.

Kesombongan Dan Citra Diri
Kesombongan merupakan jenis dosa yang terbesar (the great sin) dan melahirkan dosa-dosa yang lain (Ilustrasi seorg Pnt/Pdt dapat PIN atas prestasinya di Gereja setiap minggu dipakainya ke gereja =Dia menyombongkan Kerendahan Hatinya). Dari sikap sombong, kita mengembangkan menjadi dosa iri-hati karena kita menjumpai bahwa sesama ternyata memiliki suatu kelebihan yang tidak kita miliki. Kesombongan juga melahirkan sikap puas diri dan meremehkan orang lain sehingga dia enggan mengembangkan karunia dan talenta. Selain itu dosa kesombongan akan membentuk citra diri yang salah, sehingga dia menganggap dirinya sebagai orang yang terpenting. Sikap sombong secara prinsipial membutakan mata hati dan akal sehatnya, seakan-akan dia telah berhasil melampaui keterbatasan manusiawinya. Pernah dikisahkan tentang Muhammad Ali, seorang petinju legendaris, yang sedang bepergian dengan sebuah pesawat. Selama perjalanan udara itu, tiba-tiba pesawat yang ditumpanginya mengalami gangguan cuaca hingga berguncang-guncang. Dengan cepat pilot menginstruksikan seluruh penumpang untuk memasang sabuk pengaman. Dan semua penumpang mematuhi perintah pilot tersebut, kecuali Muhammad Ali. Ketika pramugari mendatanginya, Ali berkata dengan suara keras, “Superman tidak membutuhkan sabuk pengaman.” Tanpa berpikir lama pramugari itu segera berkata, “Benar, tapi Superman juga tidak membutuhkan pesawat terbang.” Kalau Muhammad Ali memang seorang superman, mengapa dia harus menumpang pesawat? Kemenangannya bertinju telah membutakan mata Muhammad Ali seakan-akan dia telah menjadi satu-satunya penghuni bumi yang paling jagoan dan bebas dari hukum gravitasi bumi. Dia mungkin jago di atas ring tinju, tetapi di dalam pesawat terbang yang sedang berguncang dan mungkin dapat jatuh, dia hanyalah seorang insan yang tidak berdaya apa-apa.

Selain itu karena seseorang menganggap dirinya terpenting, maka orang yang sombong akan cenderung untuk selalu merendahkan orang lain. Kesombongan menghasilkan sikap superioritas yang ingin selalu menundukkan sesama sehingga segala hal yang dilakukan oleh sesama tidak pernah dianggap berharga dan berkualitas. Sikap sombong yang demikian selalu memposisikan keberadaan dan kemampuan orang lain dalam kategori yang lebih rendah dan hina. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau kesombongan selalu merusak semua hal yang bernilai dalam kehidupan ini. Kesombongan merupakan kanker spiritual yang menghancurkan ikatan dan nilai-nilai persahabatan dan persaudaraan dengan sesama sekaligus menghancurkan relasi kasih dengan Allah.
Suatu sikap atau tingkah-laku senantiasa dilandasi oleh sistem nilai, prinsip spiritulitas dan teologi tertentu. Demikian pula sikap sombong yang meremehkan sesama bukanlah sekedar suatu perilaku yang spontan dan alamiah. Sikap sombong muncul karena pemahaman teologis tertentu yang diejahwantahkan menjadi pola hidup seseorang. Karena sikap sombong mendorong seseorang untuk menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih baik dari pada sesamanya, itu sebabnya teologi orang-orang sombong sering disebut dengan teologi vertikalis. Dia menempatkan orang lain dalam hubungan “komando” dari atas ke bawah sehingga meniadakan hubungan yang horisontal dan setara dengan sesama. Dengan teologi vertikalis, seseorang menempatkan dirinya di puncak yang paling ujung dan menganggap dirinya hampir sejajar dengan Allah. Kesombongan menjadi dosa maut nomor satu karena dengan sikap angkuhnya seseorang tidak hanya mengangkat dirinya di atas sesama, tetapi juga suatu upaya untuk menempatkan dirinya sejajar dengan Allah. Ungkapan yang menarik hati bagi manusia pertama dengan godaan ular adalah: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kej. 3:4-5). Karena itu dosa kesombongan selalu memisahkan manusia dari kasih-karunia Allah. Mungkin seseorang yang sombong tetap mampu beribadat dan berdoa dengan khusuk, tetapi ibadah dan doanya bukanlah bertujuan untuk mempermuliakan Allah dan menghadirkan kasihNya. Jadi model teologi vertikalis pada prinsipnya merupakan suatu keyakinan dogmatis yang berupaya mengubah esensi iman yang mempermuliakan Allah dengan suatu tindakan yang melecehkan kemuliaan Allah.
Sebenarnya para penganut teologi vertikalis juga mengenal dan mempraktekkan “kasih persaudaraan”. Tetapi kasih persaudaraan yang mereka maksudkan hanyalah sebatas persaudaraan di lingkungan internal mereka saja. Kasih yang mereka maksudkan bukanlah kasih yang universal, yaitu kasih yang tertuju kepada setiap orang tanpa memandang keyakinan, agama dan suku atau bangsa. dalam surat Ibrani memberi nasihat: “Peliharalah kasih persaudaraan!” (Ibr. 13:1). Tetapi kasih persaudaraan yang dimaksudkan oleh penulis surat Ibrani ternyata tidak eksklusif dan terbatas hanya kepada suatu lingkungan internal jemaat Kristen saja. Sebab di Ibr. 13:2 firman Tuhan berkata: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat”. Pemberian tumpangan yang dimaksudkan dalam Ibr. 13:2 ternyata bukan hanya ditujukan kepada orang-orang yang kita telah kenal, tetapi justru diingatkan agar kita mau peduli dengan orang-orang asing yang membutuhkan pertolongan. Di Kej. 18:1-15 disaksikan bagaimana sikap Abraham yang menunjukkan kemurahan hati dan keramahannya saat dia menyambut 3 orang tamu asing di kemahnya. Abraham segera menyediakan makanan dan minuman kepada para tamunya serta membasuh kaki mereka. Akhirnya diketahui oleh Abraham bahwa ketiga orang tamunya itu sesungguhnya adalah para malaikat Tuhan. Tradisi dari kisah Abraham ini menyampaikan suatu pesan teologis bahwa Allah kadang-kadang menyatakan diriNya sebagai tamu-tamu asing yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita.
Dalam Perjanjian Baru (PB), kerendahan hati adalah merasa tidak berdaya seperti “anak-anak” (Mat. 18:4); tidak mempertahankan kedudukan (Flp. 2:8-9); tidak merendahkan martabat orang lain (Luk. 14:11; 18:4). Dengan demikian kerendahan hati adalah bersikap ramah, terbuka, tidak sombong/tinggi hati, mampu menghargai martabat dan kelebihan orang lain, dan mudah menyesuaikan diri. Kerendahan hati seperti ini berkenan kepada Allah (Ef. 4:2). Itulah sebabnya mengapa dalam Yakobus 4:6b dikatakan, bahwa “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”
Dalam Filipi 2:7 Paulus menggunakan istilah “kenosis” (pengosongan diri atau pengingkaran diri dari segala arogansi insani). Menurut Paulus, Yesus telah mengosongkan dirinya. Ia menerima rupa seorang hamba. Merendahkan diri dan mati. Ketakjuban Paulus akan pengorbanan Kristus di kayu salib telah melenyapkan segala bentuk kesombongan dirinya.

Hidup dengan kerendahan hati justru akan membuat seseorang lebih menghargai dirinya dan bebas dari perangkap kesombongan. Dengan bersikap rendah hati orang dapat menerima dan menghargai dirinya serta menghargai orang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jika kita menginginkan kehidupan bersama kita lebih baik, mulailah melakukan perubahan dari diri kita lebih dulu. Kita dapat melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain, ketika kita sudah mengalami pembaharuan hati, pikiran dan tindakan kita. Itulah transformasi kehidupan yang seutuhnya. Karena kita harus mengubah dunia ini menjadi lebih baik, dengan kerendahan hati. Mulailah dari diri kita. Memang bukan hal yang mudah, tetapi sangat mungkin untuk dilakukan.....jadi, bagaimana dengan kita...???!!!
Kerendahan Hati
1 Petrus 5:5
Orang percaya hendaknya menunjukkan sikap rendah hati dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu diperlukan usaha untuk mencari sikap rendah hati ini [Zef 2:3]. Namun ada juga orang sombong yang berpura-pura menjadi rendah hati [Kol 2:18]. Paulus menuliskan hal ini dalam sikap rendah hati yang sejati, yaitu untuk meninggikan orang lain [2 Kor 11:7].
Surat yang ditulis Paulus kepada Filemon, salah seorang anak rohaninya mencatat nasihat-nasihat Paulus yang meminta dengan kerendahan hati bukan dengan menggunakan perintah dan kedudukannya [Flm 1:8-9]. Orang yang lebih tua hendaknya hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan [Tit 2:2].
Tinggi hati mendahului kehancuran, namun kerendahan hati mendahului kehormatan. Allah menghormati setiap orang yang rendah hati dan takut akan Dia [Ams 18:12; 22:4]. Bukanlah hal yang mudah untuk memiliki sikap rendah hati dalam kehidupan kita. Oleh sebab itu carilah sikap rendah hati untuk diterapkan di dalam kehidupan kita.
Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian. Amsal 29:23
TAK ADA PAKAIAN YANG LEBIH PANTAS BAGI ANAK ALLAH
SELAIN JUBAH KERENDAHAN HATI

Mateus 14: 22 - 33

Rancangan Khotbah Keb. Rumah
Mateus 14 : 22 – 33

Pendahuluan/Penjelasan:

Sebelum perikop ini, sudah lebih dahulu diuraikan tentang kuasa-kuasa yang diperbuat Yesus
( menyembuhkan seorang yang sakit kusta 8:1-4; hamba seorang perwira 5-13; ibu mertua Petrus 14-17 angin ribut diredakan 23-27 dua orang yg kerasukan 28-34 orang yg lumpuh disembuhkan 9:1-8 anak kepala rumah ibadat-perempuan yang sakit pendarahan memberi kuasa kepada murid-murid-Nya atas roh-roh jahat 10:5-15 dan lain2), yang menjelaskan bahwa Dia berkuasa atas sakit penyakit, atas kematian atas roh-roh jahat atau setan, dan dibalik penyembuhan ilahi itu terkandung inti dari pengajaran-Nya yaitu: memperhatikan kehidupan kita baik pribadi-pribadi maupun kelompok dan massa. Dengan semua peristiwa itu orang semakin mengenal siapa Dia. Ia adalah anak manusia yang dijanjikan Allah lewat para nabi, Ia datang untuk memberikan pengampunan dosa.
Dalam perikop khotbah ini, lebih dahulu dijelaskan bahwa Ia segera memerintahkan para murid-muridNya naik ke perahu untuk menyeberangi danau, dan sementara itu Ia menyuruh orang banyak itu pulang; mengapa Tuhan Yesus memaksa mereka demikian....? Menurut Yoh 6:15 bahwa orang banyak itu menghendaki supaya Ia menjadi raja, raja orang Jahudi, begitu juga maksud para murid-Nya menjadikan Dia seorang raja. Namun, bagi Yesus rencana itu adalah rencana yang berbahaya. Suatau cobaan dari iblis untuk mencobai Dia dari segi kuasa dan kemuliaan duniawi. Oleh sebab itu, Ia berpisah, mereka disuruh sendirian naik perahu untuk menyeberangi danau itu, dan Ia masih tinggal sendirian di daratan sendirian. Setelah Ia berdoa, maka Ia melihat perahu para murid-Nya telah berada di tengah danau. Perahu itu sedang digoncang oleh gelombang laut karena angin sakal. Mereka kepayahan mendayung perahu supaya jangan tenggelam. Dan kira-kira jam tiga malam, ketika itulah Ia datang menolong dengan kualitas yang prima, Ia berjalandiatas air, mereka terkejut dan menyangka itu hantu sehingga menimbulkan ketakutan, namun setelah Yesus berseru “tenanglah” mereka baru percaya. Petrus segera menginginkan peristiwa ajaib itu dialaminya, tetapi karena rasa ketakutan dan keyakinan yang masih kurang ia tenggelam.

Penerapan/Kesimpulan:

Dari peristiwa Yesus berjalan di atas air dan meredakan angin sakal, nyatalah beberapa pelajaran tentang pribadi Yesus:
1. Ia berkuasa atas angin sakal seperti halnya terhadap kuasa-kuasa jahat atau setan.
2. Iman murid-murid (teristimewa Petrus) yang kurang itu, dituntut untuk lebih percaya terhadap kuasa yang diperbuat-Nya.
3. Yesus tidak saja melayani orang banyak, tetapi juga memberi perhatian terhadap individu (Petrus) bahkan kepada kelompok murid-Nya di dalam perahu di tengah danau, bagiNya nilai pribadi-pribadi dan nilai orang banyak adalah sama. Ia bukan hanya mengajar dengan baik dan penuh hikmat seperti khotbah di atas bukit, tetapi juga mempraktekkan apa yang diucapkan-Nya.
Ada beberapa yang dapat kita terapkan dalam kehidupan Gereja dari peristiwa ini:
1. Kita harus senantiasa mengucap syukur kepada Dia, percaya dan menyembah Dia, karena Yesus berkuasa atas segala kuasa, atas angin sakal yang melanda kehidupan ini dan juga penyakit yang melanda hidup kita.
2. Janganlah Gereja dan kita bersandar kepada kemampuan dan kekuatan kita, tetapi hendaklah Gereja dan kita semata-mata bersandar kepada kuasa Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Juruselamat kita.
Amin RHL